Papa tiba di rumah sakit diikuti Mama dan Kojiro.
"Bagaimana kejadiannya?" tanya Papa cemas.
"Itu salah saya, Oom...harusnya saya nggak minta Diana memainkan musiknya dengan keras… Saya nggak tahu Diana itu sakit." kata Eri menyesal.
Papa hanya mendesah. "Tidak bisa disalahkan. Hal seperti ini sudah sangat sering terjadi, hanya sejak tiba di sini Diana tak pernah kambuh… Kami hampir tak terbiasa dengan ICU lagi…"
Ia pergi ke ruang dokter dan menanyakan keadaan Diana sementara Mama menangis sedih sekali.
"Oh, Dianaku yang malang… Jangan tinggalkan Mama, Nak…!" Ia menutup wajahnya dengan lutut dan terus terisak. Nana tak bisa berbuat lain daripada memeluknya.
"Tenang saja, Ma...Diana pasti selamat. Mama bilang Diana akan terus hidup selama ia mempunyai semangat hidup… Aku yakin Diana akan bertahan…"
Saat itulah Eri menyadari bahwa Nana dan Diana sebenarnya bersaudara kandung, apalagi setelah melihat rambut Nana yang terurai lepas dari kepangannya…
"Ka..kalian saudara kembar? Sudah kuduga…tadi saat pertama melihat Diana aku sempat bingung karena melihat ia begitu mirip denganmu…" bisiknya ke telinga Nana.
Nana mengangguk pendek, tak mempercayai bahwa akhirnya ada orang yang menganggap ia dan Diana mirip.
Berjam-jam lamanya mereka menunggu kabar tentang keadaan Diana. Eri yang khawatir melihat tak ada satu pun yang bergerak untuk makan akhirnya pergi ke kafetaria dan membawakan makanan untuk mereka.
"Ini…makanlah dulu biar kalian tidak sakit." katanya seraya menaruh bungkusan makanan itu di kursi. "Sekarang sudah jam 10 malam, sebaiknya salah satu dari kalian pulang dan beristirahat biar besok bisa gantian menjagai Diana…"
Mama mengusap matanya dan menggeleng. "Tidak...kalau aku pergi..mungkin tak akan bisa bertemu anakku lagi, Nana saja yang pulang dan beristirahat…besok harus sekolah.."
"Tapi, Ma..aku juga ingin menjagai Diana…" keluh Nana.
"Ada atau tidak adanya kamu tidak ada bedanya bagi Diana, Sayang…Lebih baik kamu kamu pulang dan beristirahat di rumah…!"
Eri tidak menunggu Nana protes lagi segera mendorong bahunya keluar. Kojiro terpaksa mengikuti mereka. Setibanya di luar rumah sakit Eri membukakan pintu bagi Diana dan Kojiro, tetapi Kojiro hanya mengangguk dan pergi.
"Koji…mau kemana..?" tanya Nana lemah. "Kita pulang bareng, kan?"
Eri mendorong Nana masuk ke mobilnya dan mulai menyetir. "Sudahlah, Na…biarkan dia sendiri, sepertinya dia sedang kalut…"
Nana mengangguk sedih, "Kakak benar..."
Keesokan harinya Papa menelepon memberitahu Diana telah melewati masa kritisnya. Nana diminta segera datang ke rumah sakit membawa baju ganti karena baik Mama atau pun Papa tak bisa pulang dan meninggalkan Diana.
Nana singgah di rumah sakit sebelum pergi sekolah. Ia sangat senang melihat Diana sudah dipindahkan ke ruangan reguler dan kedua orangtuanya sudah boleh menjagai. Ia hanya bisa tingal sebentar karena akan ada ulangan di sekolah.
"Bagaimana keadaan Diana..? Apakah dia sudah baikan?" tanya anak-anak yang bertemu Nana. Semuanya senang mendengar bahwa Diana baik-baik saja. Anak-anak klub musik agak kecewa karena Diana takkan diperbolehkan lagi mengikuti klub mereka. Sementara Kojiro sudah menelepon ke rumah sakit sehingga ia tak perlu bertanya pada Nana.
"Aku senang Diana tidak apa-apa." katanya pelan, saat mereka berdua makan siang di kantin. "Aku sungguh cemas kemarin… Maksudku...kalau sampai Diana meninggal, kamu pasti akan sangat bersedih.."
