"Bukan, Bodoh!" balasnya dengan ketus. "Tidakkah kau menjadi lebih idiot akhir-akhir ini?"
"Aku cuma bercanda . Tapi kau tidak benar-benar bermaksud untuk turun ke bawah, kan? Bagaimana kalau Kristal Roh tidak berada di sana?"
"Kalau kita tidak turun kita takkan tahu, kan?"
Aku menggaruk kepala bagian belakang meski sebenarnya tidak merasa gatal. Mungkin itu ungkapan frustrasiku saat mengetahui maksud Dimas. Untuk sekilas, tindakan itu mungkin terlihat sembrono. Meskipun aku melihat ada ruangan raksasa di bawah tanah, aku tidak tahu pasti ruangan apa itu.
Kemungkinan baiknya Kristal Roh berada di ruangan itu, sementara kemungkinan buruknya tempat itu adalah sarang monster bawah tanah. Ketika menggunakan Indera Super, hanya dinding tanah dan akar pohon Hanarusa Raksasa saja yang kulihat. Kendati demikian, di bawah sana tetaplah berbahaya. Bisa jadi di tempat itu terdapat sarang lipan, cacing, atau monster lainnya yang berukuran raksasa.
Namun, aku penasaran.
Setelah berpikir beberapa saat, aku memutuskan untuk turun ke lubang itu. Kulangkahkan kaki ke tepi lubang, berjongkok, lalu mencoba memasukkan sebelah kaki sebelum akhirnya Dimas menarik badanku ke atas.
"Kau mau apa?" pekiknya dengan nada tinggi, kedua alisnya naik bagai sayap elang yang hendak menerkam mangsa. Tangannya yang besar mencengkram pergelangan tanganku kuat-kuat. "Jangan sembarangan turun dulu, Tolol! Kau mau ke bawah sana dengan semua barang bawaanmu?"
Ah, benar juga! Aku masih membawa tas besar di punggung. Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, benda itu akan menghambatku nanti.
Kulepas tas kulit beserta jubahku dan menitipkannya pada Shella. Setelah kami bertiga membahas petunjuk yang kutemukan, kami memutuskan hanya aku dan Dimas yang turun ke bawah. Sementara Shella menjaga barang bawaanku dan Dimas di permukaan.
Untuk berjaga-jaga aku membawa belati yang kugantungkan di pinggang, beserta Viglet Harapan yang kusimpan di kantung baju. Tadinya aku ingin membawa busur, namun sepertinya senjata itu takkan cocok untuk pertarungan di bawah tanah. Lagipula stok anak panahku menipis, aku harus menggunakannya dengan bijak. Kuharap bisa mengunjungi kota manusia nanti, aku ingin menyuplai anak panahku dengan yang baru. Karena tidak mungkin aku membelinya di kota Elvian.
Aku menggulirkan mataku pada Dimas, ia menyampirkan pedang pendek di pinggang dan membawa sebuah lentera kecil. Di bawah tanah pastilah gelap, benda itu sangat dibutuhkan untuk manusia biasa sepertinya. Berbeda denganku yang memiliki indera spesial, kegelapan bukan masalah bagiku.
"Kalian berdua, hati-hati! Ingat untuk segera kembali jika kalian tidak menemukan apa pun di bawah sana!" seru Shella seraya melambaikan tangan. "Bawa ini untuk jaga-jaga." Kemudian gadis berambut sepinggang itu memberikan obat pereda rasa nyeri dan salep pengering luka. Jadi jika hal buruk terjadi, kami berdua bisa cepat tanggap menanganinya.
"Terima kasih, Kak Shella! Tenang saja, kami pasti segera kembali," balasku dengan lembut, berusaha menenangkan gadis itu dari segala sesuatu yang ia khawatirkan.
"Wow, gelap sekali di sini!" suara Dimas terdengar menggema keluar dari dalam lubang, tidak tahu kenapa tahu-tahu ia sudah berada di bawah sana.
Mengabaikan Dimas yang heboh sendiri, aku berpamitan pada Shella lagi. Kudekati lubang yang berukuran pas dengan lebar tubuh manusia dewasa. Mulanya hanya bagian kaki, tetapi lama-kelamaan tubuhku sudah terbenam sampai pinggang. Aku mulai menggeliat ketika lubang semakin sempit dan susah dilalui. Setelah beberapa saat berusaha masuk lebih dalam lagi, kurasakan kakiku mengambang di sebuah ruang yang lebih luas lagi.
