Chereads / Tersesat di bumi lapisan ketiga. / Chapter 7 - Bab.7. Jazulan

Chapter 7 - Bab.7. Jazulan

Hari ini hari ke lima Andika dalam khalutnya. Matahari siang yang bersinar terik, tidak membuat Saidul berhenti untuk sekedar berteduh. Dia sedang mencangkul tanah kebun didekat pondok yang akan ditanami jagung, keringat membanjiri tubuhnya, tapi dia seperti tidak merasakan lelah dalam sengatan matahari yang cukup terik itu. Saidul telah selesai mengantarkan makan siang untuk Andika, jadi ia punya banyak waktu luang hari ini. Pakaian Andika telah dicucinya tadi pagi selepas turun ngaji sesudah shalat subuh. hari ini adalah hari ke tiga Andika menjalani khalutnya.

Saidul terus saja mencangkul tanah, walaupun matahari masih sangat terik, sudah hampir satu jam lebih ia mencangkul, tapi seakan tidak terasa kelelahan pada dirinya. Sesekali ia melirik kemah kecil Jazulan yang berdiri didekat air terjun. Sejak hari pertama itu, sampai hari ini Jazulan tidak pernah kelihatan berdiri di depan kemahnya atau sekedar berjalan disekitar kemahnya itu. Entah dimana dia. Saidul bermaksud hendak kesana untuk berkenalan dengannya, tapi ia masih sangat ragu. Sambil terus mencangkuli tanah dengan cangkul burungnya, pikirannya terus saja berkecamuk dalam keresahan hatinya. Ia teringat ketika tadi malam bertanya kepada Tengku Razak tentang keanehan Jazulan yang agak misterius, bukan hanya dia, santri yang lainpun tidak ada yang berani berada dekat dengan Jazulan. Pandangan matanya sangat tajam dan terkesan menakutkan. Apalagi dia tidak berbicara atau membalas sapaan siapapun yang menegurnya.

Menyikapi pertanyaan Saidul yang sangat serius itu, Tengku Razak mengajak Saidul duduk disalah satu balai kecil tempat para santri belajar. Tengku Razak mulai menjelaskan bahwa Jazulan adalah musafir yang berasal dari tempat yang jauh. " Dia berbeda bangsa dengan kita, Jazulan sudah sangat lama memeluk Islam, tetapi ia merasa masih sangat kurang ilmu agamanya. Lalu guru yang mengajarinya dulu menyuruhnya datang kesini untuk belajar kepada Aba Syeh Maulana. Maka jadilah ia murid disini. Dia memang jarang berbicara, Hanya Aba Syeh yang datang diwaktu-waktu tertentu untuk mengajarinya."

"Jadi dia berasal dari bangsa lain Tengku? pantas saja dia pendiam, ternyata dia tidak bisa bahasa kita, Apa dia dari Arab? Atau India?Tetapi dia sangat pendiam dan misterius. Saya tidak pernah melihatnya makan atau minum di dapur santri. Apakah dia bekerja ditempat lain?"

Tengku Razak tersenyum sambil menepuk bahu Saidul." Rasa ingin tau yang berlebihan, hanya akan membuat hati menjadi gelisah. Cukup mengetahui apa yang ditunjukkan Allah bagimu. Dan Allah menyuruh kita untuk berbuat baik kepada saudara kita sesama." Lalu Tengku Razak bangkit dan pergi meninggalkan Saidul sambil geleng-geleng kepala. Tapi ia lalu berhenti sejenak.

"Jika antum penasaran, kenapa tidak bertanya langsung pada orangnya? Lalu dia pergi meninggalkan Saidul yang bertanya-tanya.

Saidul tanpa sadar masih berdiri menatap tanah sambil berpegang pada cangkulnya ditengah lahan kebun kecil yang sedang digarapnya. Terik matahari samasekali tidak dirasakannya membakar kulitnya. Tangannya sudah berhenti mencangkul entah sudah berapa lama. Ia tersentak ketika matanya menatap sebuah bayangan yang jatuh dekat mata cangkulnya. Terkejut ia mendongak dan mendapati sepasang mata yang sangat tajam sedang menatapnya galak.

