Nana masuk di kelas IA dan Kojiro di kelas IB. Masing-masing agak kesepian karena tak mengenal seorang pun di kelasnya. Beberapa orang tampaknya berasal dari SMP yang sama dan mereka terlihat akrab.
"Yak…anak-anak…! Selamat datang di SMA Nusantara I." ujar seorang guru pria yang masih sangat muda. Murid-murid perempuan segera menaruh perhatian. Benar-benar tampan, wajahnya terlihat eksotis menurut Nana. Semua menaksir usianya berkisar 24 tahun. "Kalian adalah sedikit orang yang beruntung bisa masuk kemari. Tapi kita akan lihat apakah kemampuan kalian benar-benar sesuai. Nama saya adalah Peter, saya adalah wali kelas kalian dan mengajar bahasa Inggris."
Wah…bahkan namanya pun seperti bule. Semua segera menyukai guru muda itu.
"Sekarang saya akan absen satu-satu."
Sementara Pak Peter mengabsen, Nana menopangkan dagunya pada tangan dan berpikir bagaimana keadaan Kojiro di kelas sebelah.
"Wah Nana…enak banget sih kamu…kalau wali kelasku seorang nenek cerewet yang…ampun deh…" keluh Kojiro saat Ia bertemu Nana di jam istirahat. Mereka masih merasa asing dengan sekolah barunya, karena itu Kojiro dan Nana memutuskan makan siang di halaman belakang dengan bekal pemberian mama Kojiro. "Oh, iya…kapan kita daftar ke klub basket?"
Nana mengangkat bahu.
"Entahlah, memangnya sudah dibuka?"
"Minggu ini pasti sudah dibuka. Pulang sekolah cari informasi, yuk…" Kojiro menengadahkan wajahnya dan mencoba memandang langit. "Sayang tidak ada klub penerbangan."
"Walaupun nggak ada, kamu pasti bisa menemukan orang yang sehati dengan kamu…" tutur Nana. "Kalian bisa bekerja sama."
"Hmm…kamu benar…"
Saat bel berbunyi keduanya kembali ke kelas masing-masing dan berjanji akan bertemu lagi sepulang sekolah nanti untuk pulang bersama.
***
Hari demi hari dilalui Nana tanpa banyak kesulitan di SMA Nusantara. Ia mendaftar di klub basket bersama Kojiro, dan kehidupannya bergulir seperti biasa. Hanya saja mereka tidak begitu sering terlambat seperti di SMP.
"Nana…pulang sekolah nanti kita ada latihan basket, kan…?!" kata Kojiro saat istirahat. "Sesudahnya kita singgah ke BMK ya,…sudah lama aku nggak makan Bakso Malang."
"Aku dibayarin, nih..?"
"Kamu ini kapan sih gantian nraktir aku.." omel Kojiro, tapi ia tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. "Kamu ada pelajaran Bahasa Inggris, kan? Tolong catat baik-baik ya…nanti aku pinjam."
Nana mencibir lalu masuk ke kelasnya. Pak Peter sudah masuk beberapa saat yang lalu.
"Oh, ya..anak-anak…kalian sudah beberapa hari masuk sekolah… Sekarang saatnya untuk memilih ketua kelas dan wakilnya. Ada calon?"
Suara anak-anak segera menjadi riuh. Banyak yang mencalonkan teman-temannya, dan akhirnya yang terpilih adalah Nana sebagai ketua kelas dengan Rio sebagai wakilnya.
"Wah…Pak, saya…?! Kok saya yang jadi ketua kelas?" tanya Nana kebingungan setelah suara dihitung.
"Habis… Nana kan tangguh, pasti bisa memimpin kelas." ujar Rio tiba-tiba. Ia lalu mengedip. "Aku melihatmu melompati pagar kemarin supaya tidak terlambat."
"Nana kan jago olah raga …"
"Aku mendukungmu, Nana!"
"Aku juga!"
Nana agak kebingungan. Dari dulu yang selalu ditunjuk jadi ketua kelas adalah Kojiro, tetapi sekarang dia ada di kelas lain.
Nana menjadi terharu karena ternyata teman-teman barunya sangat menyukainya…
"Wah…kalau begitu, aku akan melakukan tugas sebaik mungkin." ia membungkuk sambil tersenyum lebar." Lagi pula ketua kelas kan tidak usah piket…"
"Whuu!!!"
