Menghadapi petualangan besar yang dihadapi nanti, aku memutuskan untuk berlatih Esze dengan Almira. Entah apa yang akan kulalui nantinya, yang pasti aku tidak bisa mengharapkan jalan mulus tanpa hambatan. Karena hal itu tidak akan pernah terjadi di kehidupan nyata.
Bisa saja nanti aku kehilangan jalan saat mencari petunjuk, atau gagal mendapat kristal roh walau sudah berada di depan mata, atau bisa jadi aku harus bersaing dengan orang lain yang juga menginginkannya. Kemungkinan dari hal yang terakhir memang kecil karena informasi itu terbatas, tapi siapa tahu di luar sana ada orang yang berambisi sama sepertiku. Apalagi Kristal Roh Harapan mampu mengabulkan apa pun meskipun hal itu mustahil.
Aku masih belum bisa memikirkan kemungkinan terburuk lainnya. Bahkan aku tidak berani membayangkannya sama sekali. Biarlah waktu yang membuat mentalku siap untuk menerimanya.
Sebelumnya aku telah mengatakan tentang kristal roh pada teman-temanku yang masih berada di kota ini seperti Shella, Vian, dan Vani. Mereka tampak sedikit terkejut mendengarnya. Cahaya di mata mereka perlahan menyala kembali saat hampir padam, namun ketiga orang itu tak seantusias yang kupikirkan.
Tentu aku tahu mengapa mereka seperti itu. Baik Shella, Vian dan Vani sama-sama telah terikat dengan kota ini. Masing-masing dari mereka sudah memiliki orang yang disayangi di dunia ini. Kembali ke dunia asal itu artinya harus meninggalkan semuanya.
Tentu saja itu akan membuatmu kebingungan di antara dua pilihan. Kembali atau tinggal.
Aku pun demikian. Semua rekanku di Kelam Malam adalah orang terdekatku yang saat ini kumiliki di sini. Berpisah dengan mereka tentu akan menyedihkan. Walau mungkin ada kejadian atau sesuatu yang buruk, tetap saja waktu yang kulalui bersama mereka begitu menyenangkan. Mungkin aku akan merindukan cacian dari mulut Igresti, atau tinjuan tanpa belas kasih milik Grussel setelah berpisah nanti. Memang tidak masuk akal sih, tapi perasaan itu benar apa adanya.
Tapi ... keinginanku untuk kembali masih sedikit lebih besar. Aku sangat merindukan kedua orang tuaku. Mereka adalah orang yang selalu menyemangatiku setiap waktu. Pada saat aku dijahili di sekolah misalnya, mereka akan datang ke sekolah dan membawa masalah itu ke kepala sekolah. Rasa kasih dan perhatian yang mereka berikan membuatku mampu melewati masa-masa kelamku.
Bahkan pernah suatu ketika aku pulang dalam keadaan seluruh tubuh basah kuyup. Bukan karena berenang di sungai atau bermain hujan, tapi karena teman-temanku menyiramkan seember air bekas pel. Ayah adalah orang yang paling marah dan langsung menelepon wali kelasku.
Ia bahkan terang-terangan memarahi guru dan teman-teman yang merundungku di sekolah, kemudian mengancam akan melaporkan sekolah ke Dinas Pendidikan. Harus kuakui sikapnya cukup kasar, tapi aku merasa tenang. Namun hal itu tidak merubah sikap teman-teman dan kakak kelasku. Mereka tetap saja merundungku bukan dengan fisik, melainkan secara mental. Misalnya memanggil dengan nama yang kasar, menyuruh-nyuruhku, atau mempermalukanku di depan banyak orang.
Serius ... jika saja tidak ada Dimas yang selalu berada di sisiku, mungkin aku akan berpikir untuk bunuh diri.
Di duniaku sebelumnya aku juga memiliki seorang adik laki-laki berusia 7 tahun. Jarak usia di antara kami cukup jauh. Hal itulah yang berusaha menjadikanku sebagai panutan. Meski pun pada akhirnya tidak ada satu pun dariku yang pantas ditiru, dia tetap menghormati dan mengaggumiku sebagai kakaknya. Hubunganku dengannya terbilang cukup dekat. Terkadang ia sering memanggilku dengan kata-kata lucu yang membuat gemas.
Kalau bisa aku ingin bersamanya lagi, juga ibu dan ayahku. Aku masih ingin melihat mereka dan menghabiskan waktu bersama.
Aku sangat rindu keluargaku.
Karena itulah aku harus memulai perjalanan untuk pencarian kristal roh, apa pun risikonya. Saat berhasil mengumpulkan kesebelas benda itu menjadi satu, tentu saja aku ingin meminta untuk kembali ke dunia asal.
Untuk mempersiapkan bekal menghadapi semua bahaya, aku mulai berlatih Esze dengan Almira di hutan dekat kota.
"Wow! Ini benar-benar viglet kualitas tinggi!" seru wanita itu yang terpukau dengan viglet pemberian Pangeran Keylan. "Bahkan saat aku menjadi kapten pasukan pengintai di sana, aku tidak pernah mendapatkan yang sebagus ini."
