Kali berikutnya aku membuka kedua mata, cahaya matahari sayup-sayup mengintip dari balik pegunungan. Sinarnya yang hangat membelai pelan wajah ini dan menyingkirkan hawa dingin di sekitar. Embun pagi menyelimuti dedaunan dan ujung ranting, menciptakan permadani berkilau di bawah sinar mentari.
Aku mencoba bangkit dari tidur, meregangkan tangan serta badan yang kaku, lalu berdiri dan mendekat ke arah aliran sungai. Cahaya pagi memantul di permukaan air, menciptakan ribuan kilauan kecil yang menari-nari mengikuti aliran sungai. Aku menangkupkan tangan untuk menampung air dan meminumnya. Rasanya segar seperti baru keluar dari mata air. Beruntung semalam kami bisa menemukan tempat istirahat dekat dengan sumber air. Kudongakkan kepala ke atas, awan-awan tipis berwarna merah muda dan oranye perlahan menghilang, memberi jalan pada langit biru yang semakin luas. Benar-benar hari yang cerah setelah hal mengerikan yang kulalui semalam.
Setelah diserang kawanan Kelelawar Vampir Hitam, aku beserta Dimas dan Kak Shella mencari tempat yang aman untuk bermalam. Nasib baiklah yang membawa kami kemari. Selain dekat dengan air, wilayah ini masih ditumbuhi oleh pepohonan raksasa, sehingga akar besarnya masih bisa dimanfaatkan untuk berlindung dari serangan binatang.
Kami tidak tidur berbarengan tentu saja. Harus ada seorang yang berjaga untuk membangunkan yang tertidur jika ada sesuatu yang tak beres. Karena sudah terbiasa berburu, hanya aku dan Dimas saja yang berjaga.
Aku sudah berjaga tiga jam pertama, sementara Dimas setelahnya. Harusnya lelaki itu tetap ada di sebelahku dan Kak Shella. Namun entah mengapa sosoknya tak bisa ditemukan.
"Paling-paling ia hanya pergi sebentar untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan di dekat sini," pikirku dalam hati dengan sedikit cemas.
Kemudian aku menggelengkan kepala. Dari pada memusingkan dirinya, lebih baik kugunakan waktu ini untuk mandi. Setelah semalam bertarung, tubuhku sepertinya berbau kelelawar. Untungnya noda darah binatang itu mudah dibersihkan. Satu hal yang membuatku kesal adalah memulai perjalanan dengan pakaian kotor.
Tanganku melepas helai demi helai pakaian yang kukenakan, lalu menaruhnya di atas batu sungai besar di tepian. Pandangan mataku kemudian jatuh pada dua gundukan bukit yang terbalut dengan kamisol. Dibandingkan dengan bra di dunia modern, pakaian ini lebih seperti blus ketat yang dikenakan sebelum memakai pakaian luar. Di dunia ini pakaian dalam termasuk barang mewah, sehingga perempuan kalangan menengah ke bawah tidak memakainya. Sebagai manusia modern yang berakal dan memiliki rasa malu, aku dan teman-teman perempuanku membuat sendiri beberapa set pakaian dalam untuk kami sendiri. Sedangkan untuk kamisol mewah yang kukenakan ini lain cerita, aku mengambilnya ketika Kelam Malam tengah merampok rumah pejabat kota.
Untuk sekarang, lebih baik lupakan saja masalah itu.
Tanpa sadar, tanganku sudah membelai pelan kedua gundukan yang ada di tubuhku. Aku menghela napas panjang. Sejak pertama kali tiba di dunia ini, entah mengapa dadaku semakin membesar. Ketika pertama kali datang ke dunia ini, aku bisa disebut papan cucian. Tapi kini ukurannya membesar hingga bisa memenuhi telapak tangan. Padahal, ketika di duniaku sebelumnya dadaku tidak pernah sebesar ini.
Aku sering memergoki beberapa lelaki bahkan Dimas memandangi dadaku dengan penuh gairah. Benar-benar menjijikkan. Ingin sekali kutendang wajah mereka satu per satu hingga tidak bisa melihat lagi. Memang rasanya memalukan jika menjadi objek birahi para lelaki. Tapi di lain pihak, bangga karena aku memiliki daya tarik yang sanggup mengalihkan perhatian orang-orang.
Tanganku masih meraba-raba buah dadaku. Ini terbilang cukup besar. Mungkin ukurannya sama dengan Shella yang proporsional. Aku penasaran, apa mungkin dadaku bisa tumbuh lebih besar lagi layaknya wanita dewasa seperti Almira?
Di saat aku tanpa sadar masih mengelus-elus dadaku, tiba-tiba sebuah suara lelaki berdeham datang mengagetkanku.
"Ehem ... apa kau yakin terus seperti itu sementara aku tepat di sampingmu?"