" Jazulan?!"

Seketika pegangan tangannya pada cangkul terlepas, gagang cangkul jatuh menimpa kaki kanannya. Orang yang ada di dalam pikirannya kini berada dihadapannya sedang menatapnya. Seolah-olah dia keluar dari kepala Saidul. Jazulan tidak berkata apapun. Tangannya menunjuk ke pondok tempat Andika Sedang berkhalut. Saidul memalingkan wajahnya melihat kearah pondok. Alangkah terkejutnya ia melihat Andika sedang melempar dan menendang barang-barang yang ada didalam pondok. Kasur tipis dan tumpukan bajunya ikut dilempar kesana kemari bahkan sampai keluar. Segera ia berlari dan menangkap Andika sambil mengucapkan asma Allah ditelinga Andika yang berteriak...ulaar...ulaar!"

Jazulan meraih ujung jari kaki Andika yang masih berusaha meronta-ronta dan memijat kedua jempol kaki Andika sambil membaca ayat-ayat suci dengan cepat. Seketika Andika lemas dan tersadar dari paniknya. Ia duduk bersandar mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. Pakaiannya basah oleh keringat. Saidul menyodorkan sebotol air padanya untuk menenangkan diri.

"Istighfar bang. apa yang abang lihat tadi? ular ya?, itu adalah perwujudan setan yang ingin menggagalkan peribadatan abang. Yang seperti ini memang kadang- kadang terjadi pada pelaku khalut. Tapi jangan mundur, bisa dibilang ini hanya godaan saja, jangan kalah bang, kita manusia, diberi akal untuk berfikir secara nyata, jangan sampai tertipu oleh perangkap setan, berlindung pada Allah, tidak ada yang mampu melawan Allah bang.

Terengah-engah Andika menatap Saidul dan mengangguk lemah. Sejenak ia terpana melihat Jazulan, keningnya berkerut heran melihat Jazulan ada disana juga. Melihat Andika telah sadar Jazulan menepuk bahunya, lalu beranjak pergi tanpa berkata apapun.

Saidul mengangkat bahunya mendapatkan tatapan heran Andika. Lalu Saidul membereskan kembali bilik kecil yang berantakan itu. Ia menceritakan bagaimana Jazulan yang memberitahukan padanya tentang histerisnya Andika. Sedangkan dia sedang menggarap tanah di kebun samping pondok.

" Makin lama saya makin penasaran sama Jazulan bang. Sepertinya dia tertarik pada bang Andika. Apa mungkin dia selama ini terus memanatau abang? Tapi orangnya jarang nampak. Tiba-tiba sudah muncul saja kayak hantu.? Atau jangan-jangan dia itu buronan interpol, karena kata Tengku dia berbeda bangsa dengan kita." Saidul bicara sendiri dengan logat Aceh Selatannya yang kental.

