Dengan cekatan Dimas menarikku dan Shella ke balik akar pohon paling besar di sekitar sini. Lalu merundukkan badan dan berusaha untuk tetap diam.
Beberapa saat kemudian, gerombolan binatang itu benar-benar terbang melewati kami. Sesuai dengan namanya, Kelelawar Vampir Hitam ini benar-benar berwarna hitam mulai dari bulu, sayap, mata, hingga kukunya. Sehingga di kegelapan malam ini, mungkin hanya akan terlihat bayangan dan suara dari kelebatan sayapnya saja.
Bagiku yang seorang Haier-Elvian, bentuk dan rupa kelelawar itu dapat jelas terlihat. Binatang itu mirip dengan kelelawar yang kukenal. Yang membuatnya terlihat berbeda adalah ukurannya yang sebesar anjing dengan lebar sayap kira-kira tiga meter. Juga sepasang taring besar yang mencuat dari mulutnya untuk mengisap darah mangsanya. Mungkin karena itulah orang-orang menyebutnya Kelelawar Vampir Hitam.
Binatang ini bergerak dengan kawanannya saat berburu. Cara mereka melihat sama persis seperti kelelawar di bumi. Karena penglihatan yang buruk, mereka mengandalkan gema suara yang berasal dari tubuhnya. Saat mengenai sesuatu, gema suara akan memantul dan ditangkap oleh sensor. Kelelawar akan tahu benda apa yang ada di depan mereka, seperti itulah cara mereka melihat. Binatang itu membedakan buruan dengan benda mati berdasarkan pergerakan. Jadi, asalkan kami tidak bergerak, mereka tidak akan bisa melihat kami.
Sekarang yang harus kami lakukan adalah diam sampai mereka semua berlalu. Aku sampai harus menahan napas agar gerakanku sepelan mungkin. Kedua tanganku mencengkeram erat tangan Shella dan Dimas. Perasaan tegang dan takut benar-benar menguasaiku. Sejak aku berburu di wilayah Elvian, ini adalah pertama kalinya aku bertemu dengan Kelelawar Vampir Hitam. Binatang itu termasuk hewan yang agresif, mereka akan menyerang tanpa pandang bulu ketika sedang berburu. Mereka adalah binatang liar yang hidup bebas di kaki gunung wilayah utara. Entah apa yang membawa mereka kemari.
Setiap detik terasa berjalan sangat lambat. Aku bahkan sudah nyaris kehabisan napas, tapi tetap harus kutahan hingga kawanan itu berlalu.
Tiba-tiba saja Shella berjengit pelan, lalu merapatkan badannya padaku. Aku bisa melihat ada beberapa kelelawar yang sempat menoleh kemari sebentar. Di saat aku hendak memperingatkan wanita itu agar tak membuat pergerakan, barulah aku sadar apa yang membuat Shella begitu ketakutan. Di atas akar pohon, ada seekor kelabang sebesar paha orang dewasa. Serangga sepanjang lima meter itu merayap pelan mendekat ke arah Shella, mungkin ia juga berniat untuk sembunyi dari kawanan Kelelawar Vampir Hitam. Tapi itu justru membuat Shella terganggu.
Sungut kelabang itu berulang kali mengenai wajah Shella yang pucat pasi. Napas perempuan itu menjadi lebih cepat.
"Shella, bertahanlah!"
"Tutup matamu!"
Aku dan Dimas berbisik dengan pelan agar tidak menarik perhatian kawanan kelelawar itu. Shella menutup matanya dengan cemas. Ekspresi takut terpampang jelas di wajahnya. Wajar saja, siapa pun pasti akan merasa takut dan jijik jika ada serangga sebesar itu. Yang lebih buruk, serangga itu memiliki sengatan beracun jika dilihat dari sungut panjangnya.
Bukannya bergeming atau menghindar, kelabang besar itu justru naik ke atas pundak Shella. Gadis itu menjerit pelan saat serangga itu merayap ke atas tubuhnya. Wajahnya benar-benar ketakutan, keringatnya mengucur deras. Ia memaksa matanya menutup rapat, namun tetap diam dan tak membuat pergerakan tiba-tiba.
Entah apa yang ada di pikiran Dimas, dia tiba-tiba saja berdiri. Menusuk kelabang besar dengan pedang dan melemparkannya jauh-jauh. Serangga itu menggeliat setelah tubuhnya tertembus. Beberapa kelelawar yang merasakan pergerakan di atas tanah, langsung menyambar dan memangsa kelabang itu. Taring-taring kelelawar merobek rangka luar arthropoda yang keras dengan mudah, seperti kertas yang disobek-sobek. Bayangan mengerikan langsung tercipta apabila kawanan kelelawar itu mengincar kami bertiga.
Entah mengapa tubuhku mendadak kaku. Aku bergeming melihat pemandangan mengerikan itu. Beberapa kelelawar sempat melihat ke arahku, lalu mendarat di depanku. Seolah hendak memastikan bila aku termasuk mangsa mereka atau tidak. Seekor kelelawar berjalan mendekat dan membuka mulut yang bertaring panjang. Jantungku berdegup kencang. Membayangkan bila dua taring itu menancap di tubuh dan mengoyak-ngoyak dagingku.
