Chereads / A God / Chapter 3 - 3. Agod dan Alexa

Chapter 3 - 3. Agod dan Alexa

Tak ada yang sempurna, fakta itu juga berlaku bagi kawanan Mafia dari kota sebelah ini. Orang-orang dari berbagai penjuru kota asal mereka dikumpulkan untuk menyerang Maraboro. Dari Kaligan A hingga D, mereka yang tak saling mengenal membuat kelompok ini memiliki celah yang terdengar sepele, namun amat berbahaya.

Agod bertaruh dengan takdir untuk hal ini. Dia melewati pria-pria berjas hitam yang beberapa menyapanya. Dia baru bisa menghela napas lega disaat dirinya telah sampai ke kamar Alexa. Agod berdiri menatap pintu kamar. Di lantai dua, di paling sudut.

Resiko tinggi, juga hasil yang besar. Agod mendapatkan Jackpot! Keberuntungan! Kejutan! Sebuah kejutan ... yang akan membuat hatinya sakit.

Agod membuka pintu kamar, nampaklah seorang gadis pirang yang menatap jalanan tanpa mau melihat arah manapun selain jendela menuju jalanan kota. Hati pria manapun pasti hancur melihat seorang gadis ceria di hari-harinya, menjadi kehilangan napsu hidup. Apalagi jika gadis itu adalah anak yang disayangnya.

"Pergilah .... Cari saja pelacur untuk bersenang-senang. Aku bukan pelacurmu!."

Alexa ... dia menganggap siapapun yang ada di rumah ini adalah penjahat kelamin. Mereka menganggap Alexa adalah seorang pelacur. Itu membuat Agod geram dan juga bersedih.

"Alex," panggil Agod. Pria tajam, kasar dan besar itu mendadak redup.

Suara yang khas, berat dan berkuasa. Tak ada lagi tersisa di dunia ini orang yang memanggil Alexa dengan sebutan Alex, selain ayahnya. Oh, ada satu lagi. Pria yang dia anggap sebagai ayah keduanya. Agod.

Gadis mungil itu tak bisa berkata-kata saat menatap Agod di ambang pintu. Tangan Alexa bergetar, raut wajahnya menjadi lebih sedih, namun di balik kesedihan itu, sedikit terpancar senyum kebahagiaan.

"A-ayah?" Alexa tak percaya apa yang di lihatnya. Perlahan gadis itu mendekati Agod.

Agod tersenyum, terkekeh haru. Matanya berkaca-kaca saat dia merentangkan tangannya lebar-lebar, mengajak Alexa untuk masuk ke dekapannya. Mata berkaca itu mengeluarkan air mata saat Alexa melompat masuk ke dalam pelukannya.

"Tenang, gadis kecil." Agod tertawa. "Ayah sudah disini."

Tak ada kata yang dapat menjelaskan betapa senangnya Alexa saat ini. Poni rambut gadis itu menjadi lengket terkena air matanya sendiri. Alexa melepas pelukannya dan menggeleng cepat.

"Ayah, kita harus cepat pergi dari sini. D-dia ...." Alexa menunjuk ke arah pintu lain di kamar mewah ini. Pintu yang mengarah ke toilet. "Ada disana."

Agod menggenggam tangan Alexa dan menuntunnya untuk bersembunyi di balik punggungnya. Agod menarik pistol yang dia selipkan di celananya. Telapaknya menjadi lengket karena darah yang ada di gagang.

"Tunggu disini."

Alexa menggeleng dan menahan Agod untuk pergi.

"Kita pergi saja, ayah," kata Alexa. "Tak ada gunanya melawan mereka. Yang ada kita akan menambah masalah lain. Ayolah pergi."

Agod menolak. "Sindikat itu hebat! Seorang gadis di bawah atap Sindikat tak pantas di perlakukan seperti ini. Tenang saja."

Alexa tak meloloskan niatnya. Dia menahan genggaman Agod semakin keras, membuat Agod harus berbalik menatapnya.

"Hebat? Ayahku juga dikatakan sebagai orang hebat. Si Tua, si ketua Timur yang hebat. Sekarang, apa yang terjadi? Kehebatan membunuh ayahku. Julukan itu tak berguna, rasa hormat dan sebagainya akan membunuh kita."

