"Berburu? Kau ingin berburu sekarang?" Dimas menatapku tidak percaya.
Aku mengangguk pelan. "Besok malam Grussel menerimaku kembali untuk ikut dalam perburuan. Setelah seminggu tidak melakukan apa pun, aku takut bila insting dan kemampuan milikku berkurang. Lagipula, aku bukan pemburu yang lihai. Aku butuh sedikit latihan pribadi. Harusnya kau tahu itu."
"Tapi berbahaya sekali kalau kau menyebrang ke wilayah Elvian."
"Tentu saja tidak. Aku takkan menyebrang sungai, cukup hutan di sekitar kota saja," ujarku seraya tersenyum lebar.
Pria itu menghela napas pelan dan mengusap kepalaku. "Baiklah, dengan satu syarat. Aku ikut denganmu untuk memastikan kau baik-baik saja."
"Tidak masalah."
Langit malam bagaikan kanvas raksasa yang dihiasi oleh jutaan bintang yang berkelap-kelip. Rubiel memancarkan sinarnya yang temaram, menerangi pepohonan dan rerumputan yang basah oleh embun. Angin malam bertiup sepoi-sepoi, membawa aroma tanah yang segar dan bunga-bunga yang harum. Di bawah langit malam, kami meninggalkan menara itu. Meniti langkah ke arah markas Kelam Malam.
Sekitar setengah jam berjalan, kami tiba. Aku menunggu di depan toko samping markas, sementara Dimas mengambil perangkat senjataku. Ini masih belum saatnya aku kembali. Jika memaksa masuk, Grussel akan mengusirku dan mungkin akan menambah hukumanku. Pria tua itu memang disiplin sekali soal waktu. Lewat satu menit saja, sudah dianggap terlambat. Sudah berkali-kali aku terkena pukulannya karena perburuanku lewat dari tenggat waktu yang diberikan.
Lima belas menit berlalu. Dimas keluar mengendap-endap lewat belakang. Sudah tentu akan jadi pertanyaan besar dari orang markas bila ia kedapatan membawa senjataku keluar dari pintu depan. Aku langsung memakai perlengkapanku. Sebuah belati sepanjang tiga puluh senti kugantungkan di pinggang. Kemudian menyampirkan kantung panah dan sebuah busur pendek pada punggung.
"Ayo berangkat!" ucapku penuh semangat. Kami bergegas meninggalkan tempat itu dan menuju ke luar kota.
Saat melihat Dimas, dia juga sudah mempersenjatai dirinya dengan sebilah pedang pendek. Benda itulah yang sering digunakan untuk menghabisi buruan kami. Selain belajar tentang berburu, kami berdua juga diajari tentang bela diri dan menggunakan senjata di Kelam Malam. Dimas memilih ilmu berpedang karena katanya, di dalam seni bela diri Wushu—yang pernah ia pelajari—terdapat seni berpedang. Jadi, ia sudah tahu dasar-dasarnya. Atau begitulah menurutnya.
Sementara alasanku memilih ilmu panahan karena terinspirasi dari berbagai game yang kumainkan. Setiap kali bermain game petualangan-fantasi, aku pasti selalu memilih karakter pemanah. Karena kupikir seorang pemanah itu sangat keren. Alasan kedua adalah tubuh baruku. Sekarang aku bukan lagi manusia, tapi Haier-Elvian. Ras yang memiliki pendengaran dan penglihatan super tajam. Dengan keistimewaan ini, menjadi seorang pemanah sangatlah cocok untukku. Aku bisa menembak target buruan dari jarak yang sangat jauh.
"Hei!" seru Dimas.
"Apa?"
"Kita takkan berburu lama-lama. Cukup temukan satu hewan, lalu pulang."
"Iya, iya," jawabku malas.
Jujur saja, aku cukup sebal dengan sikapnya ini. Terlalu mengkhawatirkan sesuatu. Ia seperti seorang ibu yang cemas setiap kali anaknya pergi bermain keluar. Tidak boleh inilah, tidak boleh itulah. Belum lagi mulutnya yang cerewet. Entah mengapa sejak berada di sini, ia selalu cemas berlebihan seperti itu.