Aku berusaha mendorong tubuhku sendiri ke bawah dengan susah payah, tapi tak berhasil. Sepertinya lubang ini semakin sempit. Kalau begitu, kenapa Dimas berhasil melaluinya sementara aku tidak? Ketika berkutat dalam pemikiran yang tiada guna, tiba-tiba kakiku ditarik kekuatan besar ke arah bawah.
"Aduduh! Sakit!" aku merintih kesakitan ketika tubuhku bergesekan dengan lubang secara paksa, namun hal itu membantuku lepas dari lubang sempit itu.
Aku terjerembab ke atas tanah yang keras, kemudian mencoba bangkit. Kuelus-elus tangan kiriku yang menjadi tumpuan saat terjatuh tadi. Rasanya sedikit perih, namun tidak berlangsung lama. Rasa sakitnya hilang setelah beberapa saat. Kehadiran Dimas membuat kepalaku mendongak ke atas. Melihat pria itu mengulurkan tangan dengan wajah sedikit cemas, namun menyimpan rasa mesem di mukanya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Dimas, pria itu kini tak ambil pusing untuk menahan tertawa di depanku. Gelak tawa miliknya menggema memenuhi lorong bawah tanah yang cukup sempit ini.
Dimas menarik tubuhku untuk bangun, kala kuterima uluran tangannya. "Sialan! Kalo narik orang pelan-pelan, dong!" umpatku seraya menepuk-nepuk pakaianku yang terkena noda dan debu.
"Masa melewati lubang itu saja lama banget? Sampai nyangkut pula! Apa mungkin kau jadi gemuk?"
"Kau lihat sendiri dong! Tubuhku tidak berbeda jauh denganmu. Aku juga bingung kenapa hanya aku yang tersangkut di lubang itu?"
Teman masa kecilku pun mengamati tubuhku dari ujung rambut hingga ujung kepala. "Iya sih, kau tidak gemuk. Tapi ...." Untuk sejenak pandangannya berhenti di satu titik. Aku melipat kedua tangan ke depan dan membuang muka karena merasa tidak nyaman dengan tatapannya. "Sepertinya aku tahu alasannya."
Seketika itu juga kuhadapkan telapak tangan pada dirinya, mengisyaratkan Dimas untuk berhenti bersuara lebih jauh lagi. Aku sudah tahu apa yang ia maksud.
"Sudah cukup! Aku tidak mau dengar lagi!" ujarku seraya berjalan meninggalkan pria itu, pergi menyusuri lorong bawah tanah yang entah akan membawaku ke mana.
"Eh, bukankah tadi kau penasaran sekali? Dimas yang baik ini akan memberitahumu hasil investigasiku, loh!"
"Aku tidak mau dengar!"
"Serius nih nggak mau tahu?" Suara pria itu terdengar semakin menjijikan di telingaku, aku harap ia bisa belajar menutup mulut berisiknya. "Jadi gini, Anggi. Yang menyebabkanmu tersangkut di lubang adalah da--."
Sedetik kemudian aku menarik Viglet Harapan dari kantung baju secepat kilat dan langsung mengarahkannya tepat ke depan hidung Dimas. Pria itu tampak terkejut dan mundur sedikit sembari mengangkat tangannya.
"Aku bersumpah, Dimas! Kalau kau tidak bisa diam aku akan menghempaskanmu dengan Esze!" ancamku dengan nada yang dingin.
Temanku yang bawel itu tidak lagi mampu berkata-kata. Ia tampak ketakutan meskipun dia tahu aku sebenarnya hanya mengancam saja. Barang kali ia tersadar, leluconnya kali ini sudah terlalu berlebihan dan membuatku tidak nyaman. Entah apa alasannya, aku berterima kasih karena Dimas sudah mau diam dan tidak mengoceh lagi.
Aku memimpin Dimas menelusuri lorong bawah tanah yang ditelan kegelapan total. Bagiku, tempat ini kelihatan terang benderang. Mataku bisa dengan jelas melihat ke sekeliling meskipun tanpa bantuan lentera seperti Dimas yang ada di belakang.