Agod tersenyum, menyeka air mata yang jatuh ke pipi Alexa. "Hei, jangan risau." Agod menggosokkan hidungnya pada hidung Alexa, membuat Alexa sedikit geli dan tersenyum dalam kesedihannya. "Ayah tak akan terbunuh. Ayah jauh seratus kali lebih hebat dari orang ini. Tenang saja, ayah tak bisa terbunuh."

Mendengar itu Alexa menjadi khawatir. Tak ada manusia yang tak dapat dibunuh, bagi seorang Agodpun, kematian tetap selalu mengikutinya kemanapun. Tapi Alexa melepas genggaman Agod dan membiarkan dia pergi. Agod tersenyum.

Mendengar dua orang berbicara yang datang ke kamar ini, senyuman Agod berganti menjadi mata membelalak.

Agod segera merampas Alexa dan membawanya masuk lebih dalam, menjauhi pintu yang terbuka. Seseorang bersiul dari kamar mandi, Agod merutuk pelan dan semakin memunggungi gadisnya, menjaganya.

Agod membidik pintu kamar mandi, seseorang tengah memutar gagang pintu itu hingga terbuka dari sisi lain. Agod menunggu, siapapun dia itu yang keluar dari sana, harus Agod cabut nyawanya.

Pintu kamar mandi yang terdapat di ujung ruangan, mulai terbuka perlahan. Pistol Agod sudah dalam mode tembak.

"Ya, seseorang menyerang orang kita." Langkah kaki dari luar juga semakin jelas, kini, Agod dapat mendengar apa yang dibincangkan oleh mereka.

"Siapa dia?"

Alexa semakin cemas dan menunduk. Agod bingung, harus menembak siapa terlebih dahulu. Pintu yang terbuka perlahan atau orang yang berjalan pelan. Agod bingung, kepalanya sakit. Keputusan apa yang harus dia ambil.

Dan saat dua mafia distrik membelalak di depan pintu terbuka, menatap Agod yang menodongkan pistol kepada mereka, "Sial!" Agod menetapkan tembakan pertamanya.

Mereka berdua yang berdiri di depan pintu merogoh ke dalam jas, mencoba mengambil pistol. Satu dari dua orang itu di tembak Agod di kepala. Dia tumbang dan mati. Rekannya melihat teman yang menjadi mayat, lalu dia menatap Agod hendak memelas. Hal terakhir yang dia lihat adalah pistol yang menyala.

Ujung laras pistol Agod menghembuskan asap samar setelah dua letusan tembakan. Dua orang tumbang di buatnya, satu orang terdengar menghempaskan pintu kamar mandi setelah mendengar tembakan pertama.

"Tetap di belakang, Alex."

Alexa ketakutan, mau tak mau, menyetujui.

Pistol yang ditembakkan menghasilkan suara yang keras. Ledakkan pistol menjadi alarm dan pemberitahuan, bahwa: Ada penyusup. Agod memperkirakan waktu. Tik, tik, tik. Lima detik. Dia hanya punya waktu lima detik! Lima detik sebelum dia mati.

Detik Lima. Semua mafia yang ada di depan halaman, garasi, ruang makan dan dapur mendengar suara tembakan dan mulai berlarian.

Detik Empat. Agod mulai menyapu bersih segala apa saja yang ada di kamar. Dia mencari sesuatu untuk dijadikan penyelamat dari situasi terpojok ini. Tempat tidur, bangku, meja, lampu. Tak ada yang menarik. Oh, kaca jendela.

Detik Tiga. Sebuah tangan mengambil pistol dari saku jas yang tergantung di dalam kamar mandi. Dari kamar mandi, tangan itu bersiap menembak Agod.

Detik Dua. Semua Mafia telah ada di lantai dua, bergegas dan berseru, "Dari lorong kamar ketua Robert! Di ujung lorong!".

Detik Satu. Agod berbisik pada Alexa, meyakinkan. "Pejamkan saja matamu, kita akan selamat dan jangan jauh-jauh." Alexa tak mengerti, tapi hanya bisa mengangguk.

Detik KOSONG!

Agod berlari sambil membawa tangan Alexa. Sekelebat orang muncul dari pintu, lama kelamaan menjadi ramai dan banyak. Agod menembaki mereka tanpa berhenti berlari. Satu persatu tumbang dengan otak meledak maupun jantung pecah.

Tinggal satu meter lagi dia akan melompat ke luar jendela. Seseorang membuka pintu kamar mandi dengan cepat dan orang itu menampakkan diri.

Pria itu buncit dengan dibaluti handuk di pinggang saja, tapi bukan itu ancamannya. Pistol yang dia angkat, adalah ancaman nyata.