-----+++

Sementara Saidul berbicara sendiri sambil merapikan tikar dan kasurnya yang ikut diacak-acak Andika, Andika kembali kebiliknya yang telah lebih dulu dirapikan kembali oleh Saidul, setelah mencuci muka dan berwudhu. Ia melaksanakan shalat sunat dua rakat memohon perlindungan Allah untuk melanjutkan lagi dzikirnya yang terganggu oleh setan tadi. Diliriknya jam di hp nya, sebentar lagi waktu sholat Ashar pikirnya. Sebenarnya tadi Andika sedang berada dalam setengah sadar dalam kekhusyukan dzikirnya. Tiba-tiba ia merasa disekelilingnya menjadi sangat sunyi senyap. Lalu muncullah seekor ular setinggi dirinya menjalar memutari dirinya sambil mendesis ganas. Dibacanya dzikirnya lebih keras, dan ternyata membuat ular tersebut makin ganas membalik-balikkan tubuhnya kalang kabut seperti kesakitan, namun ia menjadi semakin ganas dan berusaha menyerang Andika. Andika yang panik menjerit menendang-nendang dan meraih apa saja untuk memukul, dan menghindar kemana ular tersebut berusaha menyerangnya. Ia terlempar ke dinding oleh hantaman ekor ular itu. Lalu berputar dan berlari kesana kemari menghindari moncong ular yang menyerangnya dengan ganas. Akhirnya ia sadar ketika mendengar Saidul memanggilnya dan melihat Jazulan datang memukul ular tersebut dengan sebuah tongkat lalu pergi. Itulah sebabnya ia sangat heran ketika melihat Jazulan duduk dikakinya. Tatapannya masih saja tajam dan mengerikan. ---+++

Hari ini hari ke sepuluh Andika berada dalam bilik Khalut. Tidak ada kejadian yang menggemparkan seperti seminggu yang lalu. Hanya ada dua kali Andika membangunkannya tengah malam untuk bertanya apakah Saidul yang baru saja mengetuk pintunya. Saidul yang setengah mengantuk hanya mengiyakan saja, lalu melanjutkan tidurnya lagi.

Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa. Tengku Razak pernah datang sekali memantau Andika pada malam jum'at yang lalu. Dia sudah mendapatkan laporan Saidul perihal Ular yang mengganggu Andika. Malam itu Tengku Razak ikut bermalam dipondok dengan Saidul. Tapi dia tidak tidur. Tengku hanya shalat dan berzikir sampai menjelang subuh.

Hari ini genap dua puluh hari Andika didalam khalutnya. Saidul berencana akan pergi mengunjungi Jazulan dikemahnya.

Ia membakar 3 ekor ikan untuk lauk santapan siang nanti. Ia berencana akan memberikan seekor ikan bakar untuk Jazulan nantinya. Setelah ikan-ikan itu matang, Saidul segera membungkusnya dengan daun pisang. Yang dua ia tinggalkan di pondok, dan satu lagi dibawanya menuju kemah jazulan. Ia berjalan perlahan menuju kemah Jazulan yang terletak ditanah yang agak lebih tinggi dari pondok mereka, maklum daerahnya memang pegunungan. Mendekati kemah, Saidul hanya melihat kesunyian dan suara air terjun. Setelah berada didepan kemah yang sepi, Saidul mengucapkan salam.

"Assalamualaikuuum...,akhii...ada didalam?" kata Saidul memyebut akhi (saudara) karena tidak tau harus panggil apa.

Saidul celingukan karena tidak ada jawaban. Ia berputar ke belakang kemah, lalu melihat ada sebuah galian sumur disana. dari dalam sumur ia melihat ujung tangga bambu tersebul keluar dari bibir sumur. Segera dia mendekati sumur untuk melongok kedalam. Tapi begitu ia akan menjulurkan lehernya hendak melihat kedalam sumur, sebuah kepala dengan tatapan tajam muncul di bibir sumur.

"ASTAGHFIRULLAAAH...." Saidul hampir terjatuh saking kagetnya.

"Aduh akhiii, takajuik amboo do, tibo-tibo dah mencanguik jo diateh tu. (terkejut saya ni, tiba-tiba muncul diatas sumur itu)" katanya dalam bahasa daerah.

Jazulan keluar dari sumur dan berjalan ke air terjun. Tanpa menjawab apapun Ia membersihkan dirinya yang penuh lumpur katika menggali tadi. Setelah itu ia kembali ketempat Saidul berdiri menunggunya dibibir sumur sambil memegang bungkusan ikan bakarnya. Di tunjuknya bungkusan itu.