Lorong ini memiliki tinggi sekitar tiga meter dan lebar dua meter, terkadang di beberapa bagian ada yang menyempit dan membesar. Selain dinding tanah, juga terdapat akar rambut Pohon Hanarusa Raksasa.
Aku berhenti sejenak dan menyidik salah satu akar rambut yang mencuat dari dalam tanah. Ini aneh. Saat kusentuh, akar rambut itu seperti mengeluarkan udara. Jari jemariku terasa ditiup oleh hembusan semilir angin. Saat kutajamkan inderaku, ternyata benar seluruh permukaan akar pohon Hanarusa ini memang mengeluarkan udara. Mungkin karena itulah udara di sini terbilang segar dan sejuk walaupun terletak di bawah tanah.
Tapi ini sedikit aneh. Berdasarkan ilmu pengetahuan yang berasal dari duniaku sebelumnya, akar pohon seharusnya memiliki fungsi menyerap udara di bawah tanah, bukan mengeluarkannya. Setelah beberapa saat berpikir, kuputuskan untuk tidak mengambil pusing. Karena semua logika dan ilmu pengetahuan dari Bumi tidak bisa diterapkan di dunia ini sepenuhnya. Mungkin Pohon Hanarusa termasuk spesies spesial yang memiliki sistem pernapasan yang berbeda dari yang lain.
Mengabaikan hal itu, aku kembali meneruskan menelusuri lorong yang semakin menurun ke bawah. Aku melirik Dimas untuk sesaat, ia masih tidak bersuara sedikit pun. Padahal biasanya ia sudah mengomel kalau aku berjalan lamban. Tapi sudahlah, aku lebih suka Dimas yang pendiam seperti ini.
Entah mengapa semakin aku berjalan menyusuri lorong ke bawah tanah, aku mendapati suara gemericik air yang kian terdengar keras. Setelah lebih dari satu jam melewati jalan yang berbatu dan penuh akar pohon yang melintang, aku tiba di ruangan yang sangat luas. Ini adalah tempat yang kulihat sebelumnya dengan Indera Superku.
Mataku memandang takjub ke sekeliling. Rupanya suara air yang sedari tadi terdengar berasal dari air terjun yang yang jatuh dari atas. Aku mendongak dan mengira tinggi langit-langit ruangan ini sekitar seratus meter. Air itu jatuh ke bawah dan membentuk aliran sungai yang mengelilingi ruangan ini, lalu menuju sebuah gua yang entah bermuara ke mana. Di tengah ruangan terdapat semacam dataran luas yang dibangun dari batu bata dengan altar berada tepat di tengahnya. Beberapa pohon tumbuh rindang mengelilingi dataran. Tampak di beberapa bagian, pilar-pilar altar mengelupas dan berlumut. Batu bata dari jalanan kecil menuju altar pun terlihat pecah dan berlubang di hampir sepanjang jalanan.
"Luar biasa! Tempat ini jauh lebih indah dari pada bayanganku!" ucapku dengan takjub.
"Keren! Ruangan ini bercahaya. Indah sekali!" seru Dimas yang turut terpukau dengan pemandangan ini.
"Bercahaya?" balasku dengan rasa ingin tahu.
"Kau tidak lihat bebatuan yang memancarkan cahaya biru kehijauan yang ada di seluruh penjuru ruangan?"
Setelah dilihat lagi, aku mendapati banyaknya bebatuan yang menempel di dinding dan permukaan tanah. Ukurannya tidak terlalu besar, mungkin hanya sekitar sekepalan tangan saja. Aku tidak tahu ini bercahaya atau tidak. Sepertinya untuk mata manusia biasa, bebatuan ini bercahaya dalam gelap. Mungkin karena itulah Dimas menaruh lentera kecilnya di atas tanah dan tidak lagi menggunakannya.
"Kenapa tempat seperti ini bisa ada di dalam tanah, ya?" tanyaku yang masih terpaku di tempatku berdiri, masih memandangi ruangan ini.
"Yang jelas ini bukan terbentuk secara alami," balas Dimas.
"Mungkinkah Elvian yang membangunnya?"
"Kurasa bukan. Apa kau ingat perkataan Elzhar? Para Elvian menjadikan Pohon Hanarusa Raksasa sebagai tempat ritual saat hari raya mereka datang. Artinya, mereka tidak tahu apa pun tentang ruangan bawah tanah ini. Kalau mereka tahu, ritual pasti diadakan di sini. Mungkin memang ada tetua Elvian yang tahu soal ini, tapi tidak dengan sebagian besar masyarakatnya. Lagi pula lihatlah tempat ini! Tampak tidak terurus, bukan?"
