Sementara itu di dalam kamarnya, Nana sedang menatap cermin dan menemukan matanya yang basah. Ia terkejut memikirkan betapa akhir-akhir ini ia menjadi emosional. Ini bukanlah Nana yang biasanya…Nana yang bersemangat dan tangguh telah menjadi cengeng.
Rambutnya yang tersanggul tidak sempurna di kanan kiri kepalanya tampak kusut tidak beraturan.
Pelan-pelan Nana mengurainya kembali, ia bermaksud menjalinnya agar terlihat lebih rapih, tetapi entah kenapa tangannya yang gemetaran terlalu lemah untuk melakukannya.
Sesaat pandangannya terbentur pada ujung jari-jarinya yang mulai menghitam. Ia tertegun melihatnya beberapa lama.
Mama sangat menyesal, tapi…kami terlalu lama berpisah, Mama sama sekali tidak mengenalnya… Mama hampir selalu merasa anak Mama cuma kamu… Mama harus mencurahkan semua kekuatan Mama untukmu karena Nana mampu mengatasi semuanya sendirian. Dia adalah anak yang kuat dan gembira, Mama yakin dia akan baik-baik saja…
Nana tidak membutuhkan Mama, Di…
Dia memiliki dunianya sendiri yang berbeda dengan kita…dia mampu hidup dengan tangguh di dunia itu… Kau tahu, dia bersalah padamu karena saat kalian lahir dia tidak membagi kesehatannya denganmu…
Kau tahu betapa hancur hati Mama menggendong seorang bayi yang luar biasa sehat di tangan kiri…dan yang seorang lagi lemah dan hampir mati di tangan kanan…
Kalau kalian berdua senasib, maka garis nasib itu akan menempatkan kalian di dunia yang sama…
…Tetapi Nana memiliki dunianya…
…Dan kamu memiliki Mama…
Nana menatap cermin dan menemukan seraut wajah pucat yang menatapnya dan mencoba tersenyum. Senyumnya tampak sedih sekali.
Saat makan malam, Papa datang dengan wajah gembira membuat suasana kembali menjadi hangat.
"Papa berhasil dapat cuti…kita sekeluarga bisa berlibur bulan depan, kemana saja yang kita suka…!"
"Bagus sekali…bulan depan mereka berulangtahun." Mama tersenyum bahagia. "Sudah 17 tahun…"
"Tapi bulan depan kami masih sekolah…" kata Diana kecewa. "Ya, kan, Na?"
Nana menggeleng. "Minggu keempat bulan depan anak-anak kelas 3 menghadapi ujian akhir dan kita diliburkan selama seminggu…"
"Nah, seminggu cukup untuk berlibur." kata Papa senang. "Kalian mau berlibur ke mana?"
Nana tertegun… Ia belum pernah berlibur ke suatu tempat secara khusus karena selama ini kakek dan nenek merasa terlalu tua untuk bepergian. Kalau pun berlibur, Nana hanya pergi bila ada acara sekolah atau diajak oleh keluarga Kurosawa.
Sejak dulu…ia memimpikan untuk pergi ke laut. Ia ingin sekali melihat ombak secara langsung dan mendengarkan deburannya saat menghantam karang. Koji memberinya hadiah sebuah kerang besar sebagai oleh-oleh waktu ia berlibur ke Bali sebagai hadiah ulang tahun Nana yang ke 12. Ia sering mendengarkan bunyi laut dari kerang itu.
"Bagaimana kalau tahun ini Nana yang menentukan pilihan?" tanya Papa sambil menatap Nana.
"Ayolah…kamu ingin liburan kemana?"
"Aku…ingin ke laut…"
Mereka bertiga saling pandang.
"Kamu ingin pergi ke laut?" tanya Papa. "Tepatnya dimana?"
"Oh, Papa…jangan ke Hawaii lagi…membosankan…!" Mama mengusulkan. "Bagaimana kalau Paris?"
"Kita sudah pernah ke Paris…Bagaimana dengan Venice?" tanya Diana.
