Entah sudah berapa lama aku berada di dalam kegelapan ini. Seluruh panca inderaku mati rasa. Tubuhku terasa sangat ringan hingga bisa terombang-ambing di ruangan hampa ini. Aku tidak tahu apa yang terjadi, namun aku dapat mengira penyebabnya. Ada satu kepingan memori yang masih kupegang erat, mungkin ini adalah ingatan terakhirku yang masih baru.
Semua berawal ketika aku dan Dimas bekerja sama untuk mengalahkan monster burung hantu. Saat itu aku telah berhasil memaksanya turun dari udara. Dimas langsung menerjang untuk menghunuskan pedangnya. Namun monster itu mendadak merentangkan sayapnya lebar-lebar, lalu memutar badannya seperti baling-baling dan menerjang kami. Untung saja aku berhasil menarik Dimas tepat pada waktunya sehingga ia tidak terbelah jadi dua.
***
"Sial! Apa-apaan gerakan itu?" pekik Dimas yang baru saja selamat dari maut. Mata pria itu terbelalak lebar ketika gerakan monster itu menghantam dinding dan menghancurkannya berkeping-keping.
Aku pun sama. Melihat dengan ngeri dan bersyukur monster itu tak memotong temanku jadi beberapa bagian. Entah sekuat apa tubuh monster itu, tulangnya mungkin sekuat baja. Kalau begini ceritanya, kami harus mengincar bagian vital lain yang lebih lembut.
"Anggi! Kita harus mengincar titik lemahnya jika ingin melumpuhkan Si Joni!" teriak Dimas.
"Setuju. Kita memikirkan hal yang sama. Tapi bagaimana?"
Pria itu terdiam sejenak, memperhatikan monster yang kembali terbang di udara sembari melantangkan suaranya. "Ayo kita lakukan sekali lagi gerakan tadi! Kau menjatuhkannya dengan Esze, sementara aku akan mengurus sisanya."
"Apa kau lupa tadi kita gagal? Bagaimana kalau burung itu kembali melakukan gerakan yang tak disangka lagi?" protesku dengan lantang.
"Kali ini akan sedikit berbeda. Aku akan bersembunyi di balik reruntuhan, sementara kau mengalihkan perhatiannya."
"Kita akan bertukar peran?"
"Ya, hanya saja tugasmu lebih berat karena harus menjatuhkan monster itu ke atas tanah. Maaf, tapi hanya itu yang bisa kupikirkan saat ini."
"Tidak apa-apa. Aku akan mencoba semampuku," jawabku dengan yakin.
Selepas itu, Dimas segera pergi menjauh dariku. Mencoba mengitari pelataran sembari bersembunyi di balik bebatuan dan tanah yang runtuh dari langit-langit. Pria itu mungkin ingin lolos dari pantauan monster. Aku yang paham dengan peranku, kini memantapkan hati untuk keluar dari balik batu.
Seketika itu juga perhatian monster mengarah padaku. Aku berjalan keluar dengan tekad yang kuat. Sejujurnya aku tidak terlalu percaya diri, namun hal ini harus kulakukan jika ingin kami berdua tetap hidup. Kuacungkan ujung tongkat vigletku ke arah monster yang terbang di langit. Aku mencoba untuk tetap berada di tempatku berdiri, meski kepakkan sayapnya membuat hembusan angin yang kuat untuk menerbangkan tenda dan terpal di pasar.
"Vitr Blast!"
Gumpalan angin yang terbentuk di ujung viglet, melesat secepat kilat ke atas. Belajar dari pengalaman dan rasa sakit yang pernah ia derita, monster burung hantu itu menghindar dengan gesit. Energi magis yang kulepaskan menghantam dinding, dan membuat bebatuan serta tanah jatuh.
"Vitr Zrash!"
Kubuat gerakan melintang dengan tangan seperti sedang menebas sesuatu. Ujung vigletku mengeluarkan tiga buah pisau angin yang panjangnya sekitar dua meter. Pisau-pisau angin itu melaju kencang bagai badai, hingga tak sanggup dihindari oleh monster itu. Suara jeritan yang sangat nyaring menggema ke seisi ruangan. Bulu-bulunya banyak yang tercabut dan berguguran bak daun yang ranggas dari tangkainya. Luka sayatan melintang terlihat jelas pada dada monster burung hantu itu hingga ke perutnya. Darah berwarna merah pekat merembes keluar dari
Aku bergeming. Terkejut karena Esze yang kukeluarkan menimbulkan dampak yang besar pada monster itu. Padahal, awalnya pisau angin yang kurapal memiliki besar sepanjang tombak saja, namun membesar begitu mendekati tubuh musuh. Kulemparkan pandangan pada Viglet Harapan yang kugenggam. Kupandangi sejenak, kemudian tersenyum. Kalau boleh jujur, tongkat ini adalah senjata terbaik yang pernah kugunakan.
Entah saat ini kau berada di mana. Pangeran Keylan, aku benar-benar berterima kasih atas hadiahmu! Izinkan aku membalasnya lain kali jika kita bertemu lagi.
