Chapter 21 - Chapter 21 "Hari Kepulangan"

Sekilas aku melihat telapak tangan Pangeran Keylan yang diulurkan. Begitu besar seakan mewakili marabahaya yang akan ia berikan padaku. Sejauh ini, kupikir menjadi seorang pemburu binatang mistis sudah merupakan pekerjaan yang berbahaya.

Ternyata benar perkataan mereka. Di atas langit masih ada langit. Dalam perjalanan mencari kristal roh, pasti akan muncul berbagai bahaya yang akan datang. Bisa saja aku tersesat saat pencarian, menghadapi monster raksasa yang sangat kuat, atau harus merebut kristal roh dari tangan penguasa negeri. Bahkan yang lebih parah lagi, aku mati di awal perjalanan.

Membayangkan semua kemungkinan itu saja membuatku merinding. Jika saja masih pengecut seperti dulu, mungkin aku langsung pingsan mendengarnya.

Sampai detik ini pun ... rasa takut masih sering menyelimutiku. Seakan keberanian mengendap di dasar hati dan takkan pernah muncul. Jelas aku ragu-ragu mengambil keputusan. Kalau saja bisa, aku ingin memilih tak dihadapkan dengan perkara ini dan lebih suka bermain kejar-kejaran di hutan dengan tentara Elvian. Hidup seperti itu sudah cukup untukku.

Namun hati ini ... masih tetap merasa bersalah karena menyeret teman-temanku kemari. Walau mereka mengatakan sudah mulai betah tinggal di sini. Rasa rindu dengan rumah sudah pasti takkan bisa dilupakan. Orang-orang itu hanya berpura-pura kuat dan menahannya saja.

Aku sangat paham perasaan mereka. Karena aku pun demikian.

"Ya, tentu saja," jawabku seraya menyambut uluran tangan Pangeran Keylan. "Entah aku bisa melaluinya atau tidak, tapi akan kucoba semampuku."

Pria itu tersenyum simpul. Sebuah senyum hangat dan tatapan penuh perhatian yang sungguh bisa meluluhkan hati perempuan. Dalam hati aku bersyukur karena masih memiliki keinginan untuk kembali ke dunia asal. Bila aku penduduk asli Juiller, bisa saja aku jatuh hati dan tergila-gila pada pria tampan ini. Sungguh laki-laki penakluk wanita.

Hari sudah semakin malam. Cahaya lilin berkedip redup menerangi deretan rak buku tinggi yang menjulang ke langit-langit berbalok kayu. Debu menyelimuti sampul kulit buku-buku kuno, menciptakan lapisan tipis yang seolah menyimpan rahasia masa lalu. Aroma kulit, tinta, dan kayu lapuk bercampur menjadi satu, menciptakan atmosfer mistis yang menyelimuti ruangan.

"Ayo! Sudah waktunya kita makan malam!" ajak Pangeran Keylan.

 

========================

 

Hari-hari berganti dengan cepat bak membuka halaman buku. Tidak terasa sudah dua minggu sejak aku berada di kota Ruvia. Penyembuhanku berjalan dengan lancar. Luka-luka fisik yang kuterima kini hilang seutuhnya tanpa meninggalkan bekas. Tubuhku sepertinya juga mulai membaik. Tidak hanya penyembuhan secara fisik, secara mental juga.

Pangeran Keylan sering mengajakku mengobrol dan bercanda, terkadang dia juga mengajakku berkeliling kota. Berkat dirinya, aku bisa melupakan trauma dan kenangan menyakitkan. Menggantinya dengan kenangan baru yang menyenangkan.

Pelayan pribadi pangeran yang merawatku ketika siuman, Airi menjadi teman baruku. Meskipun berbeda ras, kami dengan cepat akrab. Mungkin karena kami sama-sama perempuan. Airi adalah orang yang cukup menarik, dia tidak pendiam namun juga tidak banyak bicara. Gadis ini memiliki pengetahuan yang banyak mengenai tumbuhan herbal. Sejak kecil ia sudah dilatih oleh neneknya yang seorang dokter handal di kota ini membuat berbagai ramuan. Tak ayal, semua ramuan yang ia beri sangat manjur pada proses penyembuhanku.

Hari ini pun tiba. Hari di mana aku akan kembali ke Glafelden.

Meskipun menyenangkan bersama dengan mereka, tempat ini tetap bukan rumahku. Kota Ruvia bukanlah tempatku seharusnya. Aku harus kembali pada rekan-rekan berburuku, mereka pasti khawatir. Apalagi Dimas, ia pasti memiliki keinginan untuk menyusulku kemari. Tapi jika sampai hari ini aku belum mendengar kabar tentang penyusup manusia di kota Ruvia, berarti seseorang dari Kelam Malam menghentikan ide gilanya.

Semoga saja begitu!

Di saat hati ini sudah tenang, aku tak mau sesuatu terjadi pada Dimas dan membebani pikiranku lagi. Entah mengapa aku jadi tak sabar untuk kepulanganku. Matahari pagi baru muncul di ufuk timur, cahayanya menyelusup ke dalam kamarku dan jatuh di lantai. Memberi ruangan ini cahaya penerangan yang cukup untukku berias.

