Chapter 48 - Chapter 48 "Jiwa Ksatria"

Suara dentuman keras tercipta kala bola angin itu menghantam dinding dan mengakibatkan sebagian langit-langit runtuh. Bebatuan bercahaya, tanah, dan kerikil berluruhan dari atas. Separuh pelantaran luas diselimuti oleh debu tebal yang membuatku tak bisa menerka keberadaan Dimas.

Tenagaku langsung lenyap. Ketakutan menjalar ke tulang punggung dan memberi tubuh ini rasa ngeri yang hebat. Sambil bergantung pada serabut akar pohon Hanarusa, mataku terbelalak lebar. Memandang ke arah bawah, berharap Dimas segera keluar dari debu yang beterbangan dan menyerang kaki monster itu seperti sebelumnya.

Namun, ia tetap tidak muncul meski waktu telah berlalu. Bulir keringat mengucur dari dahi. Tak sepatah kata pun terucap dari mulut sembari mengharapkan kemungkinan yang terbaik.

Tapi ... sampai kapan aku harus terus berharap? Bagaimana kalau harapan itu tidak pernah muncul?

Berbagai pertanyaan negatif terus datang ke dalam kepala, membuatku tidak bisa berpikir dengan jernih. Ditambah dengan kebimbangan serta kecemasan berlebih, rasa takutku semakin menjadi-jadi. Aku melihat ke atas, pintu keluar terletak hanya beberapa meter di atasku. Aku bisa saja naik ke atas dan segera keluar dari sini.

 Kendati demikian, aku merasa tindakan seperti itu tidaklah benar. Aku tetap tak akan bisa berbuat apa-apa meskipun sudah berada di atas permukaan tanah.

Tidak, bukan seperti itu. Lebih baik kukatakan secara jujur. Aku tak sanggup meninggalkan Dimas sendirian di sini. Aku tidak bisa. Dia adalah teman terbaikku selama ini. Hanya dialah yang selalu bersama dan menjagaku di sisinya. Aku tidak boleh kehilangannya.

Tanpa berpikir panjang, aku melepaskan genggaman pada serabut akar pohon Hanarusa dan membuat tubuhku meluncur ke bawah. Aku menuruni dinding yang curam dan berbatu sebelum akhirnya jatuh ke atas tanah. Kulit tangan dan kakiku sempat terluka karena bergesekan dengan batu, tapi aku tidak mempedulikan hal itu. Dibanding dengan apa yang akan kurasakan saat kehilangan Dimas, luka lecet hanyalah masalah kecil.

Aku segera berlari mendekati monster itu dari belakang. Dari pertarungannya dengan Dimas, aku menyadari kalau burung hantu itu menggunakan matanya yang tajam untuk melihat pergerakan lawan. Seharusnya ia tidak bisa melihatku yang datang dari titik buta. Tanganku dengan cepat mengeluarkan Viglet Harapan dari dalam saku dan mengarahkannya pada punggung monster.

"Vitr Bris!"

Bersamaan dengan itu sebuah gumpalan angin terkonsentrasi pada ujung tongkat magisku. Hanya butuh beberapa detik saja hingga gumpalan angin sebesar bola kasti membengkak hingga berdiameter dua meter. Jika yang kupegang hanyalah viglet biasa, akan butuh waktu lama untuk membentuk pusaran angin hingga sebesar itu. Lain cerita jika yang kupakai adalah senjata yang dahulu digunakan oleh Pangeran Ketiga Kerajaan Elvian Barat. Aku berani bersumpah, ini adalah gumpalan angin paling besar yang pernah kubuat dengan mantra 'Vitr Bris'.

Sesaat kemudian aku segera melepaskan Esze itu ke atas, tepat ke arah punggung monster. Suara jeritan melengking kencang dan menggema di dalam ruangan raksasa, tatkala gumpalan angin menyentuh badannya. Beberapa bulu lepas dan berguguran jatuh ke atas tanah.

Burung hantu raksasa itu langsung menoleh ke belakang, memperhatikan pelaku yang baru saja menyerangnya diam-diam. Tepat ke arahku.

Pandangannya begitu tajam seakan hendak menusuk jantung. Jika saja sebuah pandangan dapat membunuh, mungkin aku sudah terbunuh ratusan kali olehnya. Kepalaku harus mendongak ke atas untuk membalas tatapannya. Dilihat dari dekat, wujudnya benar-benar besar. Kakiku sampai gemetar tatkala melihatnya dari jarak sedekat ini.

