"Wah, Na…aku tadi pangling, lho…!" kata Lucia begitu melihat Nana di kelas. "Kamu naik angkot, ya? Kupikir tadi yang datang bareng Kojiro itu kamu, soalnya mirip banget sih…ternyata Diana, ya?"
"Iya…Mamaku bilang biar Diana yang ikut Kojiro supaya kesehatannya membaik. Maksudku, jantungnya Diana rusak sejak lahir dan adalah usaha keras seluruh keluarga agar dia bisa bertahan sampai sekarang…jadi aku pun harus memberi apa yang bisa kulakukan."
"Kamu nggak takut Kojiro direbut?"
"Nggak, Kojiro tetap sahabatku."
"Baguslah kalau begitu…"
Pulang sekolah Diana pergi ke klub musik sedangkan Nana dan Kojiro seperti biasa berlatih basket. Tim sekolah mereka telah berhasil lolos seleksi ke putaran final pertandingan basket pelajar sekolah menengah se-Indonesia. Nana senang sekali hari itu, seperti dugaannya Kojiro tidak berubah…ia tetap Kojiro yang dulu.
"Bagaimana rasanya mengantar jemput Tuan Putri?" tanya Iman, salah satu anggota klub basket saat mereka break latihan. "Nana nggak marah tebengannya diambil orang?"
"Biasa, aja…" jawab Kojiro dan Nana bersamaan.
Segalanya memang tetap seperti biasa. Tak ada yang berubah. Bahkan karena setiap hari naik kendaraan umum, Nana menjadi dekat dengan teman-temannya yang lain. Sepulang sekolah ia sering ikut mereka jalan-jalan ke mal atau pun sekedar main-main di rumah mereka.
"Kamu nggak langsung pulang?" tanya Diana keheranan. "Kamu selalu begitu…"
"Iya…Amy bilang hari ini mamanya membuat kue dan mengundang kami semua ke rumahnya…" Nana menggeleng. "Maafkan aku, tolong beritahu Mama bahwa aku nggak makan-malam di rumah…soalnya mau ditraktir Mita yang hari ini sedang ulang tahun…"
"Oh…begitu." Diana mengangguk lalu pergi kepada Kojiro yang sudah menunggu dengan sepedanya. Mereka lalu pulang bersama.
"Sebenarnya Kojiro dan Diana itu apa, sih?" tanya Mita heran. "Sorry, ya, Na…tapi sikap mereka kayak bukan sekedar teman, deh…
"Kalau bukan sekedar teman lalu apa?" tanya Nana geli. "Maksudmu pacaran?!"
"Iya, dong…! Anak-anak di sekolah juga berpikir begitu. Pokoknya sejak ada Diana sekolah jadi berubah, deh…"
"Kalian kedengarannya tidak terlalu menyukai Diana…" kata Nana keheranan. "kenapa?"
"Kami nggak rela Kojiro direbut orang lain…kalau sama kamu sih kita udah maklum…" jawab Lucia kesal.
"Tapi Diana bukan orang lain, dia saudaraku sendiri…" Nana susah payah menjelaskan. "Aku harus menjaganya karena…Diana tidak dapat bertahan hidup lama. Aku berutang segalanya pada Diana…"
"Apa maksud kamu? Apa kondisi Diana separah itu?" tanya Amy.
"Dan apa maksudnya kamu berutang sama Diana? Gua nggak ngerti, deh…" sambung Dana bingung.
Nana menghela nafas dan terdiam lama sekali sebelum akhirnya menjawab pertanyaan mereka.
"Diana nggak mau penyakitnya dibesar-besarkan, tapi kenyataannya memang parah sekali. Sejak lahir jantungnya tidak berfungsi normal karena ada lubang besar di dalamnya…selama ini ia hidup dengan berbagai bantuan mesin dan obat-obatan yang banyak sekali jumlahnya… Mama bilang Diana akan hidup selama ia memilki semangat untuk hidup…dan hal itu terjadi sejak ia sekolah di sini dan memiliki banyak teman… Kojiro sudah mengerti hal itu dari awal makanya dia mau menjaga Diana."
"Oh…" Keempat gadis itu mendesah.
"Kami tidak tahu…" kata Lucia pelan. "Pantas saja… di klub musik dia jarang tampil…kami pikir dia mau menghindari memainkan alat musik yang katanya dia kuasai…"
"Kami janji mulai hari ini akan bersikap baik padanya…" kata mereka bersungguh-sungguh.
"Terima kasih."
***
"Kojiro…" panggil Diana tiba-tiba. "Nana pergi dengan teman-temannya lagi…"
Kojiro mendesah tanpa menghentikan sepedanya. "Itu bagus, kan?"
"Tapi dia jadi jarang di rumah."
"Kalau itu aku nggak bisa komentar. Kupikir Nana sedang membutuhkan suasana baru…" Koji tertawa kecil. "Aku kasihan padanya karena selama ini terikat padaku…kami terlalu lama jadi teman baik sehingga dia tidak bisa bergaul dengan orang lain… Kurasa perubahan ini baik untuknya…"
"Oh, begitu…" Diana terdiam sejenak. "Kudengar kalian berteman sejak kecil, pasti kamu sangat mengenal Nana.."
"Yah, begitulah."
"Apakah kalian…er…cuma berteman baik atau lebih dari itu?"
"Ha..ha…lucu kamu harus nanya begitu… Aku sudah bosan menjawab pertanyaan itu terus menerus. Kamu tanya Nana aja, deh…"
"Tapi aku bertanya padamu…"
"Percaya, deh…jawabanku sama dengan Nana." Kojiro tiba-tiba menghentikan sepedanya dan menoleh ke belakang. "Aku lapar…bagaimana kalau kita singgah dulu makan bakso? Di sana bakso langganan kami, rasanya enak banget…"
"A...aku nggak boleh makan sembarangan…" Diana mendekap dadanya tanpa sadar. "…Tapi…aku akan menemani kalau kamu lapar."
Kojiro mengangguk. "Aku mengerti…lebih baik kita cepat pulang."
"Jangan…! Aku nggak mau kamu berkorban cuma gara-gara aku nggak bisa ikut makan… Aku memaksa kamu harus makan." kata Diana berkeras. "Kalau tidak…aku…aku akan pulang sendiri…!"
Dengan perkataan itu akhirnya Kojiro menyerah. Ia memarkir sepedanya lalu menelepon suatu nomor. Setelah berbicara beberapa lama ia mengangguk puas dan kembali pada Diana.
"Beres. Ayo pergi…"
"Kamu tadi bicara dengan siapa?" tanya Diana saat mereka kembali melaju. "Hei…kita mau kemana?"
Kojiro tidak menjawab sampai mereka tiba di depan sebuah kafe.
"Tadi aku menelepon mamamu menanyakan apa saja yang bisa kamu makan. Katanya teh dan kue nggak apa-apa." Ia membukakan pintu dan mempersilahkan Diana masuk. "Kupikir kamu juga butuh perubahan suasana. Rasanya kamu nggak pernah keluar…"
"Tapi…kamu harusnya nggak usah repot-repot…"
"Aku biasa nraktir Nana…sudah lama tidak melakukannya membuatku merasa aneh…" Kojiro tertawa. "Sudahlah…jangan sungkan-sungkan…"
"Nana beruntung sekali…" gumam Diana pelan.
"Apa katamu?"
"Nggak apa-apa…"
Diana memejamkan mata saat Kojiro pergi mengambilkan makanan bagi mereka. Ia merasa lelah.
"Hei…kamu nggak apa-apa..? Jantungmu sakit lagi?" tanya Kojiro cemas. Diana menggeleng lalu membuka matanya dan tersenyum.
"Nggak…suasana di sini enak, aku suka musiknya…"
"Ooh…silakan dimakan…ini kue kesukaan Nana, lho…" Kojiro meminum jusnya tanpa menunggu Diana. "Bagaimana perkenbangan klub musik, menyenangkan tidak?"
"Yah, lumayan…sudah sebulan bergabung aku masih belum bertemu Eri. Dan satu hal…" Diana tersenyum sendiri, "ehm…beberapa anggota klub bersikap menggelikan…"
"Menggelikan bagaimana?"
"Ehm…nggak usah dibahas, deh…" Ia menikmati susunya masih dengan senyuman di bibir membuat Kojiro menjadi penasaran.
"Apaan, sih?"
"Begini…ehm…di klub aku nggak terlalu aktif main musik…you know…aku kan nggak boleh capek…dan banyak orang, sepertinya, mengira aku tidak benar-benar bisa main musik…so...ada beberapa orang yang sangat bersungguh-sungguh ingin mengajariku… Tingkah mereka lucu-lucu…"
Kojiro tertawa paham. "Memang lucu kalau begitu… Anak-anak Basket juga banyak yang sering nanyain tentang kamu. Kata mereka kamu cantik."
"Betul begitu?" Diana tersenyum lembut. "Apa menurutmu aku cantik?"
Atas pertanyaan ini Kojiro tak berkutik. "Aku…nggak tahu. Sungguh aku nggak mengerti apa bedanya kalian perempuan… Mungkin kamu berbeda dari perempuan lain. Tapi aku nggak tahu apa kamu cantik..."
"Aduh, Kojiro jujur sekali." Diana tertawa lepas untuk pertama kalinya membuat Kojiro takut ia sudah salah bicara. "Kamu orang yang paling jujur yang pernah aku temui."
Kojiro lega karena sekali ini ia tidak salah bicara.
Malam itu Diana tidur di kamar Nana. Mereka berdua ngobrol sampai larut malam seperti yang dulu sering mereka lakukan saat Diana baru pulang. Ngobrol sambil berbaring di ranjang dan mematikan lampu.
"Nana…"
"Iya?"
"Apa kamu dan Kojiro hanya berteman saja?"
"Haah?!"
"Kojiro menyuruhku nanya sama kamu… Apakah kalian lebih dari seorang sahabat?"
"Apa maksudnya lebih dari seorang sahabat? Memangnya ada yang lebih dari sahabat?"
"Kalau kalian pacaran berarti lebih dari seorang sahabat."
"Kau salah. Di… lebih sulit bersahabat daripada pacaran." Nana memejamkan mata dan menggigit bibirnya pelan. "Maksud kamu apa dengan nanya-nanya seperti itu?"
"Kojiro baik sekali, ya…"
"Hmm…"
"Aku suka dia, Na…baru pertama kali aku punya teman seperti dia… Semula aku takut kamu akan marah kalau aku dekat dengan Kojiro, buktinya kamu jadi sering menghindar dan pergi dengan teman-temanmu…kupikir kamu marah, tapi Kojiro bilang kamu cuma butuh suasana baru…dan kayaknya Kojiro benar."
"Hmm…"
"Sejak pindah kemari rasanya hidup menjadi lebih berirama, karena aku punya kamu…punya Kojiro…punya kehidupan baru…"
"Itu bagus sekali, Diana…"
"So…please tell me… that…"
"Tell you what?"
"Please let me have Kojiro…Aku nggak mau melangkah tanpa meminta ijin kamu, Na…Please tell me, that…you will let me…"
Nana mengusap matanya yang basah dan menjawab seceria mungkin. "Tuan Putri diijinkan, tetapi Tuan Putri harus berjanji memberi makan Pangeran Kojiro secara teratur."
Diana tertawa. Ia nenyalakan lampu dan memeluk Nana.
"Thank you so much…Nana..kamu baik sekali…"
"Tentu saja. Mulai sekarang kamu bisa memanggilku St. Nana…"
"Dasar Nana…"
Walaupun hatinya merasakan kepedihan, Nana sadar bahwa ia menyayangi Diana, dan kalaupun ada yang boleh mengambil Kojiro darinya …orang itu hanyalah Diana…