Chereads / Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir] / Chapter 25 - Chapter 25 "Hubungan yang Harus Dijaga"

Chapter 25 - Chapter 25 "Hubungan yang Harus Dijaga"

"Apa maksudmu?!" seru Dimas dengan nada yang tinggi.

"Baca saja sendiri surat ini!" balasku seraya memberi surat yang baru saja kubaca.

Pikiranku sangat kacau. Tanganku bergemetar seperti orang yang kedinginan, namun sebenarnya tidak sama sekali. Kusandarkan kepala pada sofa dan memejamkan mata seolah ingin melupakan apa yang baru saja masuk ke dalam kepalaku.

Surat itu berasal dari Indra yang sekarang berada di ibukota kerajaan, Lurivia. Setelah pergi ke sana untuk menjadi tentara, dia kerap mengirimi Shella surat untuk saling bertukar kabar. Biasanya isinya tentang kehidupan di ibukota dan bagaimana Indra dan teman-teman lainnya berlatih dengan keras. Namun surat yang datang kali ini bukanlah sesuatu yang bisa kubaca dengan antusias.

Di dalam surat itu mengatakan bila satu pasukan kavaleri elit ditugaskan pergi ke kota Glafelden, dan dia salah satu di antara mereka. Misi mereka adalah menjemput paksa 'seseorang tertentu' dari kota ini. Indra mengatakan kemungkinan besar target dari misi ini adalah aku. Karena komandannya pernah tanpa sengaja mengucapkan sesuatu tentang makhluk ras pertengahan.

Tentu saja aku terkejut bukan main. Mengapa mereka bisa mengendus tentang keberadaanku?

Padahal aku sudah sangat yakin berbaur dengan manusia lain di kota ini dengan sempurna, juga berinteraksi dengan normal pada penduduk kota. Sebisa mungkin aku bertingkah laku sewajarnya agar tak dicurigai sebagai orang yang mencurigakan. Satu-satunya yang bisa mendeteksi identitasku yang asli adalah Elvian seperti Almira yang bisa membaca hawa keberadaan Esze.

Apa mungkin ada manusia biasa yang bisa membaca hawa keberadaan Esze dan melaporkannya pada ibukota?

Atau mungkin ibukota memiliki bawahan Elvian yang ditempatkan di kota ini sebagai mata-mata?

Atau bisa jadi ....

"Ini pasti ulah si Pangeran Elvian itu!" ujar Dimas berang, tangannya meremas surat itu.

"Bagaimana bisa kau menarik kesimpulan tanpa bukti yang jelas?" protesku.

"Itu tidak sulit untuk dipikirkan."

Suara Grussel tiba-tiba saja bergema dari ambang pintu. Sepertinya dinding kayu rumah ini tidak bisa membuat ruangan ini kedap suara. Berita ini pun sampai pada telinga pria bajingan itu yang berada di teras depan. Ia mengambil surat dari tangan Dimas, lalu merentangkannya kembali agar dapat dibaca setelah diremas oleh Dimas. Kemudian pria tua itu berdehem sekali dan berlalu mendekati sofa.

"Begitu ceritanya," ucapnya setelah membaca isi surat itu. "Kalau harus menarik kesimpulan, aku setuju dengan ucapan Dimas."

"Apa kau bisa menjelaskan padaku alasannya?" Aku meremas tanganku. Merasa sedikit kesal dan marah karena dua orang ini telah menuduh penyelamat hidupku dengan tuduhan tidak jelas.

"Pikirkan ini, Anggi! Pangeranmu itu mungkin bukan putra mahkota, tapi ia tetaplah seorang anak raja. Menurutmu mengapa orang sepertinya bersikap baik kepadamu di saat semua Elvian memandang rendah selain ras mereka sendiri?"

"Tentu saja karena ia memang baik dan tak membeda-bedakan orang lain."

"Apa kau yakin begitu?" balas Grussel, sebelah alisnya naik dan berbentuk seperti ulat hijau yang melingkar. "Jangan terlalu naif, Nak! Tentu saja dia bersikap baik untuk mendapatkan kepercayaan darimu yang seorang Haier-Elvian. Ini hanya spekulasi saja, tapi aku curiga yang membocorkan rahasia tentang keberadaanmu pada negara ini adalah pangeranmu itu.

"Dengan begitu Kerajaan Lurivia akan memburumu, yang menjadikanmu mau tidak mau harus bergantung pada pangeran Elvian itu untuk lolos dari kejaran mereka. Sepertinya pangeran itu berniat untuk membuatmu jatuh ke dalam permainannya dengan menunjukkan bahwa hanya dia yang bisa melindungimu. Kamu perlu ingat, Haier-Elvian memiliki potensi dalam mengendalikan Esze lebih kuat dari siapa pun. Jika kau berada di sisinya, pangeran itu akan memiliki kedudukan yang kuat. Bisa saja kau akan digunakan sebagai alat untuk merebut posisi putra mahkota dari saudaranya."

"Itu bohong!!" teriakku dengan keras, membuat semua orang di ruangan ini terkejut. "Pangeran Keylan tidak mungkin berbuat seperti itu!"

Grussel terdiam sejenak. Memperhatikanku dengan tatapan tajamnya. Semakin lama dipandangi, aku semakin tidak merasa enak dengannya. Juga merasa bersalah karena telah berteriak di depannya dan menganggapnya membual.