Robert?

Agod mengganti bidikannya dan menembaki Robert sepersekian detik. Mereka masih berlari, Robert yang tanpa busana menunduk-nunduk terkejud tapi dia juga menembaki Agod secara sembarangan.

Tembakan si buncit Robert menghancurkan jendela yang mau di lompati Agod. Gigi Agod saling menyakiti, saat sadar bahwa dia tak berhasil mengenai Robert satu pelurupun.

Pistol Agod kehabisan peluru, dia melemparkannya ke lantai.

"Maju!" seseorang berteriak. Berasal dari pintu depan.

Agod mendecit, Sial!

"Lompat, Alex!" Serbuan peluru berdesing di telinga mereka. Satu persatu benda panas itu meleset di antara Agod dan Alexa. Agod membuat dirinya melayang di udara bersama gadis mungil itu. Jatuh dari lantai dua, bukanlah hal yang baik, tapi daripada mati, dia lebih memilih jatuh.

Dua orang itu melayang di udara. Terbang ke luar kaca. Orang-orang mulai berbondong berbaris di depan pintu. Semuanya menembak dengan gaya satu tangan ala film gangster. Peluru-peluru dapat Agod lihat sekian banyak melesat ke arahnya, dan semua meleset tak mengenainya.

Agod menarik Alexa ke pelukannya, dia sendiri menawarkan punggungnya sebagai hal yang pertama menghantam tanah. Niatnya, untuk mengurangi dampak sakit ketika terjatuh, dia akan mengorbankan dirinya demi si gadis. Dan, disitulah kesalahannya.

Alexa ketakutan. Wajah gadis itu berubah-ubah karena rasa takut. Mulai dari gamang. Takut. Was-was. Lalu rasa sakit.

Alexa berteriak di udara. Tubuhnya tersentak tiga kali. Mulutnya terbuka dan sangat cepat mengeluarkan darah. Mata gadis itu kemudian menjadi lemas, lama kelamaan, menjadi sulit terbuka.

Pria itu menggeleng-geleng. Gadis ini muntah darah di pelukannya. "Tidak ...." Pria yang bangga menyebut dirinya sebagai 'ayah', gagal sebagai ayah.

Momentum dengan cepat hilang, Agod dan Alexa dengan keras terhempas ke rumput.

***

Kepala Agod pusing, sakit, dan saat dia membuka mata, semua yang dia pandang berputar, berkunang-kunang. Dia menggerakkan tubuh sedikit, semuanya sakit. Sakit sekali. Tubuhnya berhenti, berteriak menyuruh Agod untuk berhenti bergerak untuk sekejap saja. Tapi Agod tak bisa. Dia tak bisa, dia harus membawa Alexa pergi dari sini dan mengobatinya. Ke suatu tempat. Yang rahasia.

Agod mendorong Alexa, menelentangkan gadis itu ke sisinya. Dia menggoyang pelan pipi Alexa. Mata gadis itu ... tak kunjung terbuka.

"Alex, Alex .... Bangun, nak? Ya, tuhan. Ayolah, bangun! Ayo .... Hei!"

Alexa membuka mata, tapi Agod tahu tatapan itu sangat sayu dan lemah. Dalam kesakitannya, Alexa menggeleng lantas menampar pipi Agod pelan.

"A-yah ... pergi."

Lalu Alexa menutup mata. Agod memukul kepalanya sendiri dengan keras. Pukulan itu melemparkannya terduduk di atas tanah, lantas, itu membuat dirinya sadar.

Dia melihat tubuh gadis ini, dari sana keluar darah yang semakin lama semakin banyak. Perlahan, rumput hijau menjadi lengket. Darah Alexa membasahi semuanya

Dengan penuh harap, doa dan segalanya. Ahh. Agod bingung. Dia berharap suatu keajaiban akan terjadi pada anak gadis ini. Agod mengecek nadi leher Alex, nadi tangan Alex, nadi jantung Alex. Agod bahkan tak tahu apa jantung itu termasuk dengan nadi. Dia .... Dia hanya tak dapat tahu. Dia kacau. Dia bingung. Tapi, sudah jelas. Kenyataan menikamnya amat keras. Apa yang telah pergi, tak akan dapat kembali.

Dengan berat hati, Agod berlari pergi. Tembakan mulai mengiringi langkahnya. Mengiringi kepergiannya. Mengiringi, kematian Alexa.

Agod menangis.