Sekolah kembali dimulai setelah golden week. Murid-murid di kelasku di pagi hari ini asik membicarakan kegiatan mereka saat libur. Mereka berbicara dengan kelompok pertemanan mereka. Di depan mejaku juga ada tiga orang gadis yang membicarakan hal itu.
"Kemarin kalian ngapain aja?"
"Aku pergi bersama keluargaku ke Hokkaido."
"Kalau aku ke Osaka."
"Hee… sepertinya seru."
"Tentu saja."
"Um, um. Kalau kamu emangnya ngapain?"
"Ah, kalau aku ke Korea Selatan."
"Ee… Seru banget itu, pasti."
"Kapan-kapan aku minta ke sana juga ah…"
Pasti lah liburan ke luar daerah sangat menyenangkan. Mendengar percakapan mereka tadi sedikit membuatku iri. Aku sendiri tidak pernah keluar dari Nagano sampai umur 16 tahun. Tahun ini aku keluar dari Nagano dan tinggal di Tokyo. Setidaknya aku sudah melihat daerah baru. Inginnya diriku bisa pergi ke Kyoto, daerah yang penuh dengan sejarah.
Dan percakapan mereka berhenti saat Inui-sensei masuk ke kelas. Pelajaran Sejarah akan dimulai.
"Seperti yang kalian ketahui, ujian tengah semester akan dimulai hari rabu depan. Sekarang, mari kita ulang sedikit dari pelajaran terakhir kita."
Inui-sensei sepertinya membuka pelajaran sejarah hari ini dengan pertanyaan. Wajar juga, mengingat ujiannya sudah dekat.
"Olahraga sudah dianggap sebagai hal suci yang menguatkan orang sejak jaman kuno. Amamiya-kun?"
"Ya, Sensei."
"Siapa nama kaisar romawi yang berpartisipasi dalam olimpiade?"
"Kaisar Nero, Sensei."
"Benar. Dan, perlombaan apa yang Kaisar Nero tambahkan ke olimpiade sehingga dia bisa ikut berpartisipasi?"
"Bernyanyi."
"Ya, benar. Sepertinya kamu sudah belajar dengan giat."
Ah, tentu saja. Hari libur kemarin kugunakan untuk belajar. Semua pelajaran.
"…Tampaknya, Nero tuli, tetapi dia berakhir dengan menjadi juara. Lagipula, Kaisar memegang kuasa mutlak. Karena tindakan egoisnya ini, dia dikenal sebagai Kaisar Zalim."
"Wow, jadi dia tahu itu?" Kata seorang murid di kelas ini.
"Mungkin aku bisa minta pinjam buku catatannya." Kata murid yang lain.
"Amamiya-kun, kamu pintar ya." Fuyukawa-san berbisik kepadaku.
"Ah, tidak juga. Kebetulan aku membaca tentang sejarah romawi beberapa hari yang lalu."
"Oh, begitu ya."
Setelah itu, pelajaran dilanjutkan dengan memasuki pembahasan yang baru. Memang pelajaran sejarah ini sedikit rumit karena kita seperti dibawa ke masa lalu dan melihat berbagai macam kejadiaan di saat itu. Untuk lebih mudah memahaminya, kita harus bisa merangkainya seperti susunan alfabet, sepert ABCD dan seterusnya. Misalnya, kejadian A terjadi, maka mengakibatkan kejadian B, kemudian C, dan seterusnya.
Ya, memang, pelajaran ini sedikit membuat ngantuk. Bahkan dari tadi ada yang tidak melihat ke arah Inui-sensei lagi.
Dua hari sebelum ujian tengah semester dimulai.
Hari Senin, sepertinya ada pengulangan bahan pelajaran sebelum ujian. Kali ini sedikit berbeda karena guru Bahasa Jepang kami, Kawakami-sensei, terlihat kesal karena tugas essay yang kami buat.
