Nuansa sedang dalam perjalanan pulang sekarang. Ia terus memikirkan cara agar memberitahu Reynand bahwa ia menolak pria itu.
Di tengah jalan, gadis itu berpapasan dengan teman lamanya, temannya semasa SD dulu bernama Fani.
"Nuansa!" seru Fani.
"Fani?" ucap Nuansa, ia terlihat tidak percaya dengan sosok yang dilihatnya sekarang. Mereka berdua kemudian berpelukan.
"Ke mana saja kau? Aku mencarimu ke mana-mana," ujar Nuansa.
"Aku sekarang berkuliah di luar kota. Kebetulan karena beberapa hari ini adalah hari libur, aku bisa pulang dan harus kembali lagi lusa. Bagaimana denganmu?" tanya Fani.
"Engh, kau melihatnya sendiri, aku masih sama."
Fani kemudian merasa tidak enak hati. "Mau ikut aku beli milkshake? Akan kubelikan untukmu juga."
"Milkshake?"
"Sshht, tidak usah banyak tanya. Ayo."
Mereka berdua lantas menghampiri sebuah gerai khusus minuman-minuman kekinian yang letaknya tak jauh dari kantor polisi tempat Reynand bekerja.
"Jadi, bagaimana hasil penjualanmu? Sepertinya sudah sangat meningkat," tanya Fani sembari menikmati milkshakenya.
"Ehm, kebetulan saja hari ini sedang laku keras. Semuanya masih sama seperti dulu."
"Bagaimana dengan bibi dan paman?"
"Fani, bisakah kita tidak membicarakan ini? Maksudku, aku tahu kau bermaksud baik, tapi, aku tidak ingin kau jadi merasa kasihan atau sejenisnya. Bagaimana dengan pekerjaan? Apa kau tahu lowongan pekerjaan yang bagus untukku?"
"Baiklah, aku paham dengan hal itu. Pekerjaan? Sekarang kan zaman internet, kenapa kau tidak mencari lowongan pekerjaan di internet saja?"
"Seperti apa?"
"Menjual keripik singkongmu di toko online, membuat konten video. Entahlah, keduanya sangat bagus untukmu, kurasa. Kau bisa berfokus ke konten pembuatan olahan singkong jika kau mau membuat video."
"Bagaimana kalau aku rugi?"
"Hahaha, resiko kerugian untuk berjualan online hampir mendekati nol persen. Asalkan kau memiliki ponsel pintar dan kuota data, kau bisa sukses besar."
"Ponsel?"
"Ya," ucap Fani sambil mengangguk dan tersenyum.
"Tidak ada pilihan lain selain ponsel?"
"Kenapa?"
"Aku ... Tidak memilikinya, hehehe."
"Hmm, kupikir bisa saja, kau bisa ke warnet misalnya. Tapi, aku tidak yakin kalau toko online bisa dijalankan secara lancar melalui komputer."
"Jadi, inilah akhirnya, tampaknya takdirku adalah untuk menjadi penjual keripik singkong."
"Kau bisa menulis secara online dan mendapatkan komisi, jika kau suka menulis tentunya."
"Itu menarik, tapi sayangnya aku tidak memiliki bakat untuk menulis sama sekali."
Mereka kemudian terdiam. Fani lantas menatap Nuansa seraya tersenyum.
"Tidak apa, aku yakin ada cara lain," ujar Fani.
"Lupakan saja. Terima kasih untuk milkshakenya, ini enak. Pulanglah, kau pasti dicari oleh orangtuamu," kata Nuansa.
"Tunggu sebentar." Fani lalu masuk ke dalam gerai itu, dan menghampiri seorang wanita paruh baya yang duduk di kursi kasir, tampaknya wanita itu adalah pemilik gerai minuman ini.
"Nyonya, apa ada lowongan pekerjaan di sini?" tanya Fani.
"Tidak," jawab si ibu dengan singkat. Dari kejauhan, Nuansa terkekeh, Fani pun kembali ke kursinya.
"Sudahlah, kubilang lupakan saja," ucap Nuansa.
"Eh, bagaimana denganmu?" sambung Nuansa.
"Apanya?" tanya Fani.
"Apa sudah ada pria yang menyukaimu?"
"Kenapa tiba-tiba kau bertanya begitu? Apa kau sendiri sudah dilamar?"
"Hmmm, ya."
"Uuuh, siapa pria beruntung itu?"
"Aku masih belum memberikan jawabanku, karena ... Hei! Aku bertanya padamu! Kenapa kau bertanya balik sebelum menjawab?"
"Hehehe, sebenarnya aku sudah bertunangan."
"Eh?!" Nuansa sontak memeriksa jari manis Fani. Ia menemukan sebuah cincin di jari manis kanan Fani.
"Apa aku kenal dengan tunanganmu? Apa dia teman kita semasa sekolah dulu?"
"Ehehe, tidak. Dia teman kuliahku."
"Ceritakan padaku, bagaimana rasanya bertunangan itu? Pasti sangat indah dan menyenangkan, bukan?"
Fani lantas tersenyum dan mengkedip-kedipkan kedua matanya. "Ya. Dan hal itu hanya bisa dirasakan, bukan diceritakan. Tapi, tunggu! Aku punya ide! Aku punya ide!"