Kontan aku segera menutupi dada dan menoleh ke arah sumber suara di balik batu besar. Dimas ternyata ada di sana! Badan bagian atas hingga rambutnya basah, tampaknya dia baru saja mencelupkan tubuh telanjangnya ke dalam air, seperti reptil yang menjaga suhu tubuhnya agar tetap dingin.
"Sialan! Kau pikir apa yang kau lakukan di sini?" teriakku marah sembari berjongkok untuk menghindari tatapannya.
"Apa kau tidak lihat? Aku sedang mandi," jawabnya santai.
"Aku tidak menanyakan itu. Kau tadi mengintipku, kan?"
"Mengintip? Tahan sebentar, Nona! Aku sejak awal sudah berada di sini. Kau sendiri yang datang, lalu melepas baju dan meraba-raba dadamu. Kenapa kau menyalahkanku, padahal itu salahmu sendiri!"
Emosiku semakin memuncak, tapi masih dalam tingkat di mana aku masih bisa menahannya. Tapi memang benar katanya. Itu semua kecerobohanku. Namun entah mengapa aku masih tidak menerimanya begitu saja setelah ia melihatku melakukan hal yang memalukan. Aku yakin wajahku memerah sekarang. Rasanya ingin kupendam saja kepala ini ke dalam tanah selamanya.
"A-Aku pergi saja deh," seruku dengan gugup sembari berniat mengambil kembali baju yang telah kulepas.
"Tunggu dulu! Tujuanmu kemari karena ingin mandi, kan? Mengapa kita tidak mandi bersama di sini?"
"Haaaaah!? Apa aku tidak salah dengar? M-M-Mandi bersama?! Kau pasti sudah tidak waras!"
"Santai dulu dong, bangsat! Kau salah paham. Aku tidak tahu pikiran gila macam apa yang ada di kepalamu. Maksudku dengan mandi bersama, aku di sini sementara kau di sisi batu lainnya."
"Tetap saja itu .... Rasanya—."
"Ada hal yang ingin kubicarakan denganmu."
Begitulah ceritanya bagaimana aku dan Dimas duduk bersama di dalam air, dengan tanpa busana, bersebelahan, hanya ada batu besar yang memisahkan. Jika tidak ada batu ini, kami berdua akan saling memunggungi satu sama lain. Mulutku tak mampu berkata-kata lagi. Suasana menjadi sangat canggung sekali. Sejak berubah menjadi gadis yang cantik, aku selalu waspada dengan berbagai kesempatan yang dapat dijadikan melakukan kejahatan seksual padaku. Aku benar-benar tidak ingin ternoda oleh pria mana pun.
Tapi yang terjadi sekarang adalah aku sedang berduaan bersama Dimas dalam kondisi telanjang. Di mana aku bisa saja berada di bawah dan dia di atas. Meskipun ia teman dekatku, yang menurut akal sehatku ia takkan mungkin melakukannya. Aku masih tetap menjaga pertahananku.
"Kau tahu, Dimas?" Aku membuka suara. "Aku paling benci saat kau memandangku dengan mata yang liar."
"H-Hoi! Kapan aku memandangimu dengan tatapan mesum?"
"Tadi. Dan setiap aku baru saja mandi, matamu selalu saja berkeliaran di tubuhku."
"K-Kau tahu?" ujar Dimas tak percaya.
"Tentu saja aku tahu! Kau pikir perempuan takkan tahu ketika ditatap seorang pria?"
Pria itu terdiam. Mungkin kehabisan kata-kata. Sepertinya ia sangat terkejut ketika aku berhasil membongkar sifat buruknya. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya di sisi batu lain. Aku bertaruh ia pasti malu setengah mati dan berharap bisa mengubur kepalanya di tanah. Yah, tapi memang begitulah seharusnya. Dia memang harus tahu malu agar tidak melakukannya lagi.
"Ya ampun, Dimas! Serius deh. Bukankah kau menyukai Kak Shella? Mengapa tatapan mesummu tidak memandanginya saja dari pada diriku?"
"Justru karena itulah aku harus menjaganya tetap suci dan tidak boleh melihatnya seperti binatang buas. Sebagai gantinya, aku memilih gadis lain untuk ditatapi dengan beringas."
"Dan gadis itu adalah aku. Kau benar-benar sampah!"
"Itu artinya kau menarik. Aku yakin bukan hanya aku saja pria yang menatapmu dengan liar," jelas Dimas. Jawabannya sama sekali tidak bisa kuterima. Memang sudah banyak lelaki sepertinya sampai aku merasa risih bila pergi ke tempat laki-laki berkumpul. "Dan harus kuakui, tubuhmu saat ini begitu sangat menggoda, seperti buah yang baru saja ranum. Aku bahkan sampai harus menenangkan adik kecilku setiap kali kau baru saja mandi."
"Apa!!?" teriakku sambil berdiri seketika, dengan tangan yang menutupi dada.
Aku melotot. Emosiku benar-benar mencapai puncaknya. Seketika kuambil beberapa batu kali berukuran kecil, lalu melemparkannya pada Dimas.
