Chereads / Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir] / Chapter 35 - Chapter 35 "Hingar-Bingar di Glafelden IV"

Chapter 35 - Chapter 35 "Hingar-Bingar di Glafelden IV"

Embun pagi menyelimuti gerbang barat Kota Glafelden, membasahi atap-atap jerami dan batu. Cahaya pertama fajar mulai mengintip dari balik horizon, perlahan mengusir kegelapan malam. Secercah garis-garis matahari memotong kepekatan langit malam. Suara kokok ayam jantan memecah kesunyian, diikuti oleh derit pintu kayu yang berderit saat dibuka.

Lampu-lampu dalam bangunan satu per satu mati. Sebagian penduduk kota baru saja terbangun dan bersiap untuk memulai kesibukan. Meskipun ada sebagian di antaranya yang memilih tetap terlelap di atas kasur hangat hingga matahari muncul sepenuhnya. Orang-orang berlalu-lalang di jalan dan mulai beraktivitas, seakan membangunkan kehidupan di kota ini. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang menyangka bila aktivitas mereka hari ini tidak akan berjalan dengan lancar.

Penduduk pinggir kota biasanya selalu bepergian ke pusat kota, karena di sanalah pusat aktivitas Kota Glafelden berada. Di sana terdapat wilayah perkantoran serta biro-biro baik dari pemerintahan atau swasta, yang menjadi tempat bekerja dari dua ribu orang pekerja. Restoran dan kedai lebih ramai dari pada di pinggir kota karena letaknya strategis. Juga ada sekolah dan akademi sebagai tempat menimba ilmu dari lima ribu siswa. Selain itu, masih ada lagi pusat aktivitas lainnya seperti pasar dan teater. Suasana di pusat kota lebih hidup dan nyaman dari segala tempat di Glafelden.

Namun hari ini para penduduk kebingungan karena adanya blokade dari Ksatria Elit di jalan utama menuju pusat kota. Para prajurit itu tidak memperbolehkan siapa pun yang lewat tanpa terkecuali, jika ada yang melanggar maka akan dibunuh. Sebuah hukuman yang lebih berat dibandingkan dilempar ke penjara seperti yang pernah diterapkan sebelumnya di kota ini. Karena itulah para penduduk tidak berani protes dan terhenti di sana.

Ksatria Elit tengah menjalankan perintah Kapten Guffiy yang menyuruh mengepung pinggir kota dekat dengan gerbang barat. Karena di tempat inilah ia mencurigai keberadaan targetnya berada. Tidak hanya di jalan utama saja, Ksatria Elit juga memblokade jalan lainnya agar tak ada satu orang pun yang lolos.

Guffiy membagi satu peleton Ksatria Elit yang berjumlah tiga puluh orang menjadi tiga bagian utama. Satu bagian untuk memblokade jalan, satu lainnya untuk menggeledah rumah-rumah, dan sisanya berpatroli barangkali ada orang yang mencoba kabur atau bersembunyi.

"Ada apa ini? Apa yang sedang kalian coba lakukan?" protes seorang pria sangar dengan nada yang keras. Ia adalah guru sekolah tingkat satu di pusat kota. Karena jarak antara rumah dan sekolahnya cukup jauh, mau tak mau ia harus berangkat pagi-pagi sekali dengan berjalan kaki. Keterlambatan adalah hal yang tak bisa ditolerir sebagai guru sekolah. Untuk alasan itulah ia tampak sangat gusar.

Salah seorang Ksatria Elit mendorongnya pelan dan menyuruhnya menjauh. "Ini tidak akan lama jika kalian kooperatif. Kami hanya akan memeriksa kalian. Jika kalian memang bukan target yang kami cari, kalian akan dibebaskan."

"Target? Lagi-lagi alasan itu! Kalian sudah mengacaukan kota ini hanya dalam empat hari saja! Apa kalian tidak bisa segera pergi dari—."

Seketika itu juga prajurit tadi mencabut pedang dari sarungnya dan mengarahkannya pada guru itu. Suara logam yang bergesekan dengan sarung pedang terdengar nyaring dan langsung menjadi pusat perhatian orang di sekitar.

Semua orang menahan napas dan tercengang, apalagi guru pemarah yang tengah diacungkan pedang. Pria itu tak lagi bisa menyuarakan kekesalannya. Ia hanya diam sembari menatap prajurit itu dengan tatapan tajam. Beberapa orang di sampingnya mencoba menenangkan guru pemarah itu dan menjauhkannya dari si prajurit.

Kemudian prajurit itu mengeluarkan suara lantang sembari mengangkat tinggi-tinggi pedang yang digenggamnya. "Dengar semuanya! Kami hanya meminta kalian untuk bersikap kooperatif! Tidak akan ada yang terluka selama kalian mau bekerja sama. Bagi siapa pun yang menentang, akan dinyatakan sebagai kriminal dan dieksekusi di tempat!"

Setelah itu tidak ada lagi penduduk yang protes secara langsung. Orang yang masih memiliki akal sehat tidak akan berani menentang Ksatria Elit dengan ancaman yang diutarakan dengan terang-terangan seperti itu. Siapa pun yang masih berani menentang pasti sudah gila.

Para penduduk kemudian mematuhi Ksatria Elit bagai kerbau yang dicucuk hidungnya. Mereka disuruh membentuk barisan panjang untuk diperiksa dan digeledah, baik pria maupun wanita. Meski target para prajurit ini adalah seorang gadis, mereka tetap memeriksa laki-laki. Takut bila Si Target menyamar dan berpakaian seperti lelaki. Tak hanya para pejalan kaki, mereka juga menggeledah kereta kuda beserta isinya dengan sangat teliti. Untuk penduduk yang lolos dari pemeriksaan, mereka dilepaskan dan tetap disuruh menunggu di tempat sampai semuanya selesai.