Saidul segera menyodorkan ikan bakarnya pada Jazulan. Jazulan menerimanya dan langsung duduk di bangku kayu yang dibuatnya di belakang kemahnya. Nampak disitu ada satu buah kendi air minum. Tanpa bicara apapun Jazulan membuka bungkusan dan mulai menyantap ikan bakar Saidul. Melihat Jazulan makan, rasa kecut dihati Saidul pada Jazulan mulai sirna.Ia berjalan mendekati sumur yang sedang digali Jazulan dan melongokkan kepalanya melihat kebawah. Sumur itu lumayan dalam. Lebih kurang tujuh atau delapan meter, Saidul memperkirakan dari panjang tangga bambu yang di pakai Jazulan. Tampaknya sumur itu telah berisi air, tapi airnya sangat jauh berada didasar sumur saja.

Buat apa gali sumur? air kita melimpah ruah disana? Saidul menunjuk air terjun pada Jazulan yang sudah selesai menyantap ikannya. Lalu Jazulan mengajak dengan isyarat tangannya pada Saidul untuk turun ke dalam sumur mengikuti dirinya. Terus terang Saidul merasa terkejut dan ragu, sekilas fikiran buruk melewati kepalanya. Tapi Jazulan menarik bajunya agar ia bergegas. Akhirnya Saidul ikut masuk turun kedalam sumur menapaki tangga bambu satu persatu yang teasa licin oleh lumpur dengan sangat hati-hati.

Setiba di dasar sumur Jazulan tidak ada, suasananya agak gelap karena cahaya matahari hanya masuk sedikit. Saidul berputar melihat dinding sumur yang serba hitam mencari keberadaan Jazulan. Ia menjerit kaget ketika sisi dinding sumur disampingnya bergerak dan sosok Jazulan muncul disana.

"Kesini..." Jazulan berkata. suaranya dalam dan berat dan aksennya kental. Saidul kaget mendengar suara jazulan. Tapi ia lebih kaget lagi karena didasar sumur itu ternya ada terowongan kecil setinggi bahu, sehingga siapapun yang melewatinya harus sedikit membungkuk. Ragu-ragu ia menyusul Jazulan menapaki terowongan kecil itu. Ia bisa merasakan kakinya menapaki batu karang basah yang arahnya menurun serta sedikit licin. Sehingga ia harus berpegangan pada dinding goa kecil itu agar tidak terpeleset. Anehnya Jazulan santai saja, ia berjalan dengan cepat tanpa berpegangan. Semakin dalam mereka berjalan semakin tinggi atap terowongan itu dan semakin lebar pula. Dasar terowongan tidak lagi basah, seolah olah terowongan ini telah lama adanya. Setelah berjalan kurang lebih lima belas atau du puluh menit dengan jalanan yang terus menurun, mereka berada dalam sebuah goa yang cukup besar. rongga goa ini besarnya lebig kurang lima belas meter bujur sangkar dengan tinggi langit-langitnya kemungkinan lima sampai delapan meter, dan anehnya goa ini cukup terang. Cahaya berasal dari batu kristal yang menyembul dari tengah tengan langit-langit goa seperti hiasan lampu gantung, benar-benar indah, tepat dibawahnya ada sebuah sumur yang tertutup lempengan besi berukir. Ketika Saidul ingin menyentuh tutup sumur, Jazulan menahan tangannya. Ia menggelengkan kepalanya.

"Syeikh Maulana. " ujarnya dengan suara yang dalam.

"Aba Syeh? Maksud akhi Syeh Maulana tahu tentang goa ini?" tanya Saidul terkejut. Jazulan mengangguk.

Lalu ia menarik tangan Saidul mendorongnya untuk segera kembali ke luar. mereka keluar dengan cepat, dan Saidul berpamitan pada Jazulan setelah berterimakasih menunjukkan goa itu padanya. Ia berjanji tidak akan mengatakan pada siapapun sebelum ada perintah dari Syeh Maulana mengenai goa itu. Jazulan mengangguk dan pergi meninggalkannya masuk kembali kedalam sumur. -----+++