Aku baru saja selesai mandi dan mengganti baju dengan pakaian yang disediakan. Sebuah tunik belang biru-putih berenda, dan jubah panjang berwarna cokelat dari beludru. Pangeran Keylan menyiapkan beberapa perhiasan sebelumnya, tapi aku tolak dengan alasan terlalu mencolok. Tanganku tengah menyisir rambut panjangku dengan perlahan di depan meja rias.

Tiba-tiba datang sebuah suara ketukan dari pintu, aku bergegas menghampiri dan mendapati Pangeran Keylan berdiri di depan.

"Sudah siap?" tanya pria itu.

"Tunggu sebentar lagi!" jawabku pelan.

Kemudian menyilakan pria itu masuk ke dalam dan menunggu di atas sofa. Ngomong-ngomong, ruangan seluas 10x8 meter ini adalah kamar pribadiku sendiri. Pangeran memberiku salah satu ruangan di mansionnya secara percuma. Kamar ini begitu besar dan diisi banyak perabotan mewah yang berkilau. Jika dibandingkan dengan markas 'Kelam Malam', tempat itu mirip dengan tumpukan sampah. Pangeran Keylan juga memberiku makan tiga kali sehari. Tentu saja dengan makanan berstandar 'tinggi'. Tak seperti yang biasa kukonsumsi di Glafelden. Tak hanya itu, pria itu juga mengutus salah satu pelayannya untuk mengurusi keseharianku layaknya putri bangsawan.

Serius, ini adalah pertama kalinya dalam hidupku diperlakukan seistimewa ini!

Bahkan aku tak pernah merasakannya di kehidupan lamaku. Meninggalkan kehidupan seperti ini memang berat. Tapi aku tak bisa menumpang di sini selamanya.

Kulangkahkan kaki kembali menuju meja rias dan duduk di atas kursi kecil. Di depanku ada sebuah cermin besar yang bisa menangkap bayangan seisi kamar. Jadi aku bisa melihat apa pun yang terjadi di belakang punggungku. Termasuk Pangeran Keylan yang menatapku lembut dari atas sofa.

"Tidak terasa sudah saatnya kau pergi," celetuknya.

Aku melanjutkan menyisir rambut dengan perlahan, menyelaraskan dengan nada bicara pria itu. "Tinggal di sini sungguh menyenangkan. Kenangan ini akan kuingat selalu. Terima kasih sudah menerima diriku di sini, Pangeran!"

Pria itu menopang dagu di atas sofa sembari berbaring di atasnya dengan santai. "Hei, bukankah aku sudah memberitahumu untuk tak terlalu formal kepadaku?"

Badanku berbalik ke arahnya dan memberi senyum tipis. "Tentu saja aku tak bisa melakukan itu. Aku hanya seorang penyusup di wilayahmu, sementara Anda adalah pangeran negeri ini yang pernah menyelamatkanku. Walau aku bukan berasal dari kalangan bangsawan, setidaknya aku tahu tata krama."

Setelah itu aku kembali menghadap meja rias. Rambutku yang panjang sudah disisir dengan rapi, saatnya memberi sentuhan terakhir. Di meja rias ini tersedia berbagai macam kosmetik dengan lengkap. Mulai dari lipstik, pensil alis, pelentik bulu mata, dan lain-lain. Aku tidak tahu nama alat yang lain, aku juga tak bisa membedakan kosmetik satu dengan yang lainnya. Meskipun aku wanita, aku tipe orang yang tidak suka berdandan dan lebih suka tampil apa adanya. Mungkin itu pula yang membuatku tidak populer di sekolahku sebelumnya.

Benda yang kucari dari meja rias ini tidak lain adalah sebuah ikat rambut. Setelah memeriksa sejenak, aku menemukannya di dalam laci kecil dari banyaknya laci di meja rias ini. Ada dua buah ikat rambut berenda, yang satu berwarna ungu dan yang lainnya putih polos. Tentu aku memilih yang ungu, karena itu adalah warna favoritku sejak kecil.

"Sepertinya kau lebih baik memilih yang berwarna putih. Itu akan serasi dengan kemejamu yang belang biru-putih," serunya secara tiba-tiba.

Aku menoleh ke arahnya. Pria itu hanya mengangkat kedua bahu dan memberi senyum lebar. Bila itu keinginannya, ya sudah kuturuti saja. Lagi pula warna putih tidak buruk juga.

Setelah semuanya siap, aku dan Pangeran Keylan bergegas keluar kamar. Langkah sepatu kami terdengar mengetuk-ngetuk di koridor yang luas dan lenggang ini. Tak beberapa lama kemudian, aku tiba di ruang tamu yang langit-langitnya sangat tinggi, di mana lampu kristal gantung dan lukisan artistik menghiasinya. Selain sofa panjang yang empuk dan karpet beludru yang digelar di atas lantai, ruangan ini memiliki furnitur yang kualitasnya baik.