Nana hanya bengong mendengar pembicaraan mereka. Negeri-negeri yang selama ini dalam khayalannya telah mereka kunjungi…sedangkan ia…laut saja belum pernah dilihatnya…
Papa sedikit mengerti pikiran Nana, karena itu ia mendehem dan kembali memandang Nana. "Tahun ini kau yang memutuskan…kita akan pergi kemana pun sesuai keputusanmu…"
"Entahlah…aku tidak tahu tempat mana yang terbaik… Aku hanya ingin pergi ke laut." Nana mengangkat bahu juga. "Mungkin kita bisa ke Bali…"
"Ya…kurasa itu bisa…" Mama mengangkat bahu juga. "Kita belum sempat pergi ke sana…"
"Aku suka Bali…" Diana mengangguk
"Kalau begitu sudah diputuskan, minggu depan kita akan berlibur ke Bali." Papa mengangguk. "Itu adalah hadiah ulang tahun buat kalian berdua."
Nana tiba-tiba teringat bahwa ulangtahun Kojiro tepat sebulan sebelum ulang tahunnya. Bertahun-tahun ia selalu lupa, karena itu tahun lalu ia sengaja membeli hadiah untuk diberikan bagi Kojiro di hari ulang tahunnya yang akan datang…
Kalau tidak salah…tanggal 26 bulan…April…!
Ah! Besok…!
"Maaf, aku ke atas duluan… Ada sesuatu yang harus kukerjakan." Nana permisi naik ke kamarnya setelah membereskan peralatan makannya.
Ia segera membuka lemarinya dan menemukan benda yang dibelinya tahun lalu untuk Kojiro, masih ada disana, tidak rusak sedikitpun. Ia membungkusnya dengan kertas biru dan menaruh pita kecil di sudutnya.
Saat ia beranjak untuk tidur, Nana baru menyadari bahwa kamar Koji yang terletak di seberangnya masih diterangi lampu.
"Mungkin dia harus belajar untuk ulangan…" gumamnya pelan.
Nana lalu mematikan lampunya dan tidur.
Koji termenung di jendela kamarnya…
Sampai pagi lampu kamarnya tidak juga dimatikan.
***
Keesokan harinya Koji datang ke rumah Nana pagi-pagi sekali. Sungguh mengherankan melihat ia sudah rapi berpakaian pada pukul 6 pagi.
"Aku mau minta maaf karena hari ini ia tidak bisa mengantar Diana…ban sepedaku kempes." katanya cepat-cepat. "Cuma mau memberi tahu saja…"
"Kalau begitu saya harus mengantar Diana dengan mobil…sebaiknya kalian berdua ikut saja." kata Papa.
Koji sebenarnya hendak menolak, tetapi keluarga itu terus memaksa. Akhirnya ia setuju. Jadilah ketiga remaja itu untuk pertama kalinya berangkat sekolah bersama-sama. Di mobil, Nana yang menyadari jalinan rambutnya masih berantakan berusaha menggulungnya kembali.
"Kenapa mesti selalu dijalin begitu, Nana?! Papa suka melihat rambutmu terurai seperti Diana…kamu terlihat sangat cantik."
"Tapi, Pa…nanti kusut dan…" Nana mengebaskan tangannya yang gemetar, susah payah menata rambutnya. "Aku tak suka diurai.."
Sebenarnya ia takut pertukarannya dengan Diana akan terbongkar.
Ia berusaha sebisanya memperbaiki rambutnya tetapi tangannya terlalu lemah. Akhirnya ia menyerah.
Diana yang duduk di depan menengok ke arahnya dan tersenyum. "Sudahlah,Na…biarkan saja begitu… Kamu cantik kalau rambut kamu diurai. Iya, kan, Koji?"
Kojiro yang duduk disamping Nana mengangguk pendek dan meneruskan observasinya ke arah jendela. Nana tersenyum. Ia tahu Koji cemberut karena mengira Nana lupa akan hari ulang tahunnya,
Hm…tidak tahun ini, Koji…tahun ini Nana mengingatnya dengan baik.
Kemunculan mereka di sekolah menarik perhatian banyak orang. Kini setelah Nana datang dengan rambutnya terurai seperti Diana, orang-orang melihat betapa miripnya mereka. Seketika mereka sadar bahwa sesungguhnya Nana dan Diana adalah sepasang saudara kembar.
"Yang mana Nana yang mana Diana, sih?" tanya orang-orang. Nana tersenyum lebar melihatnya.
"Tentu saja aku Nana, karena aku lebih cantik…" Ia tertawa kecil. "Bohong, kok…"
Ia berjalan ringan ke kelas A. Di sana Lucia, Dena, Mita dan Amy menyambutnya dengan takjub.
"Kamu nggak pernah bilang kalau Diana itu saudara kembar kamu..!" kecam Lucia.
"Habisnya kalian nggak pernah nanya.." balas Nana heran. "Lagi pula itu sudah cukup jelas.."