"Saya sudah baca semua essay yang kalian kumpulkan kemarin, dan ada beberapa di antara kalian yang tulisannya ceroboh."
Walaupun ini sekolah yang berisi murid elit, mereka tetaplah manusia yang pastinya ada beberapa pelajaran yang menurut mereka susah.
Kawakami-sensei melanjutkan, "Belakangan ini, saya sering menjumpai orang-orang yang menggunakan frasa yang berbeda dengan arti sesungguhnya."
"Satu kata yang sering saya dengar disalahgunakan adalah "kakushinhan," yang sekarang digunakan untuk mengartikan kejahatan yang dilakukan pada orang berdarah dingin. Seperti kata "secara harfiah," arti sebenarnya dari kakushinhan sangat berlawanan dari bagaimana kata ini digunakan. Kamu tahu apa itu, Amamiya-kun?"
Arti sebenarnya dari kakushinhan, huh… Ini sepertinya sulit.
Aku mulai berpikir sejenak. Saat berpikir, aku biasanya memegang daguku. Ini kebiasaanku saat sedang berpikir.
Pertama, dimulai dengan pengunaan umum dari kakushinhan berdasarkan tindakan yang kita ambil yaitu mengetahui tindakan itu adalah salah.
Ketika orang-orang mengatakan sesuatu yang kakushinhan, mereka biasanya bermaksud kalau pelakunya tahu itu salah.
Tapi kakushinhan yang sebenarnya berlawanan. Jadi arti sebaliknya adalah…
"Keyakinan kalau kita benar, Sensei."
"Ya, itu benar." Kawakami-sensei menambahkan, "Kakushinhan itu ketika seseorang mengambil tindakan, mempercayai kalau itu benar."
"Amamiya, sepertinya dia pintar."
"Dia mungkin tidak seperti yang kita pikirkan."
"Aku tidak menyangkanya."
Terdengar suara murid yang membicarakanku. Aku tidak tahu siapa.
"Kakushinhan pada awalnya adalah istilah yang mengacu pada kejahatan yang didorong oleh keyakinan moral atau pilitik. Meski belakangan ini sepertinya salah penggunaan menjadi hal yang lebih umum diterima."
Dengan demikian, hari Senin pun berakhir, dan semakin dekat dengan hari ujian. Sepertinya aku perlu mengulangi beberapa pelajaran lagi.
Keesokan harinya, Selasa, satu hari sebelum ujian dimulai.
Setelah waktu istirahat makan siang, jam pelajaran kelima diisi dengan pelajaran Bahasa Inggris dari Hiratsuka-sensei.
Pelajaran dimulai dengan Senseimelemparkan suatu pertanyaan. Firasatku mengatakan kalau pertanyaan itu disodorkan kepadaku. Untungnya, aku bisa menjawab pertanyaannya. Tentu saja karena kuhabiskan hari libur kemarin untuk belajar.
Sekolah hari ini berakhir dan besok akan dilaksanakan ujian tengah semester. Aku langsung pulang untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk besok.
Ujian tengah semester berlangsung selama empat hari, dari Rabu sampai Sabtu. Hari Sabtu yang biasanya libur, kali ini digunakan untuk ujian.
Empat hari ini kufokuskan ke ujian dulu. Hal yang lain lebih baik kulupakan. Ya, walaupun dari awal bulan Mei ini aku sudah memfokuskan diriku.
Tibalah hari ujian.
Datang ke sekolah pagi-pagi dan mengerjakan soal ujian. Di waktu istirahat, kugunakan waktuku untuk makan sambil belajar. Buku tidak pernah lepas dari tanganku. Aku benar-benar serius dalam mengincar peringkat yang bagus. Hanya ini salah satu cara untuk menunjukkan siapa diriku yang sebenarnya. Semua yang kupelajari keluar di soal-soal ujian. Aku tidak kesulitan sampai hari terakhir ujian.
Dan akhirnya, ujian tengah semester pun berakhir.