Chereads / Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir] / Chapter 50 - Chapter 50 "Pertemuan Kembali"

Chapter 50 - Chapter 50 "Pertemuan Kembali"

Untuk kedua kalinya Keylan membaca isi surat lagi dengan cermat. Mau berapa kali pun ia membaca ulang, isinya tetap tidak berubah. Raut wajahnya yang tegang tidak berubah. Kemudian ia mencoba membawa surat itu dekat dengan lilin yang menyala di atas meja. Ajaibnya, surat yang ada di genggaman tangannya tak terbakar sedikit pun walau api sudah menjilat lembaran kertas itu.

Di dalam kesatuan tentara Elvian, mereka memakai kertas khusus yang dilapisi Esze agar tak bisa dibakar maupun dirobek. Gunanya adalah untuk menghindari pesan palsu yang dikirimkan antar divisi militer yang akan mengakibatkan kesalahan informasi. Apabila pesan yang kau dapatkan tidak bisa dibakar atau dirobek, sudah dipastikan pesan itu asli. Sebagai tambahan, penutur pesan yang dengan sengaja memberi informasi salah akan dihukum dengan sangat berat. Oleh karena itulah, Pangeran Keylan tak percaya jika ada yang berani bercanda dengan mengirim pesan palsu.

Untuk menghapus keraguannya sekali lagi, ia mengambil tongkat Vigletnya dari dalam laci meja kerja lalu mengarahkannya pada surat itu.

"Faravious!" ujar pria itu dengan lirih.

Selembar kertas kecil yang terlihat tidak mudah rusak, kini terbakar habis oleh api biru yang muncul selepas pengucapan mantra. Kertas itu bukannya tak bisa rusak, hanya mantera yang dikuasai beberapa orang saja yang mampu membakarnya sampai tidak bersisa. Dengan demikian, Pangeran Keylan pun meyakini bahwa isi surat itu asli.

Mukanya semakin pucat pasi, seluruh tenaga yang ia miliki seperti tersedot habis hingga ia tak mampu menopang tubuhnya sendiri. Ia nyaris terjatuh jika saja pria muda pembawa pesan tidak menangkap tubuh atasannya. Pria itu dengan perlahan mendudukkan tubuh Keylan di atas sofa yang ada di tengah ruangan.

"Apa yang harus kita lakukan, Yang Mulia?" tanya pria itu dengan cemas.

Keylan yang tampak terguncang, awalnya tidak menyadari ucapan pria muda di sampingnya. Setelah berhasil menguasai kesadaran sepenuhnya, ia menoleh pada pembawa pesan itu.

"Cepat bunyikan kode merah. Aku ingin satu batalyon sudah siap bergerak ke Kota Arnest dalam lima belas menit. Lalu perintahkan para perwira menghadap padaku," gumam Keylan dengan suara lirih.

"Siap, laksanakan!" pria muda itu berdiri tegak sembari memberi hormat dengan menaruh tangan kanan pada dada kiri sembari membungkuk. Setelah itu dia langsung berlari keluar koridor dengan kecepatan penuh.

Suara derapan langkah kaki perlahan menghilang menandakan pria muda pembawa pesan itu telah berada jauh dari ruangan Keylan. Sang Pangeran Ketiga Kerajaan Elvian Barat terduduk lesu sembari menunduk dan memegang kepalanya.

Dia masih mengingat jelas pernah memberi tahu Anggi tentang lokasi Kristal Roh sewaktu berada di perpustakaan Kota Viar. Hal itu semata-mata ingin membantu gadis campuran itu untuk menggapai mimpinya. Selain informasi tentang lokasi, Keylan tak tahu apa-apa soal Kristal Roh. Entah cara untuk mendapatkannya, bentuk aslinya, maupun efeknya. Dia tidak pernah tahu hal lain selain itu. Anggota keluarga kerajaan hanya diceritakan tentang sejarah asli dan lokasi kristal roh, tidak lebih.

Ia sama sekali tidak menyangka bila memberi tahu keberadaan kristal roh pada Anggi akan berujung pada kematian ratusan rakyatnya dan membangkitkan monster kuno dalam mitos. Kendati demikian, ia tidak mau menyalahkan Anggi. Pria itu berharap ini semua hanyalah kesalahan.

"Apa tindakanku ini salah?" ujarnya dalam hati.

***

Dari alam bawah sadar yang dipenuhi kegelapan, telingaku sayup-sayup menangkap suara yang memanggil-manggil namaku. Padahal, kupikir tempat gelap ini adalah peristirahatan terakhirku. Namun suara-suara itu semakin kuat memanggil, seakan jiwa ini disedot oleh keyakinan mereka yang begitu kukuh.

Di kali aku membuka mata, aku melihat milyaran bintang terhampar luas di langit malam serta rimbunnya dedaunan pohon Hanarusa. Aku butuh mengerjapkan kelopak mataku berulang kali guna mencerahkan penglihatanku yang samar. Saat itulah aku mendapati wajah tak asing yang lama tidak kulihat. Mulanya aku tidak percaya dengan keberadaanya. Tapi mustahil aku salah mengenali temanku sendiri yang memiliki ciri-ciri unik.