Jujur, aku tidak percaya dapat tinggal di mansion super mewah seperti ini. Memang disayangkan meninggalkan tempat, tapi aku tak terlalu bersedih. Karena bisa bertemu dengan rekan-rekan berburuku nanti. Semoga saja mereka tidak terlalu mengkhawatirkanku.

Airi yang baru saja keluar dari koridor berlawanan denganku, turut bergabung denganku. Dengan dikawal oleh selusin penjaga, kami bertiga berjalan keluar mansion beriringan. Pangeran Keylan berkata bila ia akan mengantarku sampai ke Sungai Kelan yang menjadi perbatasan antara wilayah manusia dan Elvian.

Setelah melewati beberapa sroth dan menuruni ratusan anak tangga, kami tiba di sebuah istal yang terletak di dekat kamp militer kota. Ini bukan tempat yang baru untukku. Karena sebelumnya ketika dikejar pasukan Elvian, aku pernah bersembunyi di sebuah gudang di kawasan ini.

Pangeran Keylan tengah berbicara dengan seseorang dari militer dekat pintu istal. Aku buta pada pangkat dan gelar kemiliteran Elvian. Namun kelihatannya orang ini adalah petinggi militer jika melihat pada banyaknya lencana serta atribut yang tersampir di seragamnya. Sementara aku dan Airi menunggu di bangku panjang di luar istal.

"Sangat disayangkan kau harus pergi sekarang," celetuk Airi.

"Mau bagaimana lagi? Tempatku bukan di sini."

"Andai saja hubungan Elvian dan manusia tidak seburuk seperti saat ini. Mungkin kita bisa bebas mengunjungi satu sama lain," tambah gadis itu. Matanya menatap jauh ke atas pepohonan raksasa. "Dari dulu aku selalu penasaran dengan kota manusia. Tapi peraturan tak tertulis di seluruh negeri mengatakan bila kami harus menjauhi manusia. Siapa pun yang melanggar pasti akan dihukum dan diasingkan selamanya."

"Di kotaku juga sama. Stigma tentang 'musuh manusia' pada Elvian sudah mengakar dengan kuat dan menyebar luas. Andai saja ada masa di mana kita bisa hidup berdampingan dan berhubungan baik."

"Aku yakin masa depan itu ada," ujar Airi. Gadis itu menoleh ke arahku dan mengangkat kedua bahunya. "Meski aku tidak tahu kapan."

Di tengah percakapan, tiba-tiba saja telingaku mendengar suara derap sepatu kuda. Pangeran Keylan yang menunggangi kuda putih memimpin kelompok kavaleri kecil, berhenti di depanku. Sosoknya yang tampan dan kuda putih yang gagah membuatnya tampak seperti pangeran dalam serial film Disney. Momen seperti ini biasanya adalah hal yang ditunggu-tunggu oleh para gadis yang memimpikan cerita romantisnya.

"Ayo kita pergi, Anggi!" ujar Pangeran Keylan yang tengah menunggangi kudanya dengan gagah.

"Tapi aku tak bisa mengendarai kuda."

"Tenang saja. Aku akan menjagamu."

Pangeran Keylan mengulurkan tangannya, dan langsung menarikku ke atas. Aku yang terkejut hanya bisa berteriak kecil. Pangeran Keylan langsung menangkapku dan menempatkanku di depannya. Jarak di antara punggungku dan dadanya hanya setipis satu helai rambut. Aku bisa merasakan detak jantung dan napasnya di belakang leherku. Aku yang bingung harus berbuat apa, hanya bisa memegangi rambut kuda dengan gemetar. Sedetik kemudian kuda yang kunaiki langsung bergerak.

Ini adalah pertama kalinya aku naik di atas punggung kuda. Sensasinya benar-benar berbeda jika dibandingkan dengan naik delman. Menunggangi kuda benar-benar menakutkan. Sangat tidak stabil dan selalu berguncang keras. Aku takut bila terjatuh dan terinjak kuda di belakangnya. Di sisi lain, ini menjadi pengalaman baru untukku.

Sekitar setengah jam berlalu menunggangi kuda, kami tiba di depan sebuah jembatan berbatu. Jembatan besar ini menghubungkan dua wilayah di atas Sungai Kelan yang beraliran deras. Kebanyakan pengguna jembatan ini adalah para saudagar yang menjual dagangannya ke wilayah Elvian. Meskipun kaum telinga panjang itu bersikeras mengatakan pada rakyatnya untuk menjauhi manusia, kenyataannya mereka tetap bergantung pada kami.

Barang-barang seperti perabotan rumah tangga, bahan baku pakaian, makanan dan minuman adalah hal yang biasa diperdagangkan. Begitu pun dengan manusia. Sehingga membuatku percaya bahwa di dunia mana pun kita tidak bisa hidup sendirian.

Pangeran Keylan melompat dari kuda dan membantuku untuk turun. Pasukan Elvian tidak bisa lebih jauh lagi mengantar, karena jembatan ini adalah perbatasan kedua wilayah. Baru saja aku akan berterima kasih pada Pangeran Keylan, tiba-tiba saja ada suara memanggilku.

"Anggi ....!!"