Nana bergegas berganti pakaian olahraga setelah bel pulang berbunyi. Ia berlari ke lapangan olahraga dan menemukan semua anggota baru telah berlari mengelilingi lapangan. Dengan agak malu ia bergabung menyusul mereka.
"Anak nakal…kau terlambat lagi…" ujar Koji saat pemanasan selesai. Nana hanya mengangkat bahu.
"Tebak…siapa ketua kelas IA?" tanya Nana.
Kojiro menggeleng-geleng.
"Tebak…siapa ketua kelas IB ?" Ia bertanya balik.
Keduanya tiba-tiba saling pandang.
"Kau?" seru keduanya tertahan. "Astaga!"
"Kenapa? Memangnya aku nggak layak jadi ketua kelas?" teriak mereka berdua lagi secara bersamaan. Akhirnya Kojiro dan Nana saling berjabat tangan dan tertawa.
"Tenang saja, aku mendukungmu."
"Aku juga."
Saat keduanya asyik bicara tiba-tiba terdengar teriakan ketua klub Basket yang menyuruh mereka segera bergabung untuk latihan.
***
"Wah..baksonya enak sekali… Koji, aku boleh minta tambah, ya..?" tanya Nana berpura-pura masih lapar. Kojiro melotot padanya.
"Enak saja! Sudah ambil mangkok yang isinya paling banyak, cicip-cicip dari bagianku pula…sekarang minta tambah?! Hmh…nggak usah, ya…" Kojiro menggeleng kuat-kuat. "Lagipula, seorang atlet tak boleh mengacuhkan berat badannya, kalau kegemukan kamu akan keluar dari klub."
Nana pura-pura merengut. "Dasar pelit! Bilang saja tidak mau membelikanku lagi, ceramahnya panjang amat…"
"Bukan itu, Kodok!! Aku kan mesti menabung. Banyak barang yang harus kubeli, sepatu..buku… Jangan curang, dong…uang bulananmu lebih banyak sejak dollar naik kemarin..!" tukas Kojiro. "Kenapa, sih, kamu selalu kehabisan uang?"
Nana mengangkat bahu. "Aku kan mesti nabung… Banyak barang yang harus kubeli…sepatu..buku…Ha ha.."
Ia terlambat menghindar saat Kojiro menimpuknya dengan tisu.
***
Hubungan Nana dan Kojiro seperti biasa mengundang perhatian orang-orang di sekolah. Susah payah Nana kembali memproklamirkan bahwa ia dan Kojiro adalah sahabat sejak kecil supaya orang-orang tidak salah paham lagi. Kojiro yang sudah malas menanggapi selalu menyuruh mereka bertanya pada Nana.
"Na..sebenarnya kamu dengan Koji pacaran nggak, sih..?" tanya Dena, teman sekelas Nana yang berambut pendek dan berwajah cantik.
"Memangnya kenapa?" Nana balik bertanya.
"Nggak, sih…cuma ingin tahu…" Dena tiba-tiba menjadi gelisah. Mita yang mendengar pembicaraan mereka segera ikut nimbrung.
"Dia ngeceng Kojiro, Na.. Jadi dia pengen tahu apakah kamu pacarnya Kojiro atau bukan… Kojiro itu kan cowok idola cewek-cewek kelas 1."
Nana mengangguk-angguk sebagai tanda mengerti. "Oh…itu masalahnya. Aku sahabatnya Koji, soalnya kami dulu bertetangga. Kalau Koji sih sudah punya pacar.."
"Hah..?! Yang benar? Siapa?" Lucia dan Amy mendekat karena tertarik. Wajah mereka tampak penasaran sekali, membuat Nana merasa geli.
"Iya…sejak SMP kelas 1 Koji jatuh cinta sama bola Basket dan sampai sekarang mereka masih pacaran.."
"Whuu..! Dasar…!!" Serentak mereka semua memukul punggung Nana yang tertawa terbahak-bahak.
Gadis-gadis sekelasnya sangat menyukai Nana dan akhirnya bisa menerima persahabatannya dengan Kojiro sebagai sesuatu yang wajar.
Sejak itu Nana memiliki sahabat-sahabat baru yang membuatnya memiliki kehidupan yang gembira. Nana tidak tergantung pada Koji lagi.
"Maaf, Koji…hari ini aku tidak bisa ikut latihan Basket, soalnya teman-teman mengajakku makan kue ke kafe yang baru dibuka…kamu pulang sendiri, ya..?"
Kojiro merengut.
