Chereads / Glass Heart - Kojiro & Nana / Chapter 3 - Pameran Balon & Sekolah Baru

Chapter 3 - Pameran Balon & Sekolah Baru

Ujian pun berlalu dengan cepatnya. Karena pada dasarnya Nana dan Kojiro cerdas, semua berhasil mereka selesaikan dengan baik. Tinggal menghadapi ujian masuk ke SMA Nusantara, sekolah menengah terbaik di kota ini. Siswa-siswa yang dihasilkannya berkualitas tinggi dan banyak yang masuk universitas favorit.

Tibalah hari dimana Kojiro dan Nana merencanakan pergi ke Senayan untuk melihat pameran udara. Nana sudah minta ijin pada neneknya. Sehabis sarapan cepat-cepat ia pergi ke stasiun. Koji berjanji menunggunya di sana.

"Hai, Nana…mau kemana?" Tiba–tiba di tengah jalan ia bertemu dengan Anita, seorang temannya di klub basket. "Mau ke sekolah, ya, ikut perpisahan klub?"

"Ee…nggak…anu, si Koji diminta diantar ke Senayan…mau lihat pameran balon. Maaf tak bisa ikut perpisahan. Salam buat yang lain, ya…" Nana jadi merasa tidak enak.

"Ah, kalian…selalu berdua. Apa kalian benar-benar tidak pacaran?"

"Kami adalah sahabat!" potong Nana. "Jangan bikin gossip yang nggak-nggak, dong…"

"Aduh Nana… segitu aja marah. Habis dari sejak kelas satu kalian barengan terus, jadi yaa...gosip, deh… Eh ngomong-ngomong nggak terasa, yah…sudah tiga tahun kita di SMP dan sekarang sudah lulus. Waktu berlalu sangat cepat, ya…"

"Yah, begitulah…"

Tanpa disadari, Nana terbawa pembicaraan Anita hingga akhirnya mereka ngobrol mengenang masa-masa di SMP. Masa indah yang takkan terulang lagi. Kenangan masa kecil yang polos dan menyenangkan. Sedih juga, ia akan kehilangan teman-temannya, juga guru-guru galak yang pelajarannya sulit dimengerti…

"Wah…ya…ampun…! Sudah jam segini, aku duluan deh…nanti terlambat perpisahan klub." ujar Anita tiba-tiba. Ia melambai pada Nana lalu pergi.

Seketika Nana sadar bahwa ia pun sudah terlambat ke stasiun. Aduh…semoga saja Koji tidak marah.

"Aduh Nana bodoh…seharusnya kau cepat-cepat…!" tegur Nana pada dirinya sendiri. Ia berlari sekencang-kencangnya menuju peron. Aduh…pasti Koji marah besar…

BRUKK…

Karena tergesa-gesa, Nana tak memperhatikan lagi sekitarnya. Ia berlari kencang sekali mengerahkan segenap kemampuannya dan tak sengaja menabrak seorang laki-laki dengan kerasnya.

"Aduh…aduh, maaf… aku nggak sengaja…" keluh Nana. Ia membungkuk berulang kali meminta maaf setelah membantu orang itu berdiri. "Apakah Anda terluka?".

"Ah…tidak, saya…baik-baik saja." Setelah mengebas-kebaskan debu dari tubuhnya, pemuda itu mengangkat wajah dan menatap Nana keheranan. "Kamu…kuat sekali…"

Nana tidak menyahut. Ia keheranan juga melihat wajah pemuda itu yang cantik seperti perempuan, apalagi rambutnya pun agak panjang. Tapi suaranya barusan jelas-jelas suara lelaki.

"Kamu terburu-buru sekali, ya?" tanya pemuda itu lagi.

Seketika Nana teringat janjinya dengan Koji.

"Ma…maaf…aku harus pergi…" Setelah membungkuk minta maaf, cepat-cepat Nana meneruskan larinya.

"Hei! Hei!" panggil pemuda itu berulang-ulang, tapi Nana tak menoleh.

Ia membungkuk dan memungut sehelai pita yang terjatuh dari tas Nana, salah satu dari sepasang pita pemberian dari Kojiro. Ia mengamat-amati pita itu dengan penuh perhatian.

"Oh, Koji…maafkan aku… Aku terlambat karena tadi di jalan ketemu Anita dan keasyikan ngobrol…jadi …" Nana membungkuk minta maaf berulang kali, tapi Koji tidak marah. Ia menjewer telinga Nana dan menariknya ke peron.

"Dasar bodoh…lain kali jangan ngaret lagi, ya…"

"Baik, Tuan besar…"

Mereka segera naik kereta api yang berangkat ke Jakarta. Setengah jalan barulah Nana sadar apa yang terjadi saat ia memeriksa tasnya.

"Astaga…Koji…" Wajahnya tampak panik sekali. "Pita pemberianmu hilang satu…jadi…jadi…"

"Apa maksudmu?"

Nana lalu menceritakan semuanya. Ia merasa amat bersalah telah menghilangkan hadiah dari Kojiro padahal sekali pun ia belum pernah memakainya.

Pasti Koji kecewa sekali padaku… pikir Nana sedih. Ia hampir menangis karenanya. Untunglah sekali ini Kojiro tiba-tiba menjadi bijaksana. Ia menepuk-nepuk bahu Nana dan bicara dengan suara lembut.

"Sudahlah… tak usah dipikirkan…itu kan cuma pita. Akan aku belikan yang baru nanti…"

"Tapi itu kan dari Paris …kapan lagi bisa kesana…?!" keluh Nana.

"Sudahlah …aku janji akan membelikannya lagi…entah kapan…"

"Benar?"

"Benar."

Selama di perjalanan Kojiro dan Nana banyak ngobrol tentang apa saja. Nana tak pernah menemukan teman bicara yang lebih baik dari Kojiro.

Dari dulu ia tak ingin Koji memiliki sahabat yang lain, karenanya ia ikuti semua kegiatan anak laki-laki dan berlaku seperti laki-laki agar persahabatannya dengan Kojiro tidak berkurang.

Nana mengira Kojiro sudah menganggapnya seperti laki-laki, tetapi…

Kojiro malah memberinya hadiah sepasang pita yang indah itu…agar Nana bersikap lebih feminin. Ia menghargai Nana sebagai perempuan apa adanya dan hal itu membuat pitanya semakin berharga untuk gadis itu.

"Yak! Akhirnya kita tiba disini!" teriak Kojiro setelah turun dari bus kota. Ia menarik tangan Nana ke pusat pameran dan melihat balon-balon yang sangat ia sukai.

Pekan Raya Jakarta telah berubah menjadi keramaian yang meriah sekali. Banyak balon udara yang dipamerkan dan terutama, yang membuat Kojiro kagum, adalah balon Zeppelin.

"Aduh…Nana…bagus sekali…aduh…" keluhnya sambil mendecakkan lidah berkali-kali. Dengan semangat ia bertanya-tanya tentang berbagai hal pada para ahli yang mendemonstrasikan balon.

"Kalau ingin merasakan bagaimana naik balon udara, kalian bisa naik hanya dengan Rp. 50.000, saja…" ujar seorang pegawai. Ia menunjuk pada beberapa balon yang bertuliskan disewakan.

"Wah…asyik…!" seru Kojiro kegirangan. "Ayo, Nana, kita coba naik, yuk…"

Setelah membayar, Kojiro dan Nana menaiki balon udara yang segara melayang naik setelah gasnya dipanaskan. Balon itu diikat dengan tali yang tersangkut di sebuah batangan besi. Ketinggian maksimal yang dialami mereka berdua adalah 100 meter.

"Orang-orang jadi kelihatan kecil, ya…" ujar Nana dengan kagum. Ia melihat mata Kojiro nampak menerawang.

"Ini tidak cukup…aku ingin balon ini terbang…" keluhnya. Mereka terdiam beberapa saat.

Tiba-tiba saja entah dari mana angin besar bertiup menerpa balon itu. Semakin kuat menggoncang-goncang balon itu ke berbagai arah. Kojiro sangat gembira.

"Ini lebih baik." katanya.

Nana sendiri berusaha untuk tidak takut terguncang angin sekeras itu. Ia berpegangan kuat-kuat pada tepi keranjang. Setelah beberapa lama badai angin itu pun reda. Pegawai di bawah menyuruh Kojiro menurunkan balonnya. Dengan terampil Kojiro mengurangi pemanas dan perlahan-lahan balon itu mendarat kembali di tanah.

"Wah, Na…aku mau tanya-tanya dulu, ya…!" ujar Kojiro setibanya di tanah. Ia segera pergi dan menghampiri setiap orang yang mengerti tentang balon. Ia bertanya macam-macam hal. Dengan sabar Nana menunggui.

"Senangnya..! Aku akan coba buat balon terbangku sendiri…" ujar Kojiro saat perjalanan pulang. Hari sudah sangat sore dan mereka sudah sangat lelah. "Aku akan berusaha dari sekarang."

Nana membiarkan saja Koji dengan angan-angannya. Ia sibuk memikirkan pita rambut yang hilang itu…

Ahh…Bandung luas sekali, entah dimana ia bisa menemukannya.

***

Hari-hari berlalu demikian cepat. Hari ini pengumuman dari SMA Nusantara keluar dan Koji bersama Nana lulus dengan peringkat yang memuaskan.

"Nana…ada surat dari orang tuamu…mereka bilang tak bisa pulang seperti janjinya kemarin, sakit Diana kambuh lagi…" ujar Nenek. Wajahnya terlihat sangat sedih.

"Be..benarkah itu ?" Nana sangat kecewa. "Lalu… kapan mereka akan pulang…?"

"Mereka tidak tahu….."

Sedih sekali. Nana tak menyangka sama sekali kalau hal itu akan terjadi lagi… Ia telah berhasil meyakinkan dirinya bahwa sekali ini mereka benar-benar akan pulang. Ternyata gagal lagi.

"Jadi…aku belum bisa bertemu mereka, ya…?!" Nana tersenyum lebar. "Baiklah…jadi aku nggak usah capek-capek bikin hiasan selamat datang."

Kakek dan Nenek tampak lega melihat Nana tetap gembira. Mereka memang tak pernah melihatnya bersedih.

"Bagaimana dengan sekolahmu? Kapan penerimaan murid barunya?" tanya Kakek mengalihkan pembicaraan.

"Oh, beberapa hari lagi, Kek…aku harus siap-siap."

"Apa Koji masih akan menjemputmu ?"

"Tentu saja, awas kalau dia berani-beraninya meninggalkanku."

"Baguslah."

Memang Kojiro tidak pernah meninggalkan Nana. Hari pertama sekolah lagi-lagi mereka hampir terlambat. Dan upacara penerimaan murid baru yang sakral itu rusak ketika tanpa sengaja Nana menginjak kaki Koji dan pemuda itu menjerit kesakitan keras sekali.

"Kejam! Aku kan nggak salah! Kenapa kau injak kakiku? " teriak Koji.

"Aduh… maaf…aku nggak sengaja…maaf maaf…Aduh cengeng amat, sih baru keinjak segitu doang…"

Pak kepala sekolah yang sedang berpidato mendehem keras dan semua menjadi hening. Untuk mencegah terjadinya gangguan berikutnya terhadap upacara, mereka berdua didaulat seorang guru untuk berdiri di barisan kecil tepat di belakang tiang bendera. Benar saja, tak satu pun suara keluar lagi dari mereka berdua.

Saat pembagian kelas diumumkan….ternyata Kojiro tidak sekelas lagi dengan Nana. Keduanya kecewa karena hampir selama 10 tahun ini mereka selalu sekelas, tapi Nana dan Kojiro pura-pura senang. Keduanya saling meleletkan lidah.

"Akhirnya aku bebas darimu, Unta Jelek!"

"Apaan! Aku yang bebas darimu, Kodok!"