"Indra?" ujarku lirih ketika melihat potongan botaknya yang begitu khas. Aku mencoba untuk membangkitkan tubuh bagian atas, seketika rasa sakit menjalar dari tulang punggung ke sekujur badan. Aku langsung mengerang kesakitan.

"Jangan bangun dulu! Tubuhmu masih lemah!" tegas pria itu.

Meski nyaris setengah tahun tak bertemu, ketegasannya tidak hilang sedikit pun. Justru kini ia tampak lebih gagah dari yang kukenal dengan baju zirah ksatria miliknya yang elegan.

Ah, aku ingat! Sebelumnya aku dan Dimas tengah melawan monster burung hantu raksasa. Kami berdua berhasil memberinya luka yang cukup dalam pada matanya. Selepas itu, sang monster lepas kendali dan berhasil menerobos langi-langit ruangan bawah tanah. Entah kabur kemana dia, aku tidak memperhatikan. Karena pada saat yang bersamaan, seluruh ruangan mendadak runtuh.

Seharusnya aku sudah tewas tertimpa batu dan reruntuhan di dasar ruangan. Tapi kenapa kini aku selamat dan berada di permukaan tanah? Apa Indra yang menyelamatkanku dari sana?

Sedetik kemudian aku mengingat satu hal yang penting.

"Dimas! Di mana Dimas?" pekikku sembari mencoba kembali bangun. Namun lagi-lagi rasa nyeri di sekujur badan yang menghentikanku. "Aduduh!"

"Si Tolol! Sudah kubilang untuk berbaring saja. Kau masih mau hidup tidak!?" bentak Indra dengan suara lantang yang menggelegar di dalam gendang telingaku. "Tenang saja! Dimas ada di sampingmu, kau lihat sendiri!"

Kulemparkan pandangan mengikuti arah ujung telunjuk pria kekar itu. Sekitar lima meter di samping kiriku, Dimas tengah bersandar pada akar pohon Hanarusa Raksasa. Raut wajahnya tampak menahan kesakitan, tangan dan badannya dibalut dengan perban. Aku juga bisa melihat Shella yang tengah membalutkan perban pada bahu Dimas. Juga sosok Erik yang berdiri di sampingnya.

"Yo, lama tak bertemu! Kelihatannya kau masih sama bodohnya seperti yang kuingat!" seru Erik yang juga berbalut seragam militer khas kerajaan. Meski sudah hampir setahun di dunia ini, logat jawa miliknya tak hilang.

"Bagaimana kalian bisa berada di sini?" tanyaku pada Erik dan Indra.

"Jangan pikirkan dulu hal itu! Yang lebih penting pulihkan dulu tenaga kalian. Kita akan pergi dari sini sesegera mungkin setelah kalian mampu berdiri sendiri."

Mau tidak mau aku mengikuti perintahnya, karena itu adalah hal paling logis yang dapat dilakukan untuk saat ini. Seluruh badanku memang terasa sakit, seakan setiap persendian bisa lepas kapan saja. Untungnya saja aku masih utuh, tidak kurang satu jari pun. Menakjubkan sekali bisa lolos dari bawah reruntuhan tanpa cacat sama sekali. Kalau hanya sakit seperti ini, kurasa dalam setengah jam badanku ke depan sudah bisa digerakkan.

Kulemparkan pandangan ke arah Dimas, lukanya tampak tak parah hanya lecet di beberapa bagian saja. Sepertinya ia juga mampu berdiri sendiri dalam hitungan menit.

Selama beristirahat, aku bertanya apa yang membuatnya dan Erik menyusul kami ke wilayah Elvian. Tidak lupa juga aku berterima kasih padanya karena sudah memperingati kami lewat surat yang ia kirim. Kalau tidak, mungkin aku sudah tertangkap oleh Ksatria Lurivia. Sempat ada satu prasangka konyol muncul dalam kepala, yaitu mereka berdua datang untuk menangkapku sendiri.

Namun segera kutepis pikiran itu karena kuyakin keduanya bukanlah tipe orang yang akan menjual temannya sendiri. Apalagi mereka sudah memperingatiku sebelumnya untuk segera kabur, dan juga menyelamatkanku dari reruntuhan. Jadi, kubuang ide gila itu jauh-jauh.

Saat aku bertanya tentang hal itu Indra bercerita, bahwa ia dan Erik sudah bertekad untuk keluar dari kesatuan ksatria dan turut serta dalam perjalanan kami. Jadi mereka menyelinap kabur ketika kesatuan Ksatria Elit tiba di Glafelden. Lagi-lagi aku trenyuh oleh tindakannya. Membuat hatiku yang terdalam merasa berterima kasih memiliki rekan yang sangat peduli.

Namun ada yang membuatku sedikit terganggu. Entah mengapa ketika bercerita Indra selalu memandang ke arah yang sama, yaitu arah Kota Arnest. Namun rasanya ada yang aneh. Aku bisa melihat pendaran cahaya merah terang di atas langit kota. Hal yang tidak kutemui saat bermalam di sana kemarin. Apa mereka sedang mengadakan festival?

"Hei, Anggi!" seru Indra yang sedari tadi tidak melepas tatapannya ke arah kota. Tapi kini ia melirikkan matanya padaku. "Apa kau tahu sesuatu tentang monster burung raksasa itu?"

Dalam sekejap, perasaan ngeri langsung menguasai pikiranku.