Setelah sekian lama berjalan, gerbang kota sebelah barat terlihat beberapa ratus meter di depan. Aku langsung menyapa penjaga yang tengah menutup separuh gerbang. Mereka tahu kami pemburu hewan langka. Entah apa yang pernah dilakukan Grussel, bisa jadi dia menyuap, atau malah mengancam mereka. Para penjaga ini selalu menyilakan kami keluar-masuk sesuka hati. Cukup sebutkan nama Grussel, mereka akan membiarkanmu melintas gerbang. Bahkan bila mungkin, mereka akan menggelar karpet merah.
Hingar bingar kota mulai tertelan kesunyian malam tatkala punggung kami menjauhi gerbang. Hanya suara serangga dan gemeresik dedaunan kering yang gugur tertiup anginlah yang ada di sekitar. Pepohonan di sini tidak rapat, karena sudah ditebangi penduduk kota untuk membuka ladang dan membuka jalan. Sayap kunang-kunang yang bekerlip menuntun kami di pematang sawah yang gelap. Terus mengarah ke hutan, sebelum akhirnya berpisah di tepi pesawahan.
Kakiku langsung menginjak tanah yang keras begitu sampai di mulut hutan. Bebatuan kecil berserakan seakan ingin mencelakakan siapa pun yang tak berhati-hati.
Setengah jam berjalan, pepohonan semakin rapat dan gelap. Cahaya Rubiel pun tidak nampak karena awan tebal. Bagiku ini tidak masalah. Mataku masih dapat melihat sebaik saat siang hari. Berbeda dengan Dimas yang hanya manusia biasa, dia masih memerlukan cahaya untuk melihat di kegelapan. Karena itulah ia memegang sebuah lentera kecil di tangannya.
Benda itu dapat menerangi beberapa meter di sekitarnya. Tidak terlalu luas memang. Namun justru itulah yang terpenting bagi pemburu seperti kami. Kita tidak bisa membiarkan orang lain tahu lokasi kita karena cahaya yang terlalu terang, bukan? Benda ini juga mudah dimatikan dan dinyalakan. Sehingga memudahkan untuk segera bersembunyi bila ada Elvian mendekat.
Aku memberi isyarat tangan pada Dimas untuk berhenti. Telingaku menangkap sebuah suara. Kupejamkan mata berkonsentrasi agar dapat menangkap jelas suara itu. Seperti proyeksi pada layar, aku bisa melihat jelas dalam pikiranku apa pun yang berada di sekeliling, walau dengan mata tertutup. Seperti Dimas yang mengamatiku dengan wajah tegang. Dedaunan yang gugur jatuh menimpa rambutku. Juga ratusan koloni semut yang tengah membangun sarang raksasa tepat di bawah kakiku. Semua dapat terlihat dari segala arah dengan sangat jelas. Aku menyebut kemampuan ini dengan Indera Super.
Lalu, aku mengarahkan Indera Superku lebih jauh lagi pada sumber suara sebelumnya. Proyeksi dalam pikiranku menembus jauh ke kedalaman hutan. Melewati barisan pohon pinus yang menjulang tinggi. Di balik semak belukar dekat sungai kecil yang bergemericik pelan, ada seekor rusa dewasa yang tengah menyantap buah-buahan. Suara yang kudengar berasal dari buah yang hancur ketika dikunyah oleh gigi-giginya. Badannya gemuk, tanduknya besar. Sepertinya ini buruan yang bagus. Beruntung sekali menemukannya secepat ini.
Lantas aku menghentikan Indera Superku, menoleh ke arah Dimas. "Ada seekor rusa besar lima ratus meter di sebelah utara. Kita harus segera ke sana sebelum binatang itu pergi."
"Kalau begitu, ayo!"
Detik berikutnya, kami berdua sudah melesat secepat kilat. Melewati pepohonan dan jalan berbatu. Aku di depan memimpin jalan, sementara Dimas berada di belakang. Aku berlari sembari mengaktifkan kembali kemampuan Indera Super, khawatir bila ada bahaya mendekat. Walau radiusnya tidak luas, hanya beberapa meter saja.
Belajar dari kebodohanku minggu lalu, aku selalu siap dan waspada setiap kali pergi ke dalam hutan. Di hutan yang masih termasuk ke dalam wilayah manusia ini, memang tidak ada Elvian. Akan tetapi yang namanya bahaya pasti selalu mengancam dari mana pun. Jadi aku mengaktifkannya untuk berjaga-jaga.
Tanganku kembali memberi isyarat untuk berhenti saat berjarak seratus meter dari rusa itu. Dimas mematikan lentera kecilnya, dan bergantung padaku soal penglihatan. Binatang itu bisa saja kabur begitu mendengar suara langkah kaki kami. Tentu aku tidak mau mengambil risiko itu. Kami berdua berjalan mendekat dengan sangat hati-hati. Pelan tapi pasti, aku mulai mendekati target.
Kuintip dari balik pohon berakar besar. Di dekat semak belukar di depan sana, seekor rusa jantan tengah menyantap buah-buahan yang jatuh dari pohon. Tanduk kembarnya sangat besar. Rusa memang bukan hewan mistis, namun tanduknya tetap bisa dijual dengan harga cukup tinggi. Dompetku akhirnya bisa terisi lagi, setelah selama seminggu ini berkurang terus.
Aku menganggukkan kepala ke arah Dimas yang bersembunyi di pohon sebelah. Ia tahu maksudku. Ini rencana yang sangat sederhana. Aku memanah kakinya, dan ia yang akan menghabisi binatang buruan. Ini strategi standar bila aku berburu bersamanya.
Masih dengan pandangan terpaku ke depan, aku mengambil sebuah anak panah dan meletakannya pada busur. Aku mengambil sikap siaga dan menarik busurku hingga maksimal. Senjata yang kugunakan adalah busur pendek yang tak memiliki jarak tembak panjang. Namun ini sudah cukup untuk melumpuhkan mangsa yang tepat berada di depanku.
Kuambil napas panjang. Menajamkan penglihatan pada mangsa. Dalam satu helaan napas berikutnya, aku melepas anak panah itu.
Rusa itu menjerit ketika anak panahku tepat mengenai kakinya. Tanpa pikir panjang, Dimas langsung maju menerjang. Melesakkan pedang pendeknya ke tubuh rusa itu, dan segera menghabisinya.
"Bagus, Dimas!"
Aku berlari menghampirinya. Menyaksikan rusa jantan itu meronta menjelang ajalnya. Matanya masih menatapku kuat. Mungkin tengah bertanya 'Apa salah yang telah kuperbuat padamu?'.
Sudah berkali-kali aku mengalami hal ini, namun tetap saja membuat perasaanku tak enak setiap kali memandangi buruanku. Dimas sudah mulai memotong tanduk rusa ini dengan pedangnya, tak peduli walau hewan ini masih belum sepenuhnya mati.
Aku melepaskan anak panah terakhir tepat di tengah dahi rusa, guna membebaskannya dari penderitaan. Sedikit demi sedikit, rona kehidupan mulai pudar dari matanya. Hingga beberapa detik kemudian ia benar-benar mati. Kemudian aku berjongkok. Menutup mata yang terbelalak, serta mengelus-elus bulunya. Itu ritual khusus milikku pada setiap hewan buruan yang kubunuh. Hewan-hewan itu mati karena keegoisanku. Jadi kupikir, setidaknya aku bisa memberi mereka penghormatan terakhir.
"Bisakah kau berhenti mendoakan binatang itu? Aku butuh bantuan!" seru Dimas. Pria itu sudah berhasil memotong kedua tanduk rusa raksasa.
"Aku bukan mendoakannya, tapi memberinya penghormatan terakhir."
"Itu sama saja, bodoh! Ayolah, bantu aku mengulitinya setelah ini!"
Jika aku mengulur waktu lagi, ia pasti akan terus meneriakiku. Jadi aku mau tak mau segera bergabung dengannya. Kami berdua menguliti rusa raksasa yang sudah mati. Karena kulit rusa ini bisa dijadikan berbagai aksesoris dan bahan baku pakaian. Memang ada peternak yang mengembangbiakkan rusa di dalam kota. Namun tentu kualitasnya beda jauh dengan rusa liar yang sangat tebal.
Ketika sedang asyik menguliti rusa, telingaku tiba-tiba menangkap suara gemuruh yang mengerikan.
"Ada apa?" tanya Dimas yang melihatku tiba-tiba dalam posisi siaga.
Aku mengaktifkan Indera Super dan mencoba melihat proyeksi di sekitar. Walau sudah diperluas hingga radius maksimalku yang mencapai beberapa ratus meter, aku tetap tak melihat apa pun. Hanya pepohonan dan semak belukar saja yang ada. Akan tetapi, suara itu cukup jelas dan getaran tanah pun terasa menggebu-gebu. Sepertinya itu bukanlah binatang, melainkan manusia.
"Sepertinya ada sekelompok orang menuju kemari. Banyak sekali," ujarku.
"Ayo kita bersembunyi!"