Matanya tampak berbinar dalam kekaguman selama beberapa lama. Bahkan bisa lebih lama lagi jika saja aku tak segera menyadarkannya.
"Sebagus itukah?" tanyaku dengan penasaran. Aku tak begitu paham dengan kualitas viglet, mungkin perempuan ini bisa memberitahuku lebih banyak.
"Ini bisa dibilang barang kualitas satu. Viglet ini terbuat dari Taring Naga Hitam asli kemudian dilapisi dengan cairan alkimia yang bisa memperkuat manifestasi Esze. Barang seperti ini sudah tentu tidak ada di pasaran. Tapi bila kutaksir dengan mata uang di Lurivia, harganya bisa lebih dari tiga ratus keping emas."
"A-Apa!? Sebanyak itu?"
Suara nyaringku menggema di udara. Untungnya kami berdua berada di antara pepohonan yang terdiam membisu. Bila berada di tengah keramaian, sudah jelas apa yang kulakukan tadi akan memancing perhatian semua orang.
Mendadak tubuhku mengeluarkan keringat dingin. Rasanya aku masih tidak percaya dengan apa yang kudengar barusan. Benda yang kupegang ini bernilai ratusan keping emas?! Bahkan dengan sekeping emas saja, aku bisa hidup enak selama satu tahun. Kalau aku memiliki uang sebanyak itu, pasti aku bisa menghabiskan hidupku dalam kemewahan. Luar biasa!
"Ah, tapi jangan pernah kau berpikir untuk menjualnya! Viglet tidak akan laku di wilayah manusia. Dan kau mungkin akan dituduh mencuri jika berniat menjualnya di wilayah Elvian." Almira menjawab seolah bisa membaca pikiranku." Kejadian kemarin memang keajaiban, tapi jangan kira kau bisa kembali ke sana untuk kedua kalinya. Mereka pasti takkan membiarkanmu lewat."
"Tapi ... Pangeran Keylan berkata dia akan menerimaku kalau berkunjung lagi."
"Pangeran Ketiga itu terkadang punya pemikiran sendiri, namun sering ditentang oleh orang lain. Bisa jadi saat mengunjunginya, orang yang membenci pangeran akan menargetkanmu. Kau bisa saja diculik dan disiksa habis-habisan untuk melihat bagaimana reaksi pangeran. Pokoknya lebih baik kau hindari dia!"
Untuk sesaat aku tersentak. Aku memang menutup rapat tentang kejadian penculikan diriku pada siapa pun. Namun aku tidak menyangka semua perkataan Almira sesuai dengan apa yang telah kualami.
"Kau kenapa? Wajahmu sedikit pucat?" tanya Almira, wajahnya tampak cemas melihatku.
"T-Tidak apa-apa," jawabku sambil memaksakan senyum. "Kau sepertinya sudah mengenal Pangeran Keylan. Bisa beritahu aku lebih banyak tentang dia?"
"Kenapa? Kau tertarik dengannya? Lebih baik lupakan, kau itu bagaikan slime kotor yang merindukan punggung naga."
"Bukan itu, bodoh! Aku hanya penasaran saja!" balasku sambil mengibaskan tangan, menolak ucapannya barusan.
"Seperti yang sudah kubilang tadi, Pangeran Keylan memiliki pemikiran sendiri yang sering bertentangan dengan orang lain. Contohnya saja apa yang kau alami di sana. Di saat bangsawan dan anggota kerajaan lain menganggap rendah ras selain mereka, Pangeran Keylan malah menyambut kamu yang seorang Haier-Elvian dengan ramah dan tangan terbuka, bahkan sampai memberi hadiah yang luar biasa.
"Dulu aku pernah menjadi Pasukan Pengawal Kerajaan. Saat di istana, Pangeran Keylan ialah orang yang tercerdas di antara keempat saudaranya. Dia menyelesaikan pendidikan dasar di istana dalam waktu yang singkat. Banyak yang mengatakan bila pengetahuan yang dimilikinya melampaui para guru di istana. Hal itu terbukti dengan berbagai benda aneh yang diciptakannya."
"Benda aneh? Seperti apa?" tanyaku penasaran.
"Aku tidak tahu detailnya. Yang jelas benda penemuannya sering dicemooh oleh saudaranya dan para bangsawan lain. Selain otak yang cerdas ia juga lihai dalam bertarung, baik dalam segi Esze maupun gaya bela dirinya. Hanya sebatas itu saja yang kutahu tentangnya, tidak lebih."
"Hoo ... begitu ceritanya. Akhirnya aku bisa mengerti kenapa ia begitu baik padaku. Mungkin karena sering dikucilkan oleh orang di sekitarnya yang membuatnya tak ingin mendiskriminasi orang lain," ujarku sembari memagut kecil.
"Sudah hentikan percakapan soal Pangeran Tersayangmu itu! Kita mulai latihan sekarang juga!" pekik Almira.