Selain pemeriksaan di jalan utama, Ksatria Elit juga menggeledah rumah-rumah dengan paksa. Para prajurit menggedor pintu setiap rumah dan menyuruh seluruh penghuninya keluar. Selagi para penghuni diperiksa, mereka menggeledah rumah dan mengecek bila masih ada orang yang bersembunyi.

Lemari-lemari dibuka dan digeledah sehingga pakaian berserakan di lantai, kasur-kasur digeser dari tempatnya semula. Bagi rumah yang masih berlantai kayu, mereka mengetuk-ngetuknya di berbagai tempat. Jika terdengar suara yang bergema, itu artinya ada ruang rahasia yang tersembunyi di bawah lantai. Mereka mendobraknya hingga lantai rusak, setelah mendapati tak ada target yang mereka cari. Para prajurit langsung meninggalkannya dan beralih ke rumah selanjutnya tanpa merasa bersalah sedikit pun.

Tentu banyak yang merasa gusar, namun mereka tak mampu melawan sedikit pun.

Penggeledahan masih terus berlanjut, hingga matahari sudah naik dari ufuk timur dan menyingsing dari balik pegunungan. Proses pemeriksaan rumah-rumah ini berlangsung cukup cepat walau dengan jumlah orang yang terbatas. Ksatria Elit sudah memeriksa hampir setengah dari bangunan yang ada di pinggir kota.

Hingga tidak terasa para prajurit itu sedang memeriksa sebuah rumah yang terletak di ujung gang tempat rumah tua Almira berada.

Perempuan itu mengintip dari balik pintu, menatap cemas ke arah kerumunan yang ada di luar. Meski sudah menggunakan magis penyamaran yang seharusnya bisa menipu mata manusia. Ia takut ada prajurit yang bisa mendeteksi aliran Esze dan mengetahui penyamarannya. Jika itu terjadi, kemungkinan ia tidak akan bisa tinggal di kota ini lagi. Alasannya tentu saja karena kebencian yang mengakar antara ras manusia dan Elvian.

Meski Almira tidak melakukan kesalahan apa pun, manusia di kota ini pasti tidak mau Elvian sepertinya tinggal di sini. Ia pasti akan diusir. Yang dikhawatirkan Almira tidak lain adalah putra semata wayangnya, Cedric. Anak itu akan jadi sasaran kebencian yang seharusnya ditujukan padanya. Membayangkan putranya ditindas dan dirundung penduduk kota membuat Almira takut setengah mati.

Belum lagi jika ia harus terusir dari kota ini, mau tidak mau perempuan Elvian itu harus mencari kota lain untuk ditinggali bersama anaknya. Ibukota tempat suaminya bekerja bukanlah sebuah pilihan yang bagus. Di sana banyak prajurit berpengalaman yang mampu mengenali aliran magis. Tak ada Elvian waras mau tinggal di pusat wilayah manusia yang membencinya hingga ke akar. Karena itulah ia memilih Kota Glafelden sebagai tempat tinggal. Selain terletak di ujung Kerajaan Lurivia, kota ini hanya diisi dengan penjaga kota yang setara dengan manusia biasa.

"Mama, aku lapar!"

Tiba-tiba ia dikejutkan suara anaknya yang baru saja terbangun. Bocah itu mengusap-usap matanya, tampaknya ia belum mengumpulkan seluruh nyawanya. Baju piyamanya tampak lusuh akibat kebiasaanya saat tidur yang suka berguling ke sana kemari.

"Baik, akan kusiapkan makanan," sahut Almira dengan senyum lembut, seakan menyambut putranya di hari yang baru.

Kemudian ia bergegas ke dapur yang terletak di samping kamar tidur. Tangannya mengambil daging ayam dari kotak pendingin. Benda ini memiliki fungsi yang sama dengan kulkas, yaitu sebagai tempat penyimpanan dan mendinginkan makanan. Hanya saja cara bekerja benda ini berbeda. Sumber energi kotak pendingin bukanlah listrik, melainkan batu khusus bernama Batu Salju Beku yang berasal dari pegunungan di Sigrotia Iuna Utara.

Batu Salju Beku memiliki karateristik berwarna putih seperti salju, namun keras dan padat seperti batu biasanya. Hal yang paling menarik adalah batu ini bisa mengeluarkan hawa dingin secara terus-menerus hingga energinya habis. Batu ini dipakai sebagai lapisan dalam di kotak pendingin, dengan begitu kotak ini bisa mendinginkan makanan agar tidak cepat busuk. Bila energinya sudah habis, panggil saja seorang pandai besi dan ia akan melapisi kotak pendingin dengan Batu Salju Beku yang baru.

"Mah, apa sudah selesai? Perutku lapar sekali," rengek Cedric.

"Tunggu sebentar ya, Sayang! Mama janji akan menghidangkan makanan yang lezat untukmu."

Setelah melempar senyum pada putra semata wayangnya, Almira kembali memfokuskan diri pada bahan makanan yang ada di hadapannya. Tangannya dengan lihai memotong daging ikan dengan potongan yang rapih dan sama besar. Setelah melumurinya dengan campuran bumbu dan taburan peterseli, dia memanggangnya di atas tungku api.

Cedric yang menunggu di meja makan, memandang ibunya yang memasak sembari bersenandung ria. Mengayun-ayun kakinya yang tergantung ketika duduk di atas kursi. Ketika melihat bocah menggemaskan nan polos seperti itu, siapa pun pasti akan setuju untuk melindunginya hingga apa pun yang terjadi. Apalagi Almira yang merupakan ibu kandungnya, ia bertekad apa pun yang terjadi nanti ia tidak akan membiarkan putranya menderita.

*TOK TOK TOK!