Bersamaan dengan kondisi yang melemah karena luka yang kutorehkan, monster burung hantu yang berada di udara itu kini ambruk ke atas tanah. Serangan itu memang fatal, namun tetap tidak bisa membunuhnya. Burung itu terhuyung-huyung di atas tanah lalu menabrak dinding tanah. Sepertinya hanya masalah waktu sampai ia pulih kembali dan membalaskan dendamnya padaku.
"Dimas! Sekarang!" teriakku kencang pada teman baikku yang entah bersembunyi di mana. Berharap pria itu tidak menyia-nyiakan kesempatan emas yang kuberikan.
"Tidak usah berteriak aku sudah tahu!" suara Dimas terdengar datang dari atas.
Aku mendongakkan kepala dan melihat sosoknya yang tengah berlari di atas bebatuan di dinding tanah. Saat aku mengalihkan perhatian si monster besar tadi, rupanya Dimas memanjat jauh ke atas dinding. Kini ia berada di posisi tepat di atas monster yang tersungkur itu. Kedua tangan pria itu memegang pedang miliknya dengan penuh keyakinan. Satu kejapan mata berikutnya, ia langsung melompat ke bawah.
"HYIAAAAAAAAAAAAAHH! MATILAH KAAAAAAUUUUUUU!!" teriaknya lantang sembari menghunuskan ujung pedangnya ke bawah. Tepat ke kepala monster.
Memanfaatkan gaya gravitasi dan berat tubuhnya, Dimas berhasil menusuk salah satu mata monster. Malahan mata pedangnya yang sepanjang satu meter, menancap seluruhnya pada bola mata. Monster itu mengerang kesakitan seperti ayam yang baru saja disembelih lehernya. Ia bangkit dan menggerak-gerakkan tubuh serta kepalanya tidak karuan, sambil berharap Dimas dapat berbaik hati melepas pedangnya.
Di lain pihak Dimas bukanlah orang yang akan menyia-nyiakan kesempatan. Ia berpegangan kuat pada gagang pegang, meski tubuhnya terlempar ke sana dan kemari karena gerakan monster. Gerakan monster yang kesetanan dan genggaman Dimas yang kuat pada pedangnya, membuat luka pada bola mata burung hantu itu semakin melebar. Darah mengucur deras dari sana seperti air terjun, membasahi bulu-bulu cokelat gelap dengan warna merah darah.
Monster itu semakin beringas hendak melepaskan diri dari tusukan pedang. Ia lalu menekuk keempat sayap dan tubuhnya, aliran-aliran angin muncul dan mulai menyelubungi tubuhnya. Saat itulah aku sadar apa yang akan terjadi.
"Dimas! Segera menyingkir darinya!" pekikku dengan khawatir.
Kali ini ia tidak keras kepala seperti biasanya dan mengikuti ucapanku. Dia turun dari atas kepala burung hantu itu. Karena tinggi monster yang mencapai puluhan meter, sangat tidak mungkin baginya untung langsung melompat ke atas tanah. Kecuali jika pria itu ingin mengalami patah tulang di beberapa bagian atau mati seketika. Karena itulah ia meluncur melalui punggung yang besar dari si monster. Tapi belum sempat sampai ke atas tanah, hal yang kutakutkan terjadi.
Monster itu dengan cepat membuka badan dan sayapnya, mengeluarkan gelombang angin yang kuat ke segala penjuru. Menerbangkan Dimas yang berada di punggungnya, juga diriku yang berdiri jauh darinya hingga lagi-lagi membuatku membentur bebatuan. Aku kembali tersungkur di atas tanah, kali ini aku tak sanggup bangkit lagi.
Aku memandangi monster itu yang mengeluarkan energi Esze angin dari mulutnya ke atas langit-langit dengan sangat frustasi. Berkali-kali ia mengarahkan serangannya ke atas, hingga langit-langit bergemuruh dan runtuh perlahan-lahan. Beberapa saat kemudian, monster itu mengeluarkan energi Esze angin yang super besar. Membuat lubang besar di langit-langit dan menembus hingga ke permukaan tanah. Aku bisa melihat kirana Rubiel yang indah jatuh ke bawah ruang bawah tanah ini. Monster itu terbang melalui lubang besar yang ia ciptakan, mengarah ke langit malam yang disinari cahaya Rubiel.
Hal yang terakhir kali kulihat adalah runtuhnya separuh langit-langit yang menjatuhkan bebatuan, kerikil, debu, serta tanah ke bawah. Menimpa dan menimbun seluruh pelataran luas di bawah tanah ini. Termasuk juga diriku yang tak mampu tuk berdiri lagi.
Mungkin ... ini adalah akhir hidupku.
***
Seekor burung merpati putih terbang tinggi di antara awan yang menggantung di udara. Bulu putihnya tampak mengilap seperti kristal di bawah pancaran Rubiel yang berpendar terang. Lalu makhluk itu menukik cepat tatkala mendapati sebuah pedesaan berada dalam pandangannya.