"Habis.. kalian beda banget, sih…" sahut Mita. "Dia cantik, anggun dan jago musik. Kalau kamu…he he.."
"Enak aja, ya…!" Nana mencubit tangan Mita.
"Kamu tadi cantik banget, lho… Aku lihat di kejauhan, Kak Eri sampai bengong." cetus Amy.
Nana tersenyum merendah. "Kamu bisa saja."
"Nana ge-er, tuh… Mukanya pucat banget…Hehe…"
Saat bel istirahat berbunyi, Nana datang ke kelas B dengan membawa bungkusan kado untuk Koji yang disembunyikan di balik punggungnya. Diana tidak ada karena mengikuti ujian susulan di kantor guru.
Nana melihat kelas B kosong dan Koji tampak duduk termenung di bangkunya. Ia segera memanggil dari pintu kelas.
"Psst…Koji…mau ke kantin, nggak?!" tanyanya ceria. Nana heran melihat Koji tidak merespon. Ia pun masuk berjalan ke dalam kelas dan menepuk punggung Koji keras-keras. "Hei! Kamu mau makan siang, nggak?"
Koji terhenyak dan memandangnya dengan keheranan.
"Eh..iya..mau…" Pandangannya seketika berubah menjadi lebih serius. "Kebetulan…aku mau bicara."
"Bicara apa? Penting, ya?"
Koji mengangguk. "Penting sekali. Aku mau bicara tanpa diganggu orang lain."
"Apa itu berarti nggak ada makan-makan sekarang?" keluh Nana. "Padahal tahun ini aku ingat…"
"Ingat apa?"
"Tuh…masa kamu sendiri lupa tapi tiap tahun marah-marah kalau aku nggak ingat hari ulang tahunmu...!" Nana mengomel. "Aku sudah menyiapkan hadiah… Kalau nggak ada makan-makan, nggak ada hadiah…!"
Koji tertegun. "Hadiah?"
Nana menyerahkan bungkusan itu ke tangan Kojiro dan tersenyum lembut.
"Aku menabung untuk membelikanmu ini… Aku menyesal tidak pernah memberimu apa-apa. Semoga kamu suka…"
Kojiro menatap jari-jari yang kehitaman itu dengan mata berkaca-kaca.
"..Nana…kamu nggak perlu memberiku apa pun… Aku tak ingin menyusahkanmu…" Ia tak bisa menahan keharuannya dan memeluk Nana erat-erat. "…Aku cuma minta…supaya…kamu berjuang…"
Nana tertegun. Ia berdiri kaku dalam rangkulan Kojiro yang kuat. "Maksudmu…apa…?"
"Sekarang aku sudah mengerti…kenapa uangmu selalu habis…dan kamu nggak pernah bisa membelikan apa-apa pada saat ulang tahunku…" Kojiro menangis. "…Karena kamu sakit…dan kamu butuh uang untuk berobat… Karena kamu menanggungnya sendirian tanpa memberi tahu siapa pun… Kamu terlalu baik…tak ingin menambah beban orang tuamu dengan satu lagi anak yang sakit… Tapi kamu seharusnya memberitahuku…"
"Aku…nggak mau menyusahkanmu.." jawab Nana pelan. "Selama ini aku terlalu banyak membuat kamu repot…"
"Itu tidak benar." Koji mengendurkan pelukannya dan menatap Nana dalam-dalam. "Kemarin Andy mengatakan kepadaku supaya tidak berlaku pengecut… Aku tidak berani mengatakannya dari dulu karena takut merusak persahabatan kita, tapi sekarang aku nggak peduli lagi… Aku mencintai kamu…! Sejak dulu, sejak kita masih kecil…"
Nana tersenyum sedikit. "Aku tahu…"
"Kau tak usah memaksakan diri mencari keluargamu, akulah keluargamu yang sebenarnya, Na…! Mereka adalah orang asing yang dulu meninggalkanmu, dan sekarang mereka tidak berhak menyebut diri sebagai keluargamu… Dunia mereka berbeda denganmu…" Kojiro tersenyum pedih. "Kamu…nggak akan sanggup…"
Nana mulai menangis terisak "..Ka… Kamu… tahu… dari mana kalau... aku sakit?"
Koji membelai rambut Nana dan merapikannya dengan hati-hati.
