Sekitar 90 menit kemudian, film ini selesai.
"Sungguh film yang keren, ya! Aku benar-benar bisa merasakan keberanian dari anak laki-laki itu dan sikapnya terhadap kehidupan."
"Um um," Hiroaki mengangguk dan menambkan, "tidak rugi kita nonton film itu. Lain kali kalau ada film baru dan bagus, ayo kita nonton lagi."
"Um, ide yang bagus."
"Ayo kita keluar."
Kami meninggalkan bioskop ini dan kembali ke jalan. Sekarang ke mana?
Sekarang sudah pukul satu siang, artinya sekarang waktunya untuk makan siang. Di kawasan ini terdapat banyak sekali tempat makan, berupa makanan ala Amerika, Eropa, dan tentu saja Jepang, yang membuatku bingung ingin makan apa.
Hiroaki berjalan di depanku yang sepertinya dia sudah tahu akan ke mana kami selanjutnya. Kuikuti dirinya hingga kami tiba di depan salah satu restoran ramen. Dari begitu banyak tempat makan di sini, Hiroaki memilih ramen. Apa dia tahu kalau aku menyukai ramen?
"Amamiya, ayo makan ramen."
"Ramen, ya? Um, sepertinya enak. Ayo."
Kami masuk ke restoran ramen dan duduk di tempat yang kosong. Suasana restoran saat ini sangat ramai. Beruntung kami mendapatkan tempat. Kulihat isi menu yang ada di restoran ramen ini. Ada miso ramen, shio ramen, shoyu ramen, dan tonkotsu ramen.
Seorang pelayan datang ke tempat kami, meletakkan dua gelas air putih sambil menanyakan menu apa yang akan kami pesan. "Silakan pesanannya," kata pelayan pria itu sambil memegang kertas dan pulpen.
"Aku pesan shio ramen. Mm… toppingnya telur saja. Kalau Hiroaki?"
"Shoyu ramen, toppingnya chashu."
"Baiklah. Silakan ditunggu."
Suasana restoran ini semakin ramai karena memang sudah memasuki jam makan siang. Walaupun ada banyak restoran di sini, sepertinya hampir semua restoran penuh di jam seperti ini.
Tidak lama kemudian, pesanan kami tiba.
Kami rapatkan kedua tangan kami dan mengatakan "Itadakimasu."
Pesananku, berupa shio ramen,memiliki kuah berwarna kekuningan. Terdapat potongan daging ayam dan bawang perai, nori, dan telur di atas mie-nya. Hal pertama yang kulakukan saat ramen ini tiba yaitu dengan merasakan kuahnya terlebih dahulu. Ini sudah menjadi hal umum di seluruh dunia kalau makanan yang mengandung kuah akan dirasa dahulu kuahnya. Kuahnya terasa asin, tentu saja karena ini shio ramen, seakan membuat nafsu makan bertambah. Rasa asinnya sungguh nikmat dan ringan.
Kumakan mie-nya yang panjang dan tebal ini. Slurp… sangat nikmat dan kenyal. Selanjutnya, potongan daging ayam. Sangat empuk dan terasa juicy dagingnya. Terakhir, telurnya. Telur rebus setengah matang yang direndam di dalam shoyu, terasa enak.
Mie, daging ayam, telur, kuah, silih berganti masuk ke dalam mulutku. Ah… aku sangat suka perasaan dari mie yang meluncur turun ke tenggorokanku. Keringat bercucuran di wajahku. Ramen ini terbaik. Ramen is life. Kuahnya yang ringan ini juga membuat tubuhku bergerak lagi setelah berkeliling Center Gai tadi. Ya, walaupun tadi itu tidak terlalu melelahkan.
Tidak terasa kalau aku sudah menghabiskan ramen ini hingga tidak tersisa kuahnya. Um, ya, jarang-jarang bisa makan ramen seenak ini. Lain kali, aku pergi sendiri untuk coba menu yang lain.
Harga ramen di restoran ini mulai dari 600 yen hingga 800 yen. Untuk tambahan toppingnya, lain lagi.
Kenyang, kenyang. Rasanya tidak akan sanggup makan lagi. Mungkin makan malam nanti juga akan lebih sedikit daripada biasanya.