Tempat itu bernama Desa Vilnus, sebuah pemukiman kecil yang terletak tak jauh dari Kota Arnest. Jaraknya hanya empat jam saja perjalanan dengan berjalan kaki, bila menggunakan kuda akan lebih cepat. Di sekitar Kota Arnest ada beberapa desa yang berfungsi sebagai penyokong. Desa-desa itu menghasilkan berbagai macam produk di antaranya pakaian, sutra, makanan setengah jadi, susu, dan lain sebagainya. Jadi roda perekonomian tidak hanya berkutat pada Kota Arnest semata, namun juga dari kontribusi desa-desa penyokong.
Desa Vilnus adalah salah satu desa penyokong yang cukup besar, dengan produk utamanya adalah persenjataan. Banyak pandai besi yang handal dari seluruh negeri berada di sini. Kebanyakan dari para pandai besi itu telah menempa senjata di desa ini dari generasi ke generasi dalam jangka waktu yang lama. Mereka adalah pemasok utama persenjataan di Kerajaan Elvian Barat. Mulai dari pedang biasa yang tak elok untuk prajurit hingga pedang kuat nan elegan milik anggota kerajaan, semua ditempa di desa ini. Kualitasnya pun hampir menyamai bangsa kurcaci, yang dikenal sebagai kaum pandai besi terbaik seluruh dunia. Jika tidak, para pandai besi itu takkan bertahan hingga ribuan tahun. Karena itulah Desa Vilnus disebut sebagai gudang senjata Kerajaan Elvian Barat.
Di desa ini juga memiliki markas tentara Elvian yang cukup besar, meski tidak sebesar yang ada di Kota Viar, ibukota negeri ini.
Burung merpati yang tadi terbang tinggi, kini terbang rendah di atas pepohonan. Tinggi pohon-pohon di sini masih terbilang cukup normal untuk ukuran manusia, tidak seperti pepohonan di Arnest atau Ruvia yang berukuran raksasa. Burung itu kini merendah hingga terbang dekat dengan atap rumah warga yang terbuat dari sejenis genting tanah liat. Ia mendekat ke arah bangunan besar yang terbuat dari kayu dan batu bata, lalu hinggap di salah satu jendela yang berada di lantai tiga.
Seorang prajurit Elvian yang tengah menata dokumen di atas meja, menyadari burung itu dan mendatanginya. Pria muda yang mengenakan seragam kemiliteran itu menilik pada kaki merpati dan mengambil surat yang berada di kaki makhluk kecil itu. Untuk sesaat ia membuka gulungan surat dan membaca isinya.
Seketika itu ia tercengang. "Ini gawat! Benar-benar gawat!" ujarnya dalam raut wajah yang panik.
Pria muda itu langsung keluar dari ruangannya dan berlari menuju ruangan besar yang ada di ujung koridor lantai tiga. Ia mengetuk daun pintu berulang kali dengan keras, berharap seseorang yang ada di balik pintu mendengar niatnya.
"Yang Mulia, apa kau ada di sana? Yang Mulia Pangeran, ini sangat penting!" teriak pria itu.
"Masuk!" ucap seseorang dari dalam.
Tanpa membuang waktu, pria itu membuka pintu dan memasuki ruangan besar di mana terdapat ruang kerja pribadi dan rak-rak buku dan dokumen yang tertata rapi. Di sudut ruangan, ada sebuah pedang panjang dengan ukiran indah di kedua mata pedangnya. Gagang pedangnya pun dilapisi bahan khusus yang tampak mengilap, menandakan senjata mewah ini bukan diperuntukkan untuk kalangan rakyat biasa. Ini adalah milik Pangeran Ketiga Kerajaan Elvian Barat. Itu artinya, Elvian yang ada di hadapan pria muda itu adalah Pangeran Keylan-Zell.
"Ada hal gawat apa yang membuatmu harus mengetuk pintuku dengan kencang," balas Keylan ketus, dia tak perlu repot menyembunyikan wajah kesal pada bawahannya. Keylan merasa terganggu, sebab ia tengah mengecek tumpukan laporan satu per satu. Semua itu harus dikerjakan malam ini juga, karena itulah ia merasa tidak senang ketika datang gangguan.
"Maafkan ketidaksopanan saya, Yang Mulia! Tapi saya baru saja menerima pesan darurat dari regu pengintai di Kota Arnest."
Keylan memandangi Elvian muda itu perlahan-lahan, lalu matanya mengarah pada sebuah kertas kecil yang ada di tangan pria muda itu. "Biarkan aku membacanya!"
"Baik." Pria muda itu segera menyerahkan surat yang ada di tangannya pada Pangeran Keylan.
Pangeran Keylan langsung membaca isi surat itu dengan cermat. Dalam beberapa detik, mukanya mendadak menegang ketika membaca sekali lagi isi surat itu. "Kota Arnest diserang Strigifavorus? Makhluk legendaris yang ada di mitos itu?"