"Aku coba memenuhi keinginanmu untuk menjaga Diana karena penyakit jantungnya yang parah, walaupun aku sedih harus jauh darimu… Aku tahu kalian kemarin bertukar… Dianalah yang ikut denganku ke bazaar SMP, aku tahu karena dia tidak mengenal Andy, dan tiba-tiba tahu banyak tentang biola… Semula kubiarkan saja, karena kupikir Diana membutuhkan suasana baru…" Ia menghela napas. "Tapi…kemudian.. kamu pulang diantar Eri…dari Eri aku tahu kamu pingsan di rumahnya dan diperiksa oleh dokter.. Aku baru mengetahui penyakitmu kemarin… Seandainya kamu bilang lebih awal…aku akan melakukan apapun untuk menolongmu…"
"Terima kasih…" bisik Nana. "Aku tahu…kamu akan melakukan apa pun untukku…karena itulah…aku sengaja merahasiakannya.."
Ia memejamkan mata dan menahan rasa sakit di dadanya.
"Kapan...kapan kamu tahu kamu sakit?" tanya Kojiro cemas.
"Aku mengetahuinya sebelum kita bertanding di SMP…kau ingat, kita taruhan untuk menggendong pemenangnya… Waktu itu..aku mengajakmu bertanding untuk membuktikan pada diriku…bahwa…aku baik-baik saja.. Kemudian jantungku semakin memburuk karena aku ikut kegiatan-kegiatan yang melelahkan… Aku hampir memberitahu Mama tentang penyakitku kemarin karena aku begitu iri melihat kasih sayangnya pada Diana…" Nana memejamkan matanya agar air matanya tidak membanjir mengalir semakin keras mengiringi suaranya yang gemetaran. "..Ternyata…aku salah…Mama memang tidak bisa menyayangiku…bukan karena aku sehat…tapi ia bilang bahwa ia hampir tidak mengenalku…dan…aku sadar…aku juga…tidak mengenalnya… Aku hanya membentuk bayanganku sendiri tentang keluargaku…dan gagal meraihnya… Aku tidak benar-benar punya keluarga… itulah sebabnya kemarin aku pergi.."
Koji memeluk Nana lebih kuat lagi. "Sudah kubilang aku keluargamu yang sebenarnya… Aku akan menjagamu…takkan kubiarkan kamu menanggung semuanya sendirian…"
"Te..rima..ka..sih..Koji..kamu..baik sekali…" bisik Nana dengan suara hampir tak terdengar. "Kamu tahu…aku..akan..me..li..hat..la..ut..Papa bi..lang...aku bi..sa.."
"Itu bagus…aku akan membawamu ke laut sekarang kalau kamu mau, aku sudah lama menabung untuk mengajakmu kesana…" bisik Koji parau. Nana tak menjawab. "Kamu mau ke laut sekarang?"
Koji tersentak mendengar suara barang jatuh dan menyadari bungkusan kado itu terlepas dari tangan Nana. Ia melepaskan pelukannya dan terpaku merasakan tubuh Nana menggelosor jatuh…
Untuk sesaat ia merasa lumpuh.
Diana keluar dari balik dinding dengan wajah pucat bersimbah air mata.
"…Aku…aku…tidak tahu…" bisiknya dalam kepedihan. "..Aku tidak tahu apa-apa…huk…aku jahat sekali…"
Saat itulah Kojiro meraung dengan suara seperti orang yang kehilangan akal. Orang-orang yang terkejut segera datang merubung mereka. Eri cepat memeriksa kondisi Nana yang terkulai di samping Koji, ia memeriksa nadi di pergelangan tangannya, dan seketika mukanya menjadi pucat.
Eri akan membopong Nana untuk dibawa ke rumah sakit ketika tiba-tiba Kojiro bangun dan mendorongnya keras sekali.
"Tidak boleh ada yang mengganggu Nana! Aku sendiri yang akan membawanya…!" Koji menjongkok dan bersusah payah menaikkan Nana ke punggungnya. "Aku pernah berjanji akan menggendongnya pulang ke rumah… Ini kesempatan terakhirku untuk menepatinya. .."
Semua orang tertegun melihat Koji berjalan pelan-pelan membawa Nana di punggungnya. Mereka memberinya jalan dan membiarkannya lewat. Beberapa orang bergerak mengikuti langkahnya…dan akhirnya, puluhan pelajar SMA Nusantara yang mengenal Nana dan sayang padanya ikut mengiringi di belakang Koji. Mereka merasa sangat kehilangan, berjalan diam-diam dengan wajah penuh kedukaan.