"Kau sungguh menjijikan!"
Setelah keluar dari air dan mengenakan baju, aku segera pergi dari sana. Tidak sudi bila berlama-lama dengan orang yang memiliki tatapan penuh nafsu kepadaku. Bisa-bisa hal yang lebih buruk terjadi jika terus bersamanya.
Ketika matahari sudah mulai naik, kami melanjutkan perjalanan menuju Pegunungan Lintang Utara. Sejak itu, aku tidak lagi berbicara padanya. Perjalanan pun terasa begitu sepi. Memang kita tidak boleh berisik karena bisa mengundang bahaya datang, namun ini terlalu senyap. Tidak ada gurauan yang biasa Dimas dan aku lontarkan, maupun basa-basi sedikit pun. Benar-benar hening.
"Apa yang terjadi dengan kalian berdua?" tanya Shella yang berjalan di belakangku.
"Tidak ada apa-apa, kok," jawabku santai. Aku menundukkan badan untuk melewati akar pohon raksasa yang melintang di atas kepala.
"Tidak biasanya kau dan Dimas seperti ini."
"Dimas? Siapa itu? Oh, maksudmu pria sampah yang di belakang itu?" ujarku dengan ketus. Dimas tak membalas sedikit pun. Sepertinya ia pasrah mau disebut seperti apa olehku.
"Pasti ada sesuatu," gumam Shella.
Setelah hampir empat jam berjalan kaki, kami sudah keluar dari kawasan pohon raksasa. Hanya ada hamparan padang rumput setinggi pinggang di depan yang terbentang luas. Di ujung padang rumput inilah kaki gunung berada. Kami harus melewati Pegunungan Lintang Utara untuk sampai ke Kota Arnest. Tujuanku terletak di balik barisan pegunungan itu. Puncak pegunungan diliputi awan badai yang cukup tebal.
Memang saat ini sudah selangkah lebih dekat pada tujuan, namun entah mengapa perasaanku menjadi tidak enak. Setiap kali melihat ke depan, dadaku terasa sesak. Telingaku seakan-akan mendengar teriakan orang yang menjerit-jerit.
"Kau cemas?" tanya Dimas sembari menepuk pundakku.
Aku menghiraukannya dan langsung memegang dadaku. Degupan jantung ini begitu cepat seolah ingin meloncat keluar. Entah apa yang ada di balik awan badai itu. Yang jelas perjalanan di depan takkan semudah yang telah terjadi.
Setelah beberapa menit tertegun memandangi pegunungan yang menjulang tinggi, kuputuskan untuk menyingkirkan pikiran buruk di kepala. Aku kembali memantapkan tekad dan mengambil langkah dengan berani. Dimas dan Kak Shella yang awalnya ragu pun turut mengikuti. Hamparan padang rumput ini bisa dibilang cukup normal. Karena ini termasuk wilayah Elvian, aku takut semuanya memiliki kejutan sesuatu yang magis.
Setengah jam berjalan, kami bertiga sampai di tengah padang rumput. Hanya tinggal menempuh setengahnya lagi untuk sampai ke kaki gunung. Tapi disitulah aku merasakan keanehan. Rumput-rumput di sekitar sini banyak yang rusak seperti terinjak sesuatu. Yang membuatku ngeri adalah ukuran kerusakan pada rumput yang bisa mencapai dua meter. Padahal jika diinjak oleh seseorang, hanya beberapa senti saja. Semakin ke tengah, aku menemukan rumput yang rusak atau tercabut semakin banyak jumlahnya, seperti bekas sisa pertarungan. Aku juga mendapati beberapa bangkai binatang seperti rusa atau kerbau. Kebanyakan dari bangkai sudah menjadi tulang. Yang sama dari semua bangkai itu adalah mereka tidak memiliki kepala.
Aku langsung merinding. Memutar kepalaku ke segala arah, tapi tidak menemukan apa pun. Lalu aku diam sejenak, mencoba menggunakan Indra Superku. Proyeksi tembus pandang menyebar ke segala arah. Walau mataku tertutup, aku bisa melihat Dimas dan Shella yang ketakutan. Detak jantung dua orang itu semakin cepat, aku bisa mendengarnya seakan menempelkan kepalaku pada dada mereka. Tak ada apa pun di atas padang rumput ini selain kawanan semut yang tidak berbahaya, juga beberapa burung kecil yang memakan rumput.
Ketika proyeksi pandanganku menembus tanah, barulah aku terkesiap. Dua ekor laba-laba raksasa tengah menunggu di lubang sedalam sepuluh meter di bawah tanah. Ukuran mereka kira-kira sebesar dua kali lebih besar dari gajah, kaki-kakinya berbulu lebat, serta taringnya yang tajam siap menyerang mangsa apa pun yang ada di atas tanah.
Mangsa itu adalah kami.
"Lariiii!!!" Teriakku dengan lantang seraya berlari secepat kilat ke depan.