Mataku mengerling menyidik dengan seksama ke sekeliling.
"Kau benar. Kalau penduduk Kota Arnest tahu tentang tempat ini, mereka pasti akan rutin membersihkan tempat ini, dan mungkin akan menempatkan beberapa penjaga di sini. Lalu, menurutmu siapa yang membuat tempat ini?"
"Hmm, ini baru pendapatku. Mungkin saja ada bangsa yang lebih tua dari Elvian."
"Hah? Elvian 'kan memiliki jangka hidup yang panjang banget. Kalau ada bangsa sebelum Elvian yang memiliki sejarah panjang, artinya umur tempat ini bisa mencapai jutaan tahun, dong?"
"Entahlah, bisa jadi. Mungkin lebih tua lagi, atau mungkin tempat ini sudah terbentuk sejak awal mula dunia Juiller ini tercipta. Siapa yang tahu?"
Aku tertegun sejenak. Jika itu benar, artinya dunia ini memiliki peradaban manusia yang sangat panjang. Anehnya, aku tidak menemukan informasi semacam itu di perpustakaan Glafelden. Ketika aku sering menghabiskan waktu membaca di sana, semua buku menyebutkan bahwa Elvian satu-satunya bangsa yang memiliki sejarah paling panjang di dunia ini. Bahkan dikatakan Elvian sudah ada sejak zaman para Dewa.
Apa mungkin ada informasi yang salah?
Setelah berpikir keras, aku memutuskan untuk menganggap lalu hal tersebut. Itu hanyalah sebuah teori tanpa bukti. Lebih baik aku fokus pada apa yang harus kulakukan saat ini.
Mendahului Dimas yang masih takjub memandang ke sekeliling, aku pergi mendekat ke arah altar. Sebuah dataran terbentang luas di depan mataku. Luasnya mungkin dua kali lapangan bola jika disatukan. Jalan menuju altar dipagari oleh pilar batu dengan tinggi sekitar lima meter. Di sisi jalan terdapat meja-meja batu yang dijejerkan dengan interval beberapa meter. Entah apa fungsinya, kemungkinan meja itu berkaitan dengan altar yang ada di depanku.
Kulangkahkan kakiku perlahan meniti jalan secara perlahan. Setelah mendekat, barulah aku dapat mengamati jelas bangunan itu. Altar dengan dinding terbuka ini disangga oleh empat pilar batu yang tebal. Atapnya dibangun dengan pecahan-pecahan genting batu yang tampak usang dan pecah-pecah. Di tengah altar, terdapat semacam podium dan patung kecil.
Aku menundukkan badan agar dapat melihat dengan jelas. Patung itu sudah tidak utuh, ada beberapa bagian yang sudah hancur dan hilang seperti bagian badan, sayap, dan sebagian kepalanya. Dengan sedikit imajinasi, kucoba merekonstruksi ulang dan membayangkan patung itu dalam bentuk yang utuh.
Tidak butuh waktu lama, aku berhasil menemukan struktur asli patung itu di dalam pikiran. Aku bisa dengan cepat mengenalinya, karena bentuknya sangat familiar denganku. Patung ini berupa burung yang sedang bertengger, bagian badannya mungkin mirip dengan kebanyakan burung biasa. Ciri khas yang membuatku langsung mengenalinya adalah bentuk kepalanya. Patung itu memiliki sepasang bola mata besar menghadap ke depan, dan juga susunan bulu di kepalanya membentuk sebuah lingkaran. Hanya berdasarkan dua hal itu, orang bodoh pun pasti akan mengenali patung ini adalah burung hantu.
Tapi ... apa sebenarnya fungsi patung burung hantu ini di sini?
Sekarang aku jadi cukup yakin bila Kristal Roh Angin berada di sini. Aku jadi ingat Pangeran Keylan memberi tahuku tentang lokasi kristal roh berada di suatu tempat di bawah Kota Arnest. Dia mungkin belum pernah datang kemari, jadi ia tidak bisa memberi tahu lokasi tepatnya. Artinya sesuai perkataan Dimas, tempat ini hanya diketahui oleh segelintir orang saja. Ruangan bawah tanah ini menyimpan sesuatu yang sangat berharga, oleh karena itulah informasi ini tidak tersebar ke rakyat jelata. Mereka sengaja tak menempatkan penjaga di sini untuk menghindari kecurigaan orang lain. Setidaknya itulah yang kupikirkan.