"S-Siapa yang kau maksud Pangeran Tersayang, hah?"
Pagi itu aku berlatih Esze bersama Almira di tengah hutan. Karena telah memutuskan untuk memulai perjalanan mengumpulkan kristal roh, aku meminta pelatihan Esze yang lebih intens setiap minggunya, yang semula dua kali menjadi lima kali per minggu.
Jika aku semakin kuat, kemungkinan aku menghadapi skenario terburuk dapat berkurang. Dimas pun mulai berlatih seni berpedang dengan Grussel. Pria itu bersikukuh ikut dalam perjalanan ini. Aku tidak bisa menghentikannya. Setelah semua yang dia katakan tentang takkan membiarkanku dalam bahaya lagi. Lagi pula ia berhak turut bersamaku karena ia juga berasal dari dunia lain.
Selain kami berdua, tidak ada lagi yang lain. Semua anggota laki-laki termasuk Kak Indra dan Kak Erik telah menjadi tentara kerajaan atau mencari pekerjaan lain di ibukota. Padahal mereka berdua orang yang paling ingin kuajak dalam perjalanan ini. Karena keterbatasan jarak dan komunikasi, aku belum menyampaikan semua informasi yang didapat dari kota Glafelden pada teman-teman lain di ibukota. Andai saja ada telepon genggam di dunia ini, aku bisa mengabari mereka kapan pun aku mau. Jadi mau tidak mau, hanya aku dan Dimas saja yang turut serta.
Tentu aku tak bisa menyertakan Vani, Vian, dan Shella, bukan?
*****
Selama beberapa hari, berlatih Esze sudah menjadi rutinitasku sehari-hari. Dimulai pada pagi buta ketika matahari belum muncul dan pada sore hari saat malam menjelang, selama dua jam per sesi. Tidak hanya berlatih merapal Esze saja, aku juga harus melatih kekuatan fisik serta kemampuan memanahku. Dalam pertarungan, aku tak bisa mengandalkan satu gaya bertarung saja.
Memang jika memfokuskan diri pada satu gaya tertentu bisa meningkatkan kemampuan. Namun itu bisa menjadi pedang bermata ganda yang akan menikam diri sendiri. Bila ada musuh yang dapat mengatasi serangan Esze, maka aku akan tamat.
Dalam beberapa kesempatan, Dimas juga terkadang turut serta dalam latihanku bersama Almira. Berlatih dengan mantan kapten pasukan pengintai adalah hal-hal yang tak boleh dilewatkan begitu saja.
Suatu ketika aku dan Dimas baru saja pulang ke markas setelah berlatih di hutan dekat kota. Aku menemukan Grussel yang duduk di teras bangunan sambil menyesap kopinya.
"Kalian berdua punya tamu," seru Grussel sambil menunjuk ke dalam markas dengan jari jempolnya yang besar.
Dibimbing rasa penasaran, aku melangkah ke ruang tamu dan menemukan Shella duduk di atas sofa dengan gemetaran. Kedua tangannya gemetar dan membuat sepucuk surat yang ia bawa bergoyang-goyang. Peluh keringat muncul di leher dan dahinya, tampaknya dia terburu-buru saat kemari. Ia pun masih mengenakan pakaian klinik yang berwarna putih polos. Ketika aku duduk di sampingnya, barulah ia sadar akan kehadiranku.
"Anggi!" seru gadis itu. Wajahnya yang pucat pasi dipenuhi ketakutan luar biasa. "Ini benar-benar gawat!"
"Ada apa? Tenanglah!" Aku mencoba untuk menenangkannya, tapi percuma saja. Gadis itu malah menyodorkan surat yang berada di tangannya. Sepertinya ia ketakutan sekali, sampai-sampai tidak sengaja menjatuhkan suratnya. Aku memungutnya dan melemparkan pandangan pada Shella. "Apa ini?"
"Kau harus membacanya," jawabnya dengan suara yang bergemetar.
Aku sangat penasaran dengan surat yang membuat Shella seperti ini. Apakah isi surat itu tentang penghancuran dunia yang tak sengaja jatuh ke tangan Shella? Atau tentang ditutupnya jalur perdagangan kota yang akan membuat Glafelden kekurangan logistik seperti beberapa bulan lalu?
Oh, sial! Aku lebih takut pada pilihan kedua. Karena saat kejadian, aku hanya bisa memakan roti gandum karena persediaan susu dan daging yang kosong di pasaran.
Namun begitu aku membaca surat itu, seluruh tubuhku jadi merinding. Rasa takut dan ngeri menjalar ke seluruh tubuh, melemaskan badanku dan membesarkan pori-pori untuk mengeluarkan bulir keringat yang deras. Aku menjatuhkan punggungku pada sandaran sofa dan menatap ke depan dengan hampa.
"Ada apa?" tanya Dimas yang berdiri di sebelahku.
"Kerajaan Lurivia sudah tahu tentang keberadaanku ... dan sekarang mereka mengirim satu pasukan elit untuk mengincarku."