Dimas yang sudah berdiri dan memegang senjata tak ragu menebas kelelawar itu. Sontak, banyak kelelawar yang mengalihkan perhatian kemari. Mereka melesat cepat dengan mulut-mulut yang terbuka lebar.
"Lari!!" teriak Dimas.
Tanpa membuang waktu sedetik pun, aku langsung pergi meninggalkan tempat itu. Seperti biasa aku berada di depan untuk membimbing teman-temanku yang tidak memiliki penglihatan yang baik pada malam hari. Kawanan Kelelawar Vampir Hitam segera berbalik arah mengejar kami. Mereka melesat cepat seperti angin, namun tak langsung menyerang. Kawanan itu terbang tepat di atas kepala.
Tiba-tiba dua kelelawar menukik tajam sambil membuka mulut. Aku segera mengambil dua anak panah dan menembak jatuh keduanya. Sesekali aku melepaskan anak panah ke belakang yang mengincar Dimas. Pria itu tampak kesulitan. Menghalau kelelawar sekaligus melindungi Shella bukan pekerjaan mudah. Ia harus beberapa kali menyabetkan pedang yang nyaris mengoyak tubuh mereka. Lima kelelawar datang dari belakang, aku menghentikan langkah dan membiarkan mereka berdua lari terlebih dahulu. Sementara aku mengambil posisi siaga.
Satu per satu binatang itu jatuh ke atas tanah, namun ada satu anak panah yang meleset. Seekor kelelawar yang lolos menerjang datang. Namun kuhalau dua taring besarnya dengan busurku. Kekuatan yang cukup besar, aku sampai terdorong karenanya. Tanganku mengambil sebilah belati kecil dari dalam saku dan menusuknya beberapa kali hingga mati.
"Dasar binatang sial!" makiku dengan gusar.
Setelah itu mengejar Dimas dan Shella yang berada di depan. Sepertinya mereka mendapat kesulitan. Ada sekitar sepuluh kelelawar yang mengepung dari segala arah. Terjebak seperti kelinci dalam sangkar. Aku berniat menyiapkan anak panah pada busur, tapi kutahan.
Jumlah mereka terlalu banyak. Aku akan kehabisan anak panah ketika belum ada satu hari sejak memulai perjalanan ini. Di saat kebingungan setengah mati, barulah aku menyadari sesuatu.
"Betul juga! Viglet itu!" seruku gembira.
Entah mengapa aku sampai lupa dengan keberadaan senjata utamaku. Aku mengeluarkan sebuah tongkat kecil dari dalam kaus kaki. Viglet berwarna gading dengan corak hitam yang terlihat elegan berada di tanganku sekarang.
"Vitr Bris!" ucapku sembari mengarahkan viglet pada kawanan kelelawar yang mengerubungi kedua temanku.
Aku dapat merasakan kekuatan mengalir keluar dari tubuhku melalui viglet yang kupegang. Terasa sangat jelas, bahkan aku bisa merasakan aliran Esze dari dalam sirkuit magisku. Sebuah gumpalan angin terlontar dari ujung viglet. Melumpuhkan kelelawar yang mengepung Dimas dan Shella.
Daya kekuatannya sangat besar. Bukan hanya kelelawar saja, pepohonan di sekitar turut terkena imbasnya. Batang-batang pohon raksasa di sekitar terlihat remuk dan tampak bisa roboh jika kuhantam sekali lagi dengan serangan tadi. Seluruh kawanan Kelelawar Vampir Hitam langsung tertarik dengan keributan yang tercipta. Banyak dari mereka yang berbalik arah dan menuju kemari.
"Sial! Cepat lari!" teriakku.
Aku kembali memimpin jalan di depan. Di sekitar sini masih merupakan daerah pohon-pohon raksasa tumbuh. Jadi kawanan kelelawar itu masih bisa terbang di antara sela-sela pohon yang lebar.
Setelah sekian lama berlari, aku menemukan sebuah rongga di bawah akar pohon raksasa. Tanpa basa-basi aku segera menyeret Dimas dan Shella untuk masuk ke dalam. Rongga ini memiliki ruang yang cukup untuk kami bertiga.
Kawanan kelelawar itu mengikuti kami. Namun karena pintu masuknya yang sempit, hanya bisa dilewati satu atau dua kelelawar secara bersamaan. Aku dan Dimas dengan mudah melumpuhkan setiap kelelawar yang mencoba masuk. Berulang kali kami menusukkan belati dan pedang untuk menghalau mereka. Kawanan kelelawar itu tidak mudah menyerah. Setiap ada kelelawar yang mati, pasti selalu ada yang menggantikannya.
"Sial! Tak ada habisnya kalau seperti ini!" rutukku. Aku mengambil viglet dan mengarahkannya ke pintu masuk. "Kalian berdua berlindung di belakangku!"
Setelah memastikan Dimas dan Shella mengikuti arahanku, aku melepaskan gumpalan angin yang besar. Aku bisa merasakan angin yang menderu kencang dari ujung viglet. Setelah merapal, aku langsung melepaskan kekuatan Esze yang dikumpulkan. Serangan itu menghancurkan pintu masuknya sekaligus mencabik-cabik kelelawar yang ada di depan.