Monster itu membalikkan badannya, ia mengembangkan paru-parunya ke depan. Pose ini! Pose yang sama dengan serangan yang barusan ia lakukan pada Dimas. Ia akan menyerangku dengan gumpalan angin dari mulutnya!

Mataku secara refleks melihat ke kiri dan kanan, mencoba mencari reruntuhan atau puing untuk berlindung. Namun percuma. Jaraknya terlampau jauh dan aku tidak yakin dapat mencapainya sebelum monster ini menghajarku. Instingku menggerakan lengan kanan tepat ke arah paruh burung jelek itu. Daripada melarikan diri dengan persentase keberhasilan yang rendah, atau pasrah dengan keadaan. Lebih baik kugunakan kesempatan ini untuk melawan balik dengan Esze milikku.

Akan kugunakan mantra 'Vitr Blast', teknik ini adalah penyempurnaan dari 'Vitr Bris' yang kupakai sebelumnya. Teknik ini memiliki jangkauan yang lebih luas serta kerusakan yang lebih parah. Aku pernah merapal mantera itu dengan viglet tua bekas Almira, dan hasilnya luar biasa. Aku tidak berani membayangkan efek yang akan dihasilkan jika aku merapal mantera itu dengan Viglet Harapan yang ada di tanganku ini.

"Rasakan ini! Vitr Blast!" teriakku dengan kencang.

Hanya selang beberapa detik saja, ujung tongkatku sudah memanifestasi gumpalan angin yang cukup kecil yang hanya sekepalan tangan saja. Dalam kedipan mata berikutnya, aku langsung melepas energi magis ke atas. Bersamaan dengan itu monster burung hantu yang telah menyimpan energi anginnya dalam paruhnya, melepaskannya ke arahku.

Serangan Esze anginku dan miliknya saling beradu di udara. Menciptakan gelombang udara sekaligus gelombang kejut ke segala penjuru ruangan. Membuatku harus terpelanting sangat jauh ke belakang.

"Akh...! Sial!" rutukku ketika punggungku menabrak batu yang permukaannya kasar. Badan ini pun tergolek di atas tanah.

Tenagaku mendadak habis sewaktu ingin bangkit. Aku hanya bisa mengangkat setengah badanku dengan bertumpu pada siku. Seisi ruangan ini dipenuhi debu tebal yang menghalangi mata ini untuk melihat keadaan di sekitar. Gelombang kejut yang tercipta benar-benar besar, kemungkinan tubuh monster itu turut terpental, karena aku sempat mendengar suara benturan yang keras tadi.

Aku harus segera pindah dari sini. Bisa gawat kalau monster itu melihatku tidak berdaya lebih dahulu, bisa-bisa ia melancarkan serangan lagi sebelum aku sempat berdiri.

Mendadak telingaku mendengar suara langkah kaki yang datang dari balik debu. Kemudian sosok itu menunduk dan mengulurkan tangannya padaku dengan raut khawatir yang sangat kukenal.

"Dimas! Kau baik-baik saja?" seruku dengan girang setelah menyadari teman masa kecilku lolos dari serangan monster.

"Lihat dirimu sekarang. Lebih baik kau khawatirkan dirimu sendiri," jawabnya sembari membantuku berdiri. Entah mengapa melihat sosoknya dalam keadaan baik-baik saja membuat kekuatanku seolah terisi kembali. "Dasar bodoh! Kenapa kau malah kembali lagi? Kalau saja kau tadi mengikuti rencana, kita mungkin sudah bisa kabur dari sini."

"Maafkan aku. Tadi aku takut sekali! Kupikir kau tidak selamat setelah monster burung hantu itu menyerangmu dengan magi."

"Sudah kubilang jangan menganggapku remeh!" celetuknya sembari menyentil dahiku. "Aku berhasil menghindar di saat-saat terakhir. Tapi aku malah terpental ke arah tepi sungai kecil itu. Untung saja aku tidak pingsan! Di saat aku ingin bangkit, kau dengan bodohnya menerjang langsung ke arah si Joni."

"Joni?" tanyaku dengan kebingungan.