"Jahat…kalau giliran makan kue, aku pasti ditinggalin, deh.."
"Iya..iya..nanti aku bawakan kue yang paling enak untukmu. Sudah, jangan nangis..!"
"Janji, ya..!"
"Janji.."
Nana senang sekali makan kue. Ia mau pergi dengan siapa saja untuk makan kue. Teman-teman sekelasnya sering pergi jalan-jalan bersama dan kali ini mereka mengajak Nana.
"Kenapa sih, Nana…rambutmu selalu disanggul kanan kiri begitu? Aku jadi ingin tahu bagaimana rambut kamu sebenarnya.." komentar Mita sambil menyendok pudingnya.
Nana tertawa riang.
"Rambutku bagus dan indah.." jawab gadis itu seenaknya. "Panjang dan sangat gerah kalau digerai… Susah, kan, kalau selalu dibawa berlari-lari..?!"
"Kamu orangnya nggak bisa diam, sih… Coba dong jadi cewek anggun. Mmm…kue ini enak banget, lebih enak dari buatan mamaku…" ujar Amy. Tubuhnya yang gemuk jelas menunjukkan penikmat kue sejati. "Mama selalu membuatnya kurang manis…"
"Wah, sudah untung… Mamaku tidak bisa masak. Beliau kan wanita karier yang sangat sibuk." keluh Dena.
Lucia menggeleng-geleng.
"Mamaku lebih parah, sudah bukan wanita karier, tidak bisa masak juga…cuma punya cantik saja… Untung papaku mampu menggaji pembantu…" katanya.
Semua mengangguk, Lucia adalah anak orang kaya dan pembantu di rumahnya banyak sekali, ia hanya bersikap merendah saat berkata demikian.
"Kalau mama kamu, Mita, bisa masak, ya?"
Mita mengangguk. "Tentu, papaku suka makanan enak. Kalau mama Nana bagaimana? Habis anaknya tomboy begini…"
Semua memandang Nana. Gadis itu menjadi gelagapan.
"Uhm.. apa, ya…mamaku nggak ada, sih..Aku nggak pernah ketemu Mama…" Ia mengangkat bahu. "Jadi aku tidak tahu…"
Semua tampak iba melihatnya.
"Maaf, ya…kami kira mama kamu masih ada.."
"Ta..tapi bukan itu maksudku…Mamaku ada…di…" Nana terdiam. Mungkin selamanya Mama, Papa, dan Diana tak akan kembali ke Indonesia. "Yah.. begitulah…"
"Kami mengerti…"
Setelah makan banyak kue mereka pun pulang.
Nana merasa sedih mendengar cerita tentang keluarga masing-masing.
Aah…kalau keluarganya ada tentu menyenangkan…
"Hei…itu kue buat siapa? Kamu belum puas makan kue di sini?" tanya Lucia keheranan melihat Nana membawa kotak kecil berisi kue.
"Ini buat Kojiro…dia tadi minta diajak ikut tapi aku larang, karenanya sebagai oleh-oleh aku bawain kue."
"Apa..? Koji pengen ikut makan kue sama kita?" tanya Dena antusias.
"Ajak saja, Na…kami nggak keberatan kok…" seru Amy.
"Kalau Koji suka kue…aku bakal bawain untuk dia di sekolah. Aku akan belajar masak sama Mama…" Lucia mengerutkan kening. "Eh..sama pembantu…aku lupa mamaku nggak bisa masak..!"
Nana tertawa.
Yang ketiban untung tentu saja Kojiro. Ia jadi sering mendapatkan bungkusan berisi kue-kue yang enak dari keempat gadis itu, dan akhirnya hal itu menjadi suatu kebiasaan. Gadis-gadis lain juga kemudian melakukan hal yang sama dan Koji pun terkenal sebagai Pangeran Kue.
"Kojiro…kemarin aku baru nyoba resep brownies yang baru…Kamu cicipin, ya..."
"Hmm..enak, lho.."
"Benarkah..?"
"Iya, aku suka."
"Koji... toko sebelah rumahku bikin menu baru…Nama kuenya..mm..apa, ya…Snow White kalau nggak salah…"
"Ini jenis kue yang paling populer di Belanda, lho… Koji terima, ya..?!"
"Koji, suka cokelat, nggak?"
Nana ikut menikmati upeti-upeti itu. Ia sering menggoda Koji bahwa kue-kue itu akan membuatnya gemuk dan dikeluarkan dari klub Basket