"Hah? Apa? Apa?"
"Kau jadi pacar sewaan saja!"
"Pacar? Sewaan?"
"Iya, sebentar, aku buka situsnya." Fani lalu membuka ponselnya dan membuka sebuah situs yang memungkinkan penggunanya untuk menyewa seorang pacar sewaan.
"Nah, ini. Di sini, kau bisa mendaftar untuk menjadi pacar sewaan. Isi biodata lengkapmu, lalu masukkan tarif sesuai kemauanmu dan tinggal tunggu penyewa datang untuk menyewamu sebagai pacar pura-puranya," papar Fani.
"Tapi, tidakkah pekerjaan ini beresiko tinggi? Ya ... Kau tahulah maksudku."
"Tidak, situs ini seratus persen aman, situs ini memiliki kantor di setiap provinsi di Indonesia. Si penyewa juga harus mengisi data dirinya secara benar dan asli, sebab akan ada orang dari kantor yang mendatanginya nanti untuk memastikan bahwa dia adalah orang baik-baik ketika dia menyewa seorang pacar sewaan. Jadi yang disewa akan baik-baik saja."
"Pihak situs ini benar-benar akan mendatangi si penyewa?"
"Tentu, sampai sekarang tidak ada kejadian pelecehan atau apalah karena situs ini. Aku menjaminnya, situs ini sangat aman."
"Hmmm, baiklah, kau bisa daftarkan aku?"
"Ok, aku akan mengisi data dirimu dulu."
Fani lalu fokus pada ponselnya dan mengisi data diri Nuansa untuk mendaftarkannya sebagai 'yang disewa'.
"Kau mau pasang tarif berapa?" tanya Fani.
"Memagnya rata-rata orang pasang tarif berapa?" Nuansa bertanya balik.
"Macam-macam, tak menentu. Ada yang sejuta perminggu, ada yang tiga ratus ribu perhari dan ada juga yang sepuluh juta perbulan."
Nuansa kemudian tampak berpikir.
"Aku menyarankan dua ratus ribu saja perhari," ucap Fani.
"Jangan, itu kemahalan. Pasang tarif dua ribu perhari saja," ujar Nuansa. Fani sontak terkejut dengan usulan Nuansa barusan.
"D-dua ribu? Kau bercanda?"
"Tidak, ini strategi bisnisku, kau pahamlah."
Fani berpikir sejenak. "Ah ... Baiklah, kau memang pandai. Ok, aku pasang tarif dua ribu perhari."
"Dengan begini, akan ada banyak yang mau denganmu, jadi besok kau sudah bisa dapat penyewa. Besok temui aku lagi di sini, kita lihat pria mana yang kau pilih," sambung Fani.
"Jadi, aku tidak perlu ke warnet lagi?" tanya Nuansa.
"Kupikir awalnya kau akan memasang tarif ratusan ribu, tapi jika begini jadinya, dalam beberapa jam saja pasti kau sudah mendapatkan banyak calon penyewa."
"Baiklah. Terima kasih atas semuanya."
"Sama-sama, senang bisa membantu sahabat lamaku ini."
Nuansa lalu terkekeh kecil. "Aku pulang dulu, ya."
"Sampai jumpa besok!" seru Fani, Nuansa hanya tersenyum.
***
Sesampainya di rumah, Nuansa disambut oleh ibunya yang terlihat cemas. Mungkin karena Nuansa tidak pernah pulang semalam ini, ibunya jadi khawatir.
"Nuansa, dari mana saja kau?" tanya Durah, ibunya.
"Aku mendapatkan pekerjaan baru, ibu!" kata Nuansa sembari memeluk ibunya dengan kegirangan.
"Hah?" Durah kelihatan bingung dan sedak nafas karena pelukan Nuansa.
"Aku akan menjadi pacar sewaaan!"
"Pacar sewaan? Kau ini ada-ada saja! Tidak! Tidak! Ibu tidak setuju!"
"Ibu, dengar dulu." Nuansa lalu menjelaskan semuanya, dari awal hingga akhir secara rinci. Durah kemudian mempertimbangkan keputusannya.
"Bagaimana? Ibu setuju, kan?" tanya Nuansa usai menjelaskan semuanya.
"Terdengar bagus, tapi ... Bagaimana dengan usaha keripik singkong kita?" ucap Durah.
"Aku akan meminta bayaran perhari, jadi ibu dan ayah tidak perlu membuat keripik singkong lagi."
"Kau menjaminnya? Maksud ibu, apa pekerjaan ini bisa dijadikan harapan?"
"Tentu saja! Aku menjaminnya seratus persen!"
"Hmm, baiklah, ibu setuju."
"Mwah! Mwah! Terima kasih ibu! Aku yakin kalau pekerjaan ini akan mengubah hidup kita! Ngomong-ngomong, keripik singkong kita habis terjual hari ini," ujar Nuansa seraya menciumi pipi Durah. Durah terlihat bahagia ketika mengetahui bahwa keripik singkongnya ludes terjual hari ini.
"Ada apa ini? Kenapa kalian berisik sekali?" tanya Arfan, ayah Nuansa yang keluar dari dalam rumah mereka karena mendengar suara istri dan anaknya yang terdengar sangat gembira. Nuansa dan Durah lantas tersenyum mendengar pertanyaan itu.