Sementara itu, Hiroaki masih sedang makan ramen. Kenapa dia lambat sekali makannya? Apa dia tidak terlalu suka ramen? Atau memang seperti cara dia makan? Sedikit membuatku penasaran. Ah, iya, aku ingat. Saat aku makan di kantin sekolah dengan Hiroaki. Dia memang makan agak lambat.
Tidak lama kemudian, Hiroaki selesai memakan ramennya, walaupun tidak menghabiskan kuahnya. Kami duduk sebentar di restoran ini sambil membicarakan hal-hal kecil.
"Hey Amamiya, bagaimana ramennya?"
"Sangat enak. Rasa asin kuahnya pas dan ringan, mie-nya tebal dan kenyal, daging ayamnya terasa juicy, dan telurnya enak. Sempurna. Kalau shoyu ramen-mu, bagaimana?"
"Tentu saja enak. Rasa shoyu-nya sangat pas dan juga ringan. Mie-nya enak. Pokoknya enak."
"Um, um. Terus, selanjutnya kita ke mana? Sudah lebih dari 20 menit kita di sini. Masih ada pelanggan yang menunggu tempat."
"Kalau begitu, kita keluar saja dulu. Jalan-jalan di kawasan ini sampai dapat tujuan."
"Hah, kukira kamu pikirkan tempat selanjutnya."
"Hehe,maaf. Ayo pergi. Biar aku yang bayar."
"Ah, maaf. Arigatou."
"Apaan itu? Kenapa ada maaf sebelum arigatou?"
"Ah, tidak. Arigatou, Hiroaki."
"Sama-sama."
Aku keluar dan menunggu Hiroaki di depan restoran ini.
Rasanya agak aneh. Sepertinya semakin banyak orang di kawasan ini. Ruang gerak semakin lebih sempi dari sebelumnya. Kuambil ponsel dari kantong celana, jam sudah menuliskan pukul 13:25. Selanjutnya, pergi ke mana enaknya, ya? Kalau pergi sendiri, mungkin aku coba mencari taman.
Hiroaki keluar dari restoran ramen dan mulai menghirup udara sambil meregangkan tangannya ke atas. Suasana yang ramai di restoran itu sepertinya membuatnya susah bernapas.
"Amamiya, ke mana kita akan pergi sekarang?"
"Kenapa tanya kepadaku?"
"Mungkin ada tempat yang ingin kamu tuju. Masih banyak waktu kita."
"Hm... Walaupun kamu bilang begitu, um… taman. Apa tidak ada taman di sekitar sini?"
"Ah, iya. Ada Taman Yoyogi. Bisa-bisanya aku lupa."
"Kalau begitu, ayo ke sana."
"Ayo pergi. Karena kita jalan kaki, mungkin sekitar 15 menit."
Kami berjalan meninggalkan Center Gai. Memasuki lorong-lorong hingga akhirnya kami bertemu dengan jalan utama. Menyusuri trotoar yang panjang di jalan ini. Sambil berjalan di belakang Hiroaki, kulihat ke arah sekitarku. Suasana kota sungguh terasa dengan adanya gedung-gedung tinggi dan kendaraan yang berlalu lalang di jalan. Di sebelah kiriku ada suatu gedung yang menarik perhatianku. Gedung apa itu, ya?
Setelah belasan menit berjalan, kami tiba di ujung trotoar, dan naik ke jembatan penyeberangan. Sudah mulai terlihat Taman Yoyogi dari atas taman ini. Aku jadi tidak sabar. Kami turun dari jembatan penyeberangan dan tiba di gerbang masuk Taman Yoyogi. Sejenak aku berpikir, seberapa luasnya taman ini.
"Kamu lihat gedung yang di sana tadi, Amamiya?" Hiroaki menunjuk ke arah gedung yang tadi sempat menarik perhatianku.
"Oh, itu. Memangnya itu gedung apa?"
"Itu Gymnasium Nasional Yoyogi, bisa dikatakan kompleks olahraga. Bagian sana itu juga termasuk ke Taman Yoyogi."
"Oh begitu."
"Hey, jangan bilang kalau kamu tidak tahu?"
"Tentu saja aku tahu, tapi ini kan pertama kalinya aku ke tempatnya."
"Kalau begitu, ayo kita masuk ke Taman Yoyogi. Pasti sangat ramai nih."