Chapter 5 - Meminjam Buku

Sepulang sekolah Maria tidak langsung pulang. Ia menunggu Herman dengan sabar di depan gerbang dengan sepedanya. Pemuda itu harus mengantarkan buku-buku ke kantor guru dulu.

Ketika Hermand melihat Maria berdiri menyandar dengan sepedanya ia seketika sadar bahwa tadi pagi ia diantar ajudan ayahnya ke sekolah dan tidak membawa sepedanya sendiri.

"Aku tidak membawa sepeda. Kau mau kubonceng?" tanyanya kemudian.

Maria tampak terdiam lama. Hermand sadar gadis itu merasa tidak nyaman dengan usulnya, dan ia pun mengalah. "Kalau begitu kita jalan kaki saja. Kau bisa meninggalkan sepedamu di sekolah, atau biar aku yang membawanya sambil kita jalan."

Maria lalu menyerahkan stang sepedanya kepada Hermand yang segera mengambil alih sepeda itu dari tangannya. Ia memberi tanda agar Maria menaruh tasnya di keranjang dan gadis itu mengangguk.

Mereka lalu berjalan bersama ke arah Rembrandtlaan*, tidak menyadari pandangan terkejut murid-murid HBS lain yang melihat pemandangan itu.

Bisik-bisik cepat beredar di antara gadis-gadis bahwa si anak baru yang pintar dan pendiam itu berhasil memikat hati anak Residen Priangan.

Gila... hanya dalam waktu empat hari, mereka sudah pulang sekolah bersama-sama!

Hermand menikmati perjalanan panjang itu menuju Gedung Sate dengan berjalan kaki. Maria tidak berkata apa-apa sepanjang perjalanan, tetapi herannya Hermand sama sekali tidak merasa terganggu.

Dalam hati ia teringat betapa berisiknya kebanyakan gadis yang ia kenal selama ini. Berjalan bersama Maria dalam keheningan begini rasanya damai sekali.

Ia sesekali melirik Maria sambil berjalan dan melihat gadis itu tampak melamun. Entah apa yang ada di pikirannya.

"Namamu Dyah Paramita Adinata. Kenapa dipanggil Maria?" tanya Hermand sambil lalu. Ia sebenarnya tidak berharap dijawab, karena pertanyaan itu tidak terlalu penting.

"Marie Curie," jawab Maria.

Hermand tertegun mendengar suara Maria untuk pertama kalinya.

Ternyata pertanyaan sederhana itu penting bagi Maria sehingga ia menjawab, di luar dugaan Hermand. Dan oh suaranya... Hermand sangat menyukai suara Maria yang ternyata sedikit serak, membuatnya terdengar sangat merdu.

"Oh… panggilan Maria itu dari Marie Curie?" tanya Hermand lagi.

Ia melihat Maria mengangguk. Memang pantas kalau gadis itu dipanggil Maria, dia pintar sekali. Dan dari apa yang didengar Hermand tentang kepintaran Maria, gadis itu memang cocok menjadi ilmuwan.

Mereka pun tibalah di Gedung Sate, dan Hermand dengan bangga mengajak Maria masuk ke perpustakaan yang begitu besar dan lengkap.

Gedung Sate adalah kompleks bangunan pemerintah Belanda yang baru selesai dibangun dua tahun lalu dan merupakan bangunan terindah di seluruh Hindia Timur menurut banyak pakar. Di sana ada kantor PTT (Pos - Telegram - Telegraf) dan perpustakaan.

Hermand tersenyum kecil melihat Maria dengan bersemangat mengelilingi berbagai rak buku langka. Hermand tidak suka membaca, tetapi ia pura-pura mengambil sebuah buku dari rak dan duduk di sudut ruangan sambil memperhatikan buku apa yang hendak dipilih Maria.

Ternyata Maria memilih dua buah buku yang sama sekali berbeda. Satu adalah buku H.G. Wells yang berjudul The First Men in The Moon, dan yang kedua salah satu terbitan jurnal Science and Nature.

Ia membuka-buka halamannya dengan penuh minat dan memandang Hermand seolah bertanya apakah ia boleh meminjam kedua buku itu.

Hermand mengangguk dan mengajaknya menemui kepala perpustakaan untuk menunjukkan buku apa yang dipinjamnya untuk Maria.

Mevrouw Visser memandang mereka dengan penuh selidik tetapi ia mencatat tanpa pertanyaan sama sekali.

"Kau mau mampir untuk minum teh?" tanya Hermand ketika mereka telah keluar dari perpustakaan. Ia menunjuk ke arah kedai di seberang jalan. Maria mengangguk.

Mereka lalu berjalan ke kedai cantik yang dipenuhi tanaman bunga dalam pot dan kursi-kursi taman yang ditaruh di terasnya.

Hermand memarkir sepeda Maria di pinggir jalan dan membukakan salah satu kursi. Setelah gadis itu duduk, ia mengambil kursi di sebelahnya.

Pelayan datang dan menanyakan pesanan.

"Dua cangkir teh." kata Hermand. Ia lalu menoleh kepada Maria, "Kau mau kue?"

Maria menggeleng.

"Teh saja kalau begitu." Hermand memberi tanda kepada pelayan bahwa mereka hanya minum teh.

Teh disajikan lima menit kemudian dengan spekulas (biskuit jahe) di pinggir cangkir.

"Kalau bukunya sudah selesai, bilang saja. Aku dengan senang hati akan membawamu ke perpustakaan lagi."

Maria tersenyum manis dan menganggguk.

Ini kemajuan, pikir Hermand. Kalau ia bersabar, mungkin pelan-pelan Maria akan mulai bersikap manis kepadanya. Mereka minum teh bersama dan kemudian Hermand menawarkan mengantar Maria pulang, tetapi gadis itu menolak. Ia menaruh tas dan buku-bukunya di keranjang sepeda dan kemudian mengayuh sepedanya ke arah Utara.

Hermand memandangnya hingga menghilang di kejauhan lalu berjalan ke arah trem terdekat dan pulang ke rumahnya di Dagoweg.

Sungguh gadis yang unik, pikirnya. Seorang kutu buku.

***

*Rembrandtlaan = Jalan Rembrandt (sekarang namanya Jalan Diponegoro)