"Aku menamai burung jelek itu begitu. Sepertinya dia takkan akrab dengan burungku si Kevin," jawabnya dengan wajah datar.

Aku terperangah. Beberapa detik kemudian tertawa lebar hingga aku harus menutup mulut dengan tangan, sewaktu paham dengan apa yang dia katakan. "Apa-apaan itu? Bisa-bisanya kamu bercanda di saat seperti ini."

"Tidak ada salahnya bercanda selama kita masih hidup."

"Maksudmu kita akan mati di sini? Begitu? Ini tidak lucu!"

"Tidak ada yang menyuruhmu tertawa. Sekarang tinggal kita pikirkan cara lain untuk pergi dari sini!"

"Betul, kita harus pergi sece--."

"KAAAAAAAAAAAAAAAAAAAKHHHHHHH!!!!!"

Mendadak muncul hembusan angin kuat yang entah dari mana datangnya, memuput debu-debu yang memenuhi seisi ruangan. Aku menyipitkan mata guna menghindari masuknya debu atau partikel kecil ke dalam mata. Bertepatan dengan hilangnya debu, penglihatanku menjadi sangat jelas. Di atas udara, monster burung hantu terbang tinggi hingga mencapai setengah dari tinggi ruangan. Pandangan matanya ia tancapkan pada kami. Monster itu mengepakkan keempat sayapnya miliknya yang besar, dan menciptakan hembusan angin tanpa henti ke sekeliling.

Dimas tertawa getir. "Huh, perasaan aku hanya melawan prajurit Elvian di mode tutorial. Lalu kenapa kita langsung melawan bos saat baru saja menekan tombol New Game?"

Aku paham dengan ucapan Dimas. Itu semua adalah istilah di video game yang ada di dunia kami sebelumnya. Jujur, aku juga tidak paham kenapa kami harus berhadapan dengan monster kuat seperti ini, di saat kami baru saja memulai perjalanan.

"Kau ada rencana lagi?" tanyaku dengan masih menatap pada sosok yang terbang di atas. Tidak ingin lengah sedetik pun yang mungkin akan mengakibatkan kami celaka.

"Memangnya ada pilihan selain melawan?"

"Kau benar juga."

"Kita tidak perlu mengalahkannya, cukup membuatnya tidak bisa bergerak lalu pergi dari sini. Anggi, gunakan Esze-mu lagi untuk menjatuhkan si Joni dari atas! Aku akan mengurusnya saat bisa menjangkaunya."

"Baik. Ayo kita lakukan!"

***

Waktu pun berlalu, hari 'kan berganti dengan malam. Langit senja lembayung tengah membaur dengan langit gelap bertabur bintang dan debu kosmik di angkasa. Menciptakan panorama indah yang takkan puas dilihat hanya sekali. Kirana jingga mentari menyapu rata Kota Arnest hingga ke Pegunungan Lintang Utara.

Sembari berdiri gagah di atas puncak salah satu gunung, dua ksatria kavaleri mengamati cermat pemandangan Kota Arnest yang berada di bawah. Salah satu ksatria berbadan kekar dengan kepala botaknya yang sanggup memantulkan kilau matahari dari ufuk barat. Sementara yang lain memiliki badan yang sedikit kurus dibandingkan ksatria botak, namun tubuhnya cukup atletis. Kedua orang itu adalah Indra dan Erik, rekan senasib Anggi yang menjadi anggota Ksatria Elit Kerajaan Lurivia.

'Si Botak' Indra turun dari kudanya dan memandangi pesona Kota Arnest kala senja. Kedua matanya tampak terpukau dengan pemandangan yang ada di hadapannya.

"Jadi ini Kota Arnest itu? Menakjubkan!" serunya dengan nada yang kalem. Raut wajahnya datar sehingga tidak ada yang menyangka pria itu tengah tenggelam dalam ketakjubannya sendiri.

"Ini pertama kalinya aku melihat ini," sahut Erik 'Si Jawa' yang masih berada di atas kuda miliknya.

Baik Indra maupun Erik sama-sama mengenakan baju zirah yang tampak mewah dengan segala atribut militer. Begitu pula dengan kuda yang mereka tunggangi, dua hewan itu turut memakai baju zirah khusus kuda perang yang befungsi sebagai perlindungan dari serangan musuh. Digenapi dengan kuda perang, penampilan dua ksatria itu tampak elegan dan gagah. Dalam waktu setengah tahun ini, mereka mampu menjadi anggota ksatria terhormat yang diidam-idamkan oleh seluruh anak laki-laki di Lurivia.