"Di mana Kristal Roh Angin itu jika memang berada di sini? Apa kita harus mulai menggali tanah seperti para arkeolog ketika menemukan fosil dinosaurus?" keluh Dimas dengan skeptis. Dia berkali-kali mengelilingi altar dan memperhatikan sekitar, mungkin mencoba mencari satu atau dua petunjuk tentang keberadaan kristal roh.
"Sudah kubilang kalau ini tidak akan mudah, kan? Kau pikir kristal roh akan begitu saja datang pada kita?" balasku dengan nada kritis, sedikit tersulut emosi. Kupikir, ini bukan waktunya untuk mengeluh.
"Sial! Aku akan coba menyelidiki di seberang sana!"
Dimas menjauhi altar dan pergi ke seberang. Entah penyelidikan macam apa yang akan ia lakukan. Yang penting terhindar dari ucapan keluh kesahnya yang membuatku jengkel. Sementara aku masih ingin berada di sini, mengamati patung burung hantu yang hancur sebagian.
Jika diperhatikan lagi, burung hantu ini memiliki dua pasang sayap. Aku baru menyadarinya karena semua sayapnya terlipat. Burung hantu dengan empat buah sayap? Entah mengapa semua hal aneh jadi terasa wajar bagiku, mengingat dunia tempatku berada sekarang. Kalau aku masih ada di bumi, aku pasti akan menertawakannya dan menganggap itu lelucon.
Aku jadi ingin melihat hewan ini secara langsung kalau bisa. Burung hantu dengan empat buah sayap pastilah akan terlihat keren dan gagah. Kalau benar ada, aku ingin menangkapnya satu dan menjadikannya sebagai peliharaan. Tanpa sadar tanganku mengusap kepala patung yang sudah hancur separuh.
Hal yang tidak kusangka terjadi. Tiba-tiba saja mata patung burung hantu itu bercahaya biru muda. Mendadak pusaran angin kecil tercipta mengelilingi altar kemudian menyelimuti patung itu. Perlahan-lahan patung batu itu merekonstruksi ulang sendiri mulai dari sayap, badan, dan terakhir, kepala. Di kedipan mata berikutnya, patung burung hantu yang ada di depanku kembali utuh. Ada yang sedikit berbeda, awalnya patung ini melipat sayapnya. Kini, ia membuka seluruh sayapnya lebar-lebar dengan gagah.
"Kau tidak apa-apa, Anggi?" tanya Dimas dengan begitu khawatir dan membantuku berdiri. Rupanya tanpa sadar aku terkaget dan terjerembab ke tanah.
"Tidak apa-apa, hanya jatuh saja." Aku meraih uluran tangannya dan berdiri. Kemudian aku mendapati adanya beberapa pusaran angin yang mencapai langit-langit di luar altar. "Sebaiknya kita segera kembali ke atas. Aku merasakan firasat buruk."
"Ide yang bagus!"
Aku dan Dimas bergegas meninggalkan altar dan menuju lorong tempat kami berasal. Letaknya cukup jauh dari altar, aku harus menyeberangi dataran luas untuk sampai ke sana. Begitu sampai di pertengahan tanah lapang, tubuhku langsung bergidik ngeri.
Bagaimana tidak? Di salah satu dinding ruangan, muncul retakan yang terbentuk dari langit-langit. Celah dengan cepat menjalar ke bawah dan semakin besar, membuat dinding tanah hancur dan menjatuhkan bebatuan serta kerikil. Untungnya Dimas dengan sigap menarik tanganku agar tak tertimpa reruntuhan itu.
Hal itu bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan rasa teror yang kudapatkan selanjutnya. Dari celah yang tercipta di dinding tanah, aku melihat kilatan sinar yang bercahaya. Rasa takut segera menjalar ke punggungku, membuat tubuh ini mati langkah dan terpaku di tempatku berdiri. Hanya mampu menyaksikan sepasang mata bercahaya biru yang mengamatiku dari dalam celah.
"A-A-Apa itu ...?"