Namun yang dikatakannya benar-benar hanya sebuah omong kosong tanpa bukti. Rasanya nyaris mustahil jika Pangeran Keylan bermuka dua. Kebaikan dan ketulusan yang ia tunjukkan padaku terasa begitu nyata. Semasa masa kelamku ketika di sekolah dulu, aku bisa mengetahui mana yang bermuka dua atau yang benar-benar tulus. Saat itu banyak sekali orang yang berpura-pura baik dengan membelaku ketika dirundung. Namun kenyataannya mereka malah menikmati perundungan yang terjadi padaku seperti halnya menonton pertunjukan sirkus. Aku bahkan sampai hafal gelagat dan karakter seorang penjilat.

Berbekal pengalaman itu, aku tidak melihat sedikit pun adanya sikap-sikap yang dimiliki seorang penjilat dari Pangeran Keylan.

Grussel bangkit dari sofa dan mendekat ke arahku. Telapak tangannya yang besar menepuk pelan bahu kananku. "Mau percaya atau tidak itu terserah kau, simpan saja ucapanku dalam pikiranmu. Yang jelas, kau sudah tidak bisa berada di kota ini lagi. Sepasukan tentara elit sedang mengejarmu kemari, yang artinya mereka takkan sekedar menjemputmu dengan baik-baik. Kau harus segera pergi."

"Tapi ... aku harus ke mana?" tanyaku dengan bingung. Jika kota ini sudah tak bisa kutinggali lagi, aku tidak punya tempat lagi untuk bernaung.

"Bukankah kau sebelumnya bilang ingin melakukan perjalanan? Karena itulah kau dan Dimas selalu berlatih bertarung dengan intens. Tidak ada waktu yang pas selain sekarang, bukan?"

"Tidak mungkin. Aku belum cukup kuat untuk memulai perjalanan itu."

Grussel mencengkeram kedua bahuku dan berkata dengan lugas. "Dengar, kurasa inilah saat yang tepat! Mungkin memang ada satu pasukan yang sedang mengejarmu. Tapi karena perjanjian yang dibuat antar dua negara, mereka tidak akan bisa masuk ke wilayah Elvian karena akan dianggap sebagai sebuah invasi.

"Kau turuti saja permainan kecil pangeran tersayangmu itu, tapi jangan sampai lengah. Karena ia bisa saja memperdayamu di setiap kesempatan kecil. Aku tahu kau masih hijau untuk memulai perjalanan, namun kau harus tetap melakukannya. Entah hambatan macam apa yang akan kau temui nanti, tapi aku yakin kau bisa melaluinya."

Aku tertegun sejenak. Tubuhku gemetarku berusaha menjauhi Grussel. Pikiranku sangat kacau dan tidak bisa berpikir jernih. Ada satu pasukan yang ingin menangkapku, sementara di depan ada sebuah perjalanan yang penuh dengan bahaya. Ini keadaan yang gawat, seakan aku tengah dihadapkan dengan dua buah revolver dari arah yang berlainan.

Keringat mulai membasahi punggung. Tenaga seakan hilang dari tubuhku yang nyaris terjengkang ke belakang. Untung saja ada Dimas yang sigap menopangku. Aku benar-benar ingin istirahat dan kalau bisa, melupakan semua hal ini.

"Kau harus membuat pilihan, Nak! Sekarang atau tidak sama sekali!" tegas Grussel.

"Kau baik-baik saja, Anggi?" tanya Dimas, wajahnya diliputi kecemasan. "Wajahmu terlihat pucat sekali."

Namun aku menghiraukannya dan menatap Grussel dengan tatapan sayu. "Aku ... akan mencoba melakukannya." Kemudian mencoba bangkit dari atas lantai dengan bantuan uluran tangan Dimas.

"Hei, kau jelas tidak baik-baik saja!"

"Jangan hiraukan aku! Grussel benar, aku harus memulai perjalanan ini," ujarku dengan lirih.

"Kalau begitu biarkan aku melindungimu. Aku takkan lagi membiarkanmu ke dalam bahaya sendirian."

Aku langsung menatap Dimas, terkejut dengan apa yang dikatakannya barusan. Jarak kami begitu dekat hingga aku bisa merasakan setiap helaan napasnya. Matanya begitu tegas, tidak ada tanda-tanda keraguan di dalamnya. Seakan mulutnya berkata dengan mantap dan tenang.

Memang, aku sudah tahu bahwa Dimas akan turut serta bersamaku. Tapi aku tidak menduga ia akan mengatakan hal seperti itu. Sedikit memalukan, tapi juga membuatku bahagia. Perasaan hangat tiba-tiba mencair di dalam hati. Mengusir segala kerisauan serta rasa takut yang menyelimuti. Entah mengapa di mataku ia begitu bersinar, layaknya sebuah lilin dalam kegelapan. Aku tidak bisa menahan rasa bahagia ini. Tanganku meremas erat jemarinya. Kalau saja hanya ada kami berdua di ruangan ini, pasti aku sudah memeluknya.

"Ya, terima kasih."

Kata yang terucap dari mulutku terasa begitu tulus dari dalam relung hati terdalam. Belum pernah aku merasa sangat berterima kasih pada seseorang selain Dimas. Ia benar-benar rekan yang menemaniku di setiap waktu. Aku bersyukur telah diberikan berkah yang luar biasa oleh Tuhan.

Pasti, aku akan menjaga hubungan ini sampai kapan pun.