"Kita sudah sampai sejauh ini. Aku harap Anggi dan yang lainnya benar berada di sini," ujar Indra sembari naik ke atas pelana kudanya. Kemudian pria botak itu memacu kudanya menuruni sisi landai gunung dengan kecepatan sedang diikuti oleh rekannya di sampingnya.

"Aku tidak percaya kita meninggalkan masa depan yang cerah di Ksatria Elit demi hal ini. Kupikir akhirnya aku bisa hidup enak di dunia sialan ini, tak kusangka aku akan membuangnya begitu saja," gerutu Erik dengan muka sebal.

"Memang sangat disayangkan. Tapi apa kau tega jika mengorbankan temanmu sendiri?" balas Indra dengan senyum tipis. Lelaki itu kemudian memandang ke arah rekannya. "Kalau kau tidak mau membuangnya, kenapa kau tidak tetap tinggal saja?"

"Kau bodoh? Kita sudah berteman sejak lama, kita akan terus bersama sampai kapan pun. Lagipula, siapa yang bisa kupercayai di dunia konyol ini? Satu lagi. Kalau aku tetap tinggal, sudah pasti seluruh Ksatria Elit akan mencurigaiku atas kepergianmu yang tanpa kabar. Mungkin juga aku akan disiksa sampai buka mulut."

Indra tertawa ringan. "Kalau begitu kau telah membuat keputusan yang tepat. Jangan kau sesali itu!"

Erik menghembuskan napas panjang. "Kesampingkan hal itu! Apa kau yakin bocah-bocah itu berada di sini?"

"Sepertinya begitu. Kau ingat monster laba-laba yang kita temui di padang rumput tadi?"

"Ah, monster jelek yang kubelah dua dalam sekali tebas itu? Kenapa memangnya?"

"Monster itu tidak dalam kondisi prima, beberapa bagian kakinya patah. Jadi itu sebabnya kita berhasil membunuhnya dengan mudah. Aku curiga kalau yang membuat luka itu adalah Anggi dan yang lainnya," jelas Indra dengan wajah serius. Ia menggaruk-garukkan dagunya ketika berpikir dalam tentang sesuatu. "Selain itu aku juga yakin mereka berhasil lolos dari monster itu."

Erik terdiam beberapa saat, ia sudah mulai mengerti apa yang Indra jelaskan dan mulai mendapat beberapa kemungkinan di dalam kepalanya. "Anggap saja mereka selamat dan menuju kemari. Bagaimana kita mencari mereka? Aku tidak yakin kaum telinga panjang itu akan berbaik hati menyilakan tiga manusia masuk ke kotanya. Eh, mungkin dua karena Si Anggi itu adalah Haier-Elvian. Tunggu, bukannya itu membuatnya jadi dua setengah manusia? Ah, bodo amat! Pokoknya begitulah!"

"Itu yang kupikirkan sejak tadi. Mungkin saja mereka masih ada di hutan pinggir kota atau sekitarnya. Aku ragu mereka berhasil masuk ke dalam kota Elvian."

Setelah beberapa menit meniti jalan landai, keduanya kini tiba di kaki gunung. Lansekap di sekitar mereka mulai berubah, yang tadinya dikelilingi pohon cemara dan pinus, kini dihadapkan oleh pepohonan Hanarusa serta permukaan tanah yang dipenuhi akar-akar pohon raksasa.

Medan seperti ini mungkin sulit dilalui dengan berjalan kaki. Tapi tidak dengan berkuda, apalagi dengan kuda terbaik yang dipilih sebagai tunggangan Ksatria Elit. Kuda-kuda mereka mampu meloncat tinggi melewati akar-akar pohon raksasa yang melintang, serta memiliki stamina dan daya tahan yang sangat luar biasa.

"Harus kuakui meski medan ini sulit, kuda ini mampu melewatinya dengan mudah. Aku tak bisa membayangkan jika harus berjalan kaki melewati hutan ini," kata Erik tampak kesenangan di atas kuda yang tengah melompati akar pohon.