Nana mengangguk. "Kamu benar."
"Kamu nanti mau ke rumah sakit?"
"Iya."
"Aku ikut, ya…"
Mereka berdua bolos dari latihan klub Basket dan segera melaju ke rumah sakit. Sudah lama sekali rasanya tidak pulang bersama Kojiro dengan sepeda kesayangannya, tapi Nana tidak mengatakan apa-apa.
"Diana pasti akan sangat senang kamu menjenguk dia, Koji.." kata Nana dalam perjalanan. "Sebaiknya kita singgah dan beli bunga dulu…"
"Apa nggak lebih baik makanan apa gitu..? Atau buah-buahan…?" tanya Kojiro heran.
"Makanan? Siapa yang makan? Kamu?! Seenaknya saja… Untuk pasien seperti Diana, bunga adalah hadiah yang tepat…"
Kojiro pun mengalah. Mereka singgah di Wastu Kencana dan memilih bunga yang akan dibawa. Kojiro bersikeras memberi Lily putih, bunga yang diketahuinya sebagai favorit Diana, tetapi Nana menyarankan Mawar merah.
"Lily kan bagus, Mawar merah itu sudah pasaran..!" tukas Kojiro.
"Lily itu yang norak, nggak jelas bentuknya..!"
"Yang mau bayar itu, kan aku…aku mau yang putih!"
"Aku suka mawar merah…kan manis.." keluh Nana, "biar pun pasaran…"
Kojiro menyerahkan setangkai mawar merah itu ke tangan Nana dan meminta tukang bunga membungkuskan seikat lily untuk Diana. Nana tertegun melihatnya. "Koji…ini…untukku..?"
"Iya..biar kamu nggak cerewet terus."
"Aih..Koji, terima kasih…" Nana merangkul Kojiro dengan ceria. "Kamu memang baik..!"
"Kamu ini kayak nggak pernah dapat bunga aja…memangnya Eri nggak pernah ngasih bunga sama kamu?"
"Eri ngasih bunga..? Kenapa?"
"Bukannya kalian...er..pacaran?" Kojiro mulai tampak gusar. "Udah, deh, Na…jangan pura-pura. Eri bilang sama semua anak musik kalau kalian punya hubungan khusus."
Nana tertegun.
Kamu salah… itu cuma gosip, kok…Pokoknya sejak lihat Diana…Kak Eri mana bisa lihat aku lagi… Kamu juga begitu, kan? Semua orang yang lihat Diana pasti terpesona dan suka berlama-lama melihatnya…
Sebenarnya itulah yang ingin dikatakan Nana…tapi yang keluar dari mulutnya adalah…
"..Kak Eri pasti cuma bercanda…aku kan salah satu penggemarnya."
"Oh…"
Mereka tidak bicara apa-apa lagi.
Saat tiba di rumah sakit mereka melihat bahwa Eri sudah ada disana. Ia tersenyum lebar pada Nana dan mengangkat bahu. "Maaf…aku bolos…"
"Kenapa minta maaf padaku? Minta maaf itu sama guru." kata Nana sambil tersenyum lebar. "Kakak baik sekali menjenguk Diana …bagaimana keadaannya?"
"Entahlah, yang boleh masuk cuma keluarga saja. Aku mau mengantar biolanya yang ketinggalan kemarin…sayang, tangkainya sudah patah…"
"A..aku yang mematahkannya…" keluh Nana, "Diana pasti akan sangat sedih."
"Yah…biola ini bagus sekali…sekarang sangat susah mencari yang seperti ini…" gumam Eri.
"Oh…tidak…! Aku bersalah…bagaimana ini…" Nana cepat-cepat mengusap matanya yang basah. "Huk…aku harus mengganti biola ini sebelum Diana tahu yang sebenarnya…nanti dia sedih…"
Eri termenung sejenak. "Kurasa…masih bisa diperbaiki… Biar kubawa biola ini…nanti kuantar kalau sudah bagus."
"Be…benar?"
"Benar." Eri mengacak rambut Nana dam tersenyum lebar."Sampaikan salamku pada Diana…aku harus mengurus pertunjukanku yang berikutnya."
Ia pun pergi.
"Kalau dia nggak boleh masuk, aku juga nggak boleh, dong…" keluh Kojiro. "Sudah capek-capek datang ke sini…"
"Ya, sudah…aku mengantar makanan buat untuk Mama dan Papa…sesudah itu aku temani kamu disini…"
Koji menganguk.
Nana mengantar barang-barang bawaannya ke ruangan Diana dan segera pulang. Toh…Mama kelihatannya terlalu sibuk mengurus Diana hingga tak menyadari kehadiran Nana.
Ia dan Kojiro kemudian berjalan keluar dan bingung harus pergi kemana.
"Gimana kalau kita jalan-jalan…" ajak Nana, "..ke SMP kita dulu…"
"Boleh…lagi pula minggu depan mereka bakal mengadakan bazaar. Kita bisa melihat persiapan mereka."
"Hm…boleh….juga…."
***
Keputusan mereka berdua untuk melihat keadaan SMP ternyata salah besar, karena adik-adik kelas mereka yang memyambut dengan gembira ternyata mengalami kesulitan untuk membereskan penataan bazaar dan memohon-mohon agar keduanya mau membantu. Jadilah setiap hari sepulang sekolah mereka terpaksa datang ke SMP dan membantu persiapan bazaar.
"Apa? Aku mesti menghubungi band itu? Kenapa bukan kalian?"
"Soalnya kakak adalah teman dekat Kak Andy waktu dia masih sekolah di sini. Kami sudah menghubunginya sejak sebulan yang lalu tapi manajernya bilang band itu terlalu sibuk."
"Yah, mungkin memang sibuk, Do… Lagipula aku udah setahun nggak ketemu Andy dan bandnya itu…takutnya mereka nggak mau dengerin aku lagi…" keluh Koji yang benar-benar merasa dimanfaatkan. "Atau suruh Nana aja… dulu tuh Andy ngeceng dia, mungkin kalau Nana yang minta dia mau…"
Nana terkesiap "Ah, bohong tuh… Aku ngak tahu apa-apa tentang Andy… Dia nggak pernah bilang apa-apa, kok..!"
"Kamu aja yang nggak tahu, dulu Andy bilang sama aku kalo dia ngeceng kamu, tapi kularang dekat-dekat, makanya kamu nggak tahu…" omel Koji. "Udah, deh…telepon aja…!"
"Ayo dong, Kak..please…please…telepon kak Andy…" mohon anak-anak panitia itu. Nana tertawa geli melihatnya.
"Kalian kok percaya, sih…sama Koji… Dia tuh cuma mau ngerjain aku aja." Ia menggeleng-geleng. "Tapi biar kalian dengar sendiri… Berapa nomornya?"
Kojiro menyebutkan sebuah nomor handphone dan Nana segera menghubunginya, sementara anak-anak itu menatapnya dengan berharap-harap cemas.
"Hallo…Andy? Hei…ini aku, Nana yang cantik selalu… Heeh…kamu masih ingat rupanya. Aku dengar kamu nolak, ya, main di bazaar SMP kita? Kenapa? Sibuk?! Ah…cari alasan yang lebih keren, dong...misalnya minggu depan kamu bakalan sakit perut atau apa…ha ha…bercanda, kok…Please, deh…sehari aja datang tanggal 25…Anak-anak disini penggemar kamu semua, lho…denger, ya…" Ia memberi tanda agar anak-anak itu menjerit.
"Oh..Kak Andy kami penggemarmu!"
"Kak Andy cakep, deh!"
"Kak Andy…tolong kami! Tampillah di bazaar ini…!!"
"Dia ketawa…bagus sekali…" bisik Nana dan memberi tanda agar mereka diam. "Bagaimana? Hah?! Mau datang? Asyik! Aku pasti nonton pertunjukanmu…!"
Ia menutup telepon dan semua berteriak gembira.
"Kak Nana hebat...!!"
"Berarti omongan Kak Koji benar, dong…?!"
"Alaa…itu cuma kebetulan kok…" Nana tertawa. Ia menyikut Koji yang cemberut. "Koji sengaja menggangguku."
Nana tahu sejak dulu bahwa Andy memang menyukainya. Gosip itu ia dengar dari teman-temannya dan ia bisa melihat perubahan sikap Andy yang kentara padanya…sayang karena Nana terlalu dekat dengan Koji, Andy jadi tak berani maju.
Tapi Nana tak pernah tahu bahwa Kojilah yang melarang Andy mendekatinya. Kojiro merahasiakannya selama ini.