Ibu tiba tidak lama kemudian dan jeritannya yang pilu membuat hati Arya teriris-iris. Ia tak bisa menangis walaupun ia merasakan kesedihan yang sama seperti ibunya dan Maria. Saat ini ia harus kuat demi mereka.
Ia memeluk ibunya yang menangis pilu sambil membenamkan wajahnya di dada Ayah yang bidang, kini terbujur kaku. Arya bisa melihat betapa ibunya sangat mencintai Ayah, walaupun selama 20 tahun hidup bersama, ada kesenjangan pemikiran di antara mereka.
Ibu mengabdikan hidupnya untuk melayani Ayah dan mengurus keluarga. Ia sangat mencintai Raden Panji. Walaupun mereka menikah karena dijodohkan, di dalam hatinya tidak ada pria lain selain suaminya.
***
Pemakaman berlangsung khimad dan digelayuti kesedihan yang teramat sangat. Raden Panji adalah jaksa yang sangat dihormati dan rekan kerjanya banyak yang merasa kehilangan. Terlebih ia adalah menantu mantan bupati, sehingga sangat banyak pejabat dan bangsawan yang melayat ke acara pemakaman. Bahkan residen Periangan dan keluarganya ikut datang menyampaikan bela sungkawa.
Selain keluarganya sendiri, Arya melihat Raden Kartono tampak sangat terpukul dengan kepergian Ayah. Sejak beliau pulang ke Indonesia, beliau juga tidak memiliki banyak teman. Raden Kartono sulit mendapatkan pekerjaan karena ia terlalu keras terhadap Belanda.
Ia dengan berani memasang bendera merah putih di rumahnya yang identik dengan perlawanan inlander (pribumi) yang ingin merdeka. Namun karena pengaruhnya yang besar di Eropa, mereka tak berani berbuat apa-apa kepadanya.
Sebaliknya, di antara orang pribumi sendiri, terutama kalangan bangsawan, ia tidak diterima dan dicurigai menjadi kaki tangan Belanda karena ia lama tinggal di Eropa. Ayah adalah satu-satunya temannya di Bandung, dan kini Raden Kartono kehilangan sahabatnya itu... Ia kembali menjadi sendirian.
Maria tidak ikut ke pemakaman. Ia tak dapat bangun dan keluar dari kamarnya. Selama berhari-hari ia tak mau bicara dan menolak makan, hingga membuat Arya kuatir. Setiap hari ia akan mengetuk pintu kamar Maria dan mencoba mengajaknya bicara tetapi tidak ada tanggapan dari gadis itu.
Hermand datang berkunjung setelah beberapa hari dengan membawa buku catatan. Ia berubah menjadi murid rajin selama Maria tidak masuk sekolah dan mencatat untuk mereka berdua. Setidaknya inilah yang bisa dilakukannya untuk menebus kesalahannya kepada Maria.
"Dia masih belum mau bicara?" tanya Hermand dengan wajah kecut. Dari ekspresi Arya ia sudah tahu jawabannya. Hermand hanya bisa garuk-garuk kepala. "Hmm... ya sudah, tolong berikan buku catatan ini kepadanya. Bilang kalau minggu depan ada tes dari si De Vries..."
Arya mengangguk. Sebelum Hermand undur diri tiba-tiba Arya terpikir sesuatu, "Eh... kau bisa meminjam buku apa pun dari perpustakaan Gedung Sate, kan?"
"Iya, kenapa memangnya?" tanya Hermand.
"Mungkin kalau kau membawa buku, Maria mau keluar dan makan..."
Hermand mengerutkan keningnya. Ah, ya.. kenapa ia tidak terpikir ke sana? Ia lalu mengangguk dan buru-buru pergi.
Dua jam kemudian ia kembali dengan setumpuk buku sains langka di tasnya.
"Coba berikan ini semua kepada Maria, pasti salah satu ada yang menarik minatnya..." kata Hermand sambil menyerahkan tas berisi buku-buku tersebut.
"Uhm.... mungkin kita berdua bisa mencobanya?" tanya Arya. Ia pikir mungkin Maria mau mendengarkan Hermand karena pemuda itu teman sebangkunya dan orang yang punya akses terhadap buku-buku tersebut.
"Baiklah..."
Arya lalu mengajak Hermand ke depan pintu kamar Maria dan mulai mengetuk, "Maria... Hermand datang membawakan sangat banyak buku untukmu... Cobalah lihat dulu, mana buku yang kau sukai..." Arya menghela napas panjang, "Aku tahu kau sangat sedih dan terpukul. Di saat seperti ini kau harus mengalihkan pikiranmu terhadap hal lain. Aku mau kau berhenti memikirkan ayah... Lebih baik kau membaca dan memikirkan ilmu pengetahuan..."
Hermand membuka-buka beberapa buku dan menyambung ucapan Arya, "Di sini ada beberapa buku kedokteran. De Vries bilang kau cocok menjadi dokter, kan?"
Arya menoleh ke arah Hermand dan seketika ingat bahwa Maria memang pernah mengungkapkan keinginannya untuk menjadi dokter. Suatu cita-cita yang bisa dibilang mustahil di zaman itu untuk keturunan pribumi apalagi perempuan. Paling tinggi, seorang laki-laki pribumi biasa dapat sekolah ke STOVIA menjadi mantri kesehatan yang kerjanya menjadi tukang suntik vaksin.
Hanya keturunan Eropa atau bangsawan sangat tinggi yang dapat kuliah ke Belanda menjadi dokter, dan pada zaman itu bagi perempuan tidak lumrah untuk bersekolah tinggi-tinggi.
Tetapi Arya sungguh ingin mendorong Maria agar berjuang untuk mimpinya.
"Maria... kalau kamu menjadi dokter, kamu bisa menolong banyak orang. Kamu bisa menolong korban tembak seperti ayah.. Kamu bisa menyelamatkan jiwa orang lain... Ayah pasti akan sangat bangga kepadamu. Kau dipanggilnya Maria karena Ayah sangat mengagumi Marie Curie... Kau harus tetap bersekolah dan menjadi pintar..." kata Arya dengan suara bergetar. Ia sangat bersungguh-sungguh dengan semua ucapannya.
Sepuluh menit kemudian, pintu kamar terbuka, dan keluarlah Maria yang tampak sangat kurus dan kuyu. Air matanya telah kering dan ekspresinya tampak sangat berduka. Ia mengambil buku-buku dari Arya dan mengangguk ke arah Hermand. Lalu menghilang ke dalam kamarnya. Tetapi kali ini pintunya tidak dikunci.
Arya dan Hermand segera mengikutinya ke dalam dan duduk di kursi di samping tempat tidurnya.
"Maria mau makan? Kau mau minum teh atau makan kue?" tanya Arya hati-hati.
Pelan-pelan Maria mengangguk. Ia duduk di tempat tidurnya dan mengambil sebuah buku kedokteran lalu membuka halamannya satu persatu.
Dengan cepat Arya keluar dan kembali beberapa saat kemudian dengan sebuah nampan berisi makanan dan minuman.
"Makan dulu ya? Nanti baca buku lagi..." katanya lembut. Karena tidak ada tanggapan dari Maria, akhirnya Arya menyendokkan nasi dan lauk lalu mengangkatnya ke depan wajah Maria, "Aku tidak akan pergi sampai kau makan...."
Maria mengangkat wajahnya yang menampilkan sepasang mata protes, tetapi akhirnya ia menurut dan memakan makanan dari sendok Arya. Hermand hanya melihat pemandangan itu dengan perasaan tak menentu.
Sikap Arya kepada Maria terlalu berlebihan. Ini bukan sikap seorang kakak kepada adiknya, pikir Hermand gusar.
"Uhm.. aku pergi dulu. Aku akan ke kantor polisi dan bicara dengan Kapten Jannsen untuk menanyakan perkembangan kasus ini."
"Baiklah," jawab Arya, "Terima kasih sudah datang, dan terima kasih untuk buku-bukunya..."
"Tidak apa-apa."
Hermand pun berlalu. Arya berhasil membuat Maria makan setengah piring nasi sebelum akhirnya menyerah dan mengelus rambutnya lalu pamit keluar.
"Kamu istirahat ya. Kalau ada apa-apa, panggil aku..."
Maria masih membuka-buku halaman buku kedokterannya dengan penuh minat, tidak memperhatikan Arya keluar dari kamarnya.