"Kalau begitu kita telah memperpendek jarak dengan Anggi dan yang lain. Seharusnya kita dapat bertemu dengan mereka sebentar lagi," jawab Indra. Ia mengerlingkan matanya ke sekitar. "Selain itu, apa kau menyadari keanehan di sini?"

"Tentu, aku tidak buta. Entah mengapa di segala penjuru hutan ini tiba-tiba keluar air dari tanah. Kalau terus begini kita cepat menemukan mereka sebelum kita tenggelam."

Hari sudah mulai gelap. Cahaya jingga sang mentari sudah tipis sekali dan nyaris menghilang di angkasa. Ketika malam datang, hutan ini memiliki fenomena yang cukup unik. Air-air akan keluar dari dalam tanah dan membanjiri Hutan Hanarusa. Belum ada yang tahu sebab pasti fenomena alam ini. Para Elvian tidak peduli dengan hal logis dan ilmiah, sementara manusia yang selalu tertarik pada ilmu pengetahuan dilarang memasuki kawasan ini. Itulah alasan mengapa tidak ada yang tahu pasti fakta dibalik keajaiban ini.

Tidak butuh waktu yang lama, keduanya telah sampai di pinggir Kota Arnest. Untuk sesaat mereka berhenti guna mengamati keadaan di sekitar Kota Arnest yang dibangun di atas pepohonan. Mereka termasuk beruntung kali ini, karena tidak berpapasan dengan Elvian. Kaum Telinga Panjang itu lebih memilih berada di atas pohon ketimbang berada di hutan yang akan banjir.

"Bagaimana ini? Seisi hutan akan banjir, kita tidak bisa terus di sini!" pekik Erik yang sudah mulai panik. Air sudah mulai menggenang hingga tiga puluh sentimeter.

Indra mengamati ke sekelling, ia menemukan sebuah batang pohon raksasa yang terjuntai ke bawah. Di atas pohon Hanarusa itu, terdapat sebuah pondok kayu yang cukup besar, namun nyaris roboh dengan atap yang sudah rusak. Jelas sekali bahwa tempat itu sudah ditinggalkan.

"Lihat itu!" ujar pria itu sembari menunjuk ke atas. "Batang pohon itu cukup besar, mungkin kita bisa naik ke atas sana dan menambatkan kuda di gubuk itu. Kita lanjutkan pencarian dengan jalan kaki. Setelah kuperhatikan, pohon-pohon raksasa ini memiliki batang yang saling berhubungan. Ada juga beberapa jembatan kayu di antara pohon. Harus kuakui, konsep kota di atas pohon sangatlah menakjubkan!"

"Lalu kita-"

*DRRRRRRRR!!!!

Tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh yang menggema di angkasa. Tanah bergetar hebat seakan hendak merobohkan apa pun yang ada di permukaan. Air yang menggenangi hutan beriak keras bak bir dalam gelas yang berada di tangan para pemabuk. Burung-burung terbang dari dahan pohon yang dihinggapi. Hewan-hewan berlarian ke sana-kemari tanpa arah guna menyelamatkan diri. Sementara Indra dan Erik hanya bertahan di atas akar pohon raksasa bersama kudanya yang turut panik.

Namun guncangan itu tak berlangsung lama. Setelah keadaan membaik, keduanya saling melemparkan pandangan.

"Apa itu tadi?" tanya Erik yang kebingungan.

"Lihat di atas langit!" seru Indra sembari menunjuk ke atas.

Tepat di atas langit, seekor burung berukuran sangat besar dengan dua pasang sayap raksasa terbang rendah di atas pepohonan. Indra memperkirakan, ukuran burung itu setinggi puluhan meter karena terlihat besar meski jaraknya cukup jauh. Ciri-ciri fisik monster itu nyaris mirip dengan burung hantu yang ia kenal dari dunia sebelumnya. Jika mengesampingkan soal ukuran dan dua pasang sayap yang berada di tubuhnya. Ia juga memiliki sepasang mata yang besar, meskipun kini salah satu matanya hancur dan berdarah.

Monster itu terbang melewati dua ksatria di bawahnya. Kepakan sayapnya yang besar dan lebar, mengakibatkan hembusan angin kuat yang nyaris menggoyahkan kuda perang dari posisinya. Suara jeritan monster itu melengking kencang di angkasa, membuat siapa pun yang mendengarnya merasakan rasa ngeri yang hebat.

Burung hantu itu terbang mendekati Kota Arnest dan mengitarinya selama beberapa detik. Penduduk Kota Arnest menghentikan kegiatan mereka, beberapa orang keluar rumah karena penasaran dengan apa yang terjadi di luar. Semua orang yang berada di kota melihat monster itu dengan ketakutan. Burung hantu itu lalu terbang tepat di atas Kota Arnest.

Sesaat kemudian, hal yang paling ditakutkan seluruh orang pun terjadi. Monster burung hantu itu mengeluarkan gumpalan angin dari mulutnya ke arah kota. Energi magis itu menghantam tepat ke beberapa pohon Hanarusa dan membuatnya tumbang. Padahal di atas pohon itu adalah pasar yang sarat akan penduduk. Teriakan pun menggema di mana-mana. Orang-orang yang sebelumnya berada di sana, kini tunggang-langgang menjauh untuk menyelamatkan diri. Beberapa orang yang kurang beruntung, tewas seketika dengan tubuh yang terkoyak ketika terkena serangan monster secara telak.

Suasana di kota menjadi kacau. Penduduk Kota Arnest mulai berlarian keluar kota. Karena akses jalan hanya berupa batang pohon dan jembatan kayu, mereka pun saling berebutan dan juga berdesakkan. Saat kondisi kritis, sifat egois dari setiap orang pun muncul. Para penduduk tak ragu untuk saling sikut atau menginjak-injak yang lain demi menyelamatkan dirinya. Tak sedikit juga orang-orang yang terjatuh dari atas pohon yang tinggi.

Kondisi makin mencekam tatkala monster burung hantu melancarkan serangan kedua. Kali ini sasarannya adalah kawasan pemukiman yang ramai. Tiga hingga empat pohon Hanarusa pun tumbang. Banyak orang yang tubuhnya tercerai-berai karena terkena serangan langsung energi magis. Meskipun energi itu hanya berupa angin, namun kekuatannya sangat besar hingga mampu menumbangkan kekokohan pohon Hanarusa.

Kota Arnest kini kacau balau. Suara teriakan, tangisan pilu, dan minta tolong terdengar di mana-mana. Tak ada seorang pun yang memiliki hati akan sanggup melihatnya. Apalagi hati seorang ksatria yang telah terpatri dalam kalbu untuk melindungi orang lain.

"Kita harus menolong mereka," ucap Indra yang melihat kekacauan itu dengan jelas dari kejauhan.

"Tunggu! Mau apa kau?" cegah Erik dengan menahan tangan rekannya yang ingin melesat menuju Kota Arnest.

"Jangan hentikan aku! Ada banyak orang yang membutuhkan bantuan!" teriak Indra yang tampak emosi.

"Kenapa di saat ini kau malah tidak bisa berpikir jernih? Coba pikir lagi, Tolol! Para Elvian pasti akan curiga jika ada dua ksatria manusia berzirah yang tiba-tiba muncul di kota mereka! Lagipula di kota itu pasti ada tentara Elvian, serahkan hal ini pada mereka. Selain itu, lihat ke tempat monster itu berasal!" tunjuk Erik ke arah Pohon Suci Hanarusa Raksasa yang memiliki ukuran lebih besar dari yang lainnya. Kini pohon itu nyaris tumbang dengan akar yang nyaris tercabut dari tanah. "Kau tadi lihat sebelah mata monster itu hancur? Aku sangat yakin ada seseorang yang menghancurkan mata monster itu. Kemungkinan itu Anggi dan yang lain."

"Maksudmu Anggi berada di sana?" balas Indra dengan tidak percaya.

Erik mengangguk kecil. "Sepertinya begitu. Hanya tebakanku saja, alasan mengapa monster itu mengamuk adalah karena ada seseorang yang menghancurkan matanya. Jadi lebih baik tinggalkan masalah di sini untuk tentara Elvian. Sementara kita menjemput Anggi dan yang lain. Bukankah kau yang bilang sendiri kalau kau tak mau meninggalkan teman?"

Setelah agak tenang, Indra mulai berpikir jernih. "Baiklah. Kita akan memeriksa tempat itu dahulu, kemudian kembali kemari menolong orang-orang jika tak ada yang membantu."

"Setuju."

"Kalau begitu, ayo!"