Chereads / A God / Chapter 8 - 8. Ketua Agod, 'Kan?

Chapter 8 - 8. Ketua Agod, 'Kan?

"Fei, targetmu adalah dia. Lakukan sebelum malam tiba."

Fei menunduk hormat, menghadapkan rambut pirangnya. "Seperti yang kau perintahkan, tuan."

Agod mengangguk puas, Fei pasti akan melakukan tugasnya dengan amat baik. Si gendut Robert dipastikan, akan mati sebelum matahari bersembunyi.

Kabin tersembunyi Agod tak seramai semalam, disaat ketua Hyu hadir di sini. Sekarang tempat ini kembali seperti semula, menjadi sepi dan tenang. Hanya ada Agod dan Fei berdua. Sebuah tempat yang menyenangkan.

Tapi mereka berdua juga akan pergi. Fei akan membunuh Robert dan Agod menarget Ben. Kabin tersembunyi ini akan menjadi tempat pelarian yang pas, jika saja Fei dikejar polisi.

Mengingat polisi, Agod teringat tentang Chester. Dia belum tahu dipihak mana Chester saat ini. Dia tak tahu apa yang dipikirkan teman lamanya itu jika tahu bahwa kekacauan hari ini, adalah apa yang dia mulai.

Ya, kekacauan yang dia harapkan tak pernah terjadi. Dia telah bersumpah akan membayar siapa yang bisa membunuh orang-orang Distrik, tapi dia tahu ini adalah hal buruk. Dia takut dia tak bisa membayar mereka. Melanggar sumpah, adalah hal terhina yang pernah dia ketahui.

Dia pergi meninggalkan hutan ini dengan motornya. Tak perlu dia mengingatkan Fei agar lupa apa perintahnya, dia hanya pergi saja. Karena, keyakinan telah menjamin kualitas tangan kanannya.

Fei menunduk melepaskan kepergian Agod. Sepeda motor melewati jalur hutan, tembus ke kota Selatan, lewat ke Timur di mana terjadi macat parah. Agod menilai keadaan, dia tak bisa menunggu lampu merah berubah hijau atau menunggu jalanan kembali normal, dia bisa mati tua jika melakukannya. Anak-anak yang kembali dari sekolah memenuhi trotoar, mereka enteng berjalan dari sudut sana ke sudut sini, tanpa harus terjebak macet.

Agod mengangguk. Dia mengarahkan sepeda motornya ke sana, menarik gas dan dia bergerak tanpa hambatan seperti mereka pejalan kaki. Orang-orang minggir dari hadapannya, ada yang memakinya juga, tapi itu hanyalah umpatan kesal belaka. Jika Agod turun, Agod sangat yakin bahwa takkan ada yang berani berdiri lagi.

Jadi, dia melanjutkan perjalanannya.

Sejenak saat memasuki Utara kota, Agod tersentak mengingat Fei yang berkhianat. Namun itu langsung dia tepis dari akal sehatnya. Dia menolak Fei melakukan itu tanpa alasan. Fei tak akan mungkin berani menodongkan pistol pada tuannya jika Agod tak menghilang begitu lama. Dan juga, Agod berani bertaruh nyawa bahwa Fei tak akan berkhianat padanya. Tak mungkin seseorang seperti dia, yang telah menghabiskan bertahun-tahun bersama, berubah menjadi seorang pengkhianat. Agod tahu manusia punya hati dan Fei adalah manusia juga.

Agod yang masuk ke dalam pikirannya tak sadar bahwa dia sudah sampai di Utara kota. Pelabuhan juga sudah nampak di depan mata. Tak lama setelah mencapai Utara, Agod sampai juga di pelabuhan besar nan megah. Penuh kapal kargo dan gudang-gudang yang banyak—dan juga awak-awak kapal yang lalu lalang.

Agod menaruh motornya sedikit jauh dari gerbang pelabuhan, dia memerlukan motor ini untuk kabur jika saja seseorang mengenalinya dan dia juga tak bisa membawa motor ini masuk ke dalam karena itu sama saja memancing orang-orang untuk tahu siapa dia.

Waktu yang Agod habiskan melihat-lihat pelabuhan dari depan gerbang adalah waktu untuk mengumpulkan informasi.

Agod tahu bahwa kegiatan pelabuhan sama seperti biasa. Seperti mobil truk besar yang datang membawa muatan dan juga awak-awak kapal yang memuat apa yang dibawa oleh truk besar itu.

Gudang penyimpanan narkoba juga sama seperti biasa, sedikit yang menyentuhnya. Gudang narkoba itu terletak di pinggiran pelabuhan, bertempat diantara gudang-gudang biasa lainnya.

Di depan gudang narkoba itu, Agod menandai seseorang yang dia kenali. Walau wajah tak kelihatan, namun dia yang memakai kacamata dan tubuh yang kurus dapat langsung Agod kenali—atau mungkin dia salah.

Tetua Ben. Itu orang-orang memanggilnya dulu. Agod ingat, betapa marahnya dia ketika tahu bahwa kapal pesiar yang ditumpangi Iggario meledak di tengah-tengah lautan. Namun ketika menerima kabar bahwa Iggario berhasil selamat dari ledakan, Agod menjadi lega. Akan tetapi, marahnya tetap sama.

Agod menyandarkan punggung kemeja putihnya ke dinding kargo yang tertata di bagian luar gerbang. Dia lelah berdiri, tapi dia harus memerhatikan kegiatan pelabuhan sedikit lebih lama.

Jika ada jaminan untuk Agod bisa keluar hidup-hidup dari sana, Agod pasti telah masuk dan menerkam Ben. Dia sudah merasakan giginya sangat lembut, bahkan tangannya terkepal tanpa dia sadari. Dia akan menerkam Ben, melompatnya dan mencabut lidah si kurus yang sedang tertawa itu. Lalu untuk mengakhiri, dia akan membakar Ben hidup-hidup. Sebuah cara mati yang sama seperti Iggario yang mati di dalam mansionnya sendiri. Terbakar hidup-hidup. Untuk menyamakan, seperti Iggario yang mati tertimpa puing-puing, Agod akan menimpa Ben yang masih terbakar dengan kargo satu ton lebih! Itulah caranya menjelaskan kebencian.

Tapi tidak sekarang.

Nanti, di masa yang akan datang. Agod kembali, menaiki motornya dan pergi dari pelabuhan. Jika jaminan dia keluar ada, maka masa Ben sudah tiba. Sekarang, tak ada jaminan, menukarkan nyawanya sendiri bukanlah pilihan baginya.

Tenggorokan Agod kering. Dia ingat, dia belum minum sedaritadi. Dia menengok pinggiran jalan, mencari sebuah kedai atau semacamnya. Yang penting, dia bisa minum.

Dia melihat sesuatu, sebuah Vending Machine. Dia berhenti disana, turun, dan memasukkan 25 sen ke dalam Vending Machine. Dia memilih sebuah kaleng minuman isotonik, secara cepat sekaleng minuman isotonik dijatuhkan. Dia memungutnya dari laci di bagian bawah, membuka tutupnya dan mulai meminumnya.

"Ahh ...." Tenggorokannya yang kering berubah segar.

Sambil menikmati minumannya, dia bersender pada dinding. Suasana seperti rakyat biasa dia dapati. Sesuatu yang tenang. Pria-pria membawa koper keluar-masuk dari persimpangan di depan Agod. Para buruh juga banyak lalu lalang. Begitupun mobil taksi yang membawa penumpang. Tak ada dari mereka yang menyadari kehadiran Agod. Sebuah suasana menenangkan, menjadi hilang.

Karena si celek di seberang jalan.

Pria berambut panjang sedagu muncul dari persimpangan. Dia diikuti rekan-rekannya yang berlagak kuat dan hebat. Pria-pria yang lewat mereka bentak dan tarik kerah, lalu mereka tanyai.

Agod menatap si celek yang juga menatapnya. Tapi Agod tak menatap lama-lama, karena dia jijik dengan satu mata buta yang jelek dipandang. Tapi sebelum mata Agod berpaling menatap sesuatu yang lain, Agod tahu bahwa orang itu mengenalinya..

"Apa kau orang Distrik?!"

Agod tersenyum, ternyata pemburuannya sudah dimulai. Agod menoleh ke arah suara, ke tempat dimana si celek sedang menyandarkan pria berjas ke dinding kaca. Pria yang dia dorong itu adalah orang tua berjas hitam. Tapi si pria berambut panjang tetap membentaknya. Dari gelagap orang tua itu, tak mungkin dia adalah seorang mafia yang sedang melakukan perang. Setelah beberapa kali gelengan dan ringkihan takut, orang tua itu pada akhirnya dibiarkan pergi.

Agod meminum minuman kalengnya sambil melihat si celek menyeka keringat di wajah yang kemudian dia hempaskan ke rekannya. Agod terkekeh, rekannya marah-marah dan membentak, tetapi Agod sadari bahwa tak ada nada marah. Agod segera sadar, ternyata, begitulah cara mereka bercanda.

Agod menenggak minumannya, kali ini hingga habis. dia melempar kaleng itu ke sembarang tempat, namun dirinya tak lepas dari menatap si celek. Si celek juga tak lepas menatapnya.

Apa-apaan?

Si celek seperti pria yang sedang melihat sahabat lamanya. Ya, dia menatap Agod seperti itu. Wajahnya berseri senang, seperti berharap sesuatu dari Agod. Dan dia menatap Agod sangat lama, membuatnya risih. Bahkan, saat sepuluh rekan yang dia bawa bersama sedang menginterogasi siapapun yang lewat, si celek tak berpindah mata.

Sepuluh rekan bergaya sama seperti dia, denim robek dan lengan tatoan, mencegat tiga orang pria berjas hitam yang sedang lewat. Si celek tak peduli terhadap rekannya dan malahan tersenyum akrab pada Agod.

Agod menegakkan diri, membusungkan dada. Dia tahu bahwa orang buta satu mata ini punya urusan dengannya. Dua mata sehat menatap satu mata buta. Jalan raya adalah satu-satunya penghalang mereka berdua.

Wavter melambai, berteriak.

"Ketua Agod, 'Kan?"

Agod terkekeh kesal, orang ini tak pantas bersikap sok akrab dengannya.

"Kau siapa? Dasar orang buta!"

Seketika, si celek kehilangan senyumnya. Dari tersenyum senang, si celek berubah kosong—kemudian marah! Agod juga marah melihat si celek yang berani marah padanya.

Pria di seberang jalanan bernapas memburu, tangannya mengepal marah, dia berlari menyebrangi jalan tapi sebuah truk besar lewat cepat memaksanya berhenti.

Agod mengangkat alis, takjub pada tekad orang buta itu yang ingin menghajarnya walau dia tahu bahwa lawannya adalah sang Ketua Terhormat. Mungkin, dia akan baku hantam saat ini. Yah, Agod memukul punggung pistol yang dia bawa sedari tadi. Hanya orang bodoh yang tak menggunakan pistol jika dia membawanya.

Mobil truk telah habis lewat. Agod telah mencabut pistol saat si celek telah bersiap kembali untuk maju menyerang dan berniat keras untuk menghantam kening Agod. Tapi seseorang yang berteriak keras, menghentikan mereka.

"Mereka orang Distrik!"

Bak! Buk! Sepuluh orang tadi segera menyelimuti tiga orang pria yang mereka tanyai. Seperti semut mengangkat mangsanya, begitulah nasib tiga orang itu. Mereka mencabut pistol dari dalam jas, namun tak bisa karena mereka menghantam toko. Memecahkan kaca dan tertancap beling di berbagai sisi.

Si celek melirik rekannya yang bertarung, dia menatap Agod kembali.

"Aku Wavter! Kuberikan hadiah kepala mereka untukmu, Ketua Agod!"

Agod tersenyum, orang yang bernama Wavter itu telah kembali ke dirinya sendiri. Uang yang Agod tawarkan, ternyata sangat kuat untuk menghentikan amarahnya.

Entah apa harapan Wavter jika mendapat uang, Agod tak tahu dan tidak peduli terhadap itu. Seiring Wavter melompat meninju satu pria yang sudah memegang pistol, Agod telah ada di atas motor 'pinjamannya'.

Agod mengengkol mesin dan pergi dari sana. Dia mual dan jijik jika harus menatap satu mata buta parah itu lewat lima detik saja. Dia berharap dan berdoa untuk tak bertemu dengan Wavter lagi. Akan tetapi Maraboro amat kecil dan takdir, mengharuskan mereka 'tuk bertemu kembali.

Sebagai seorang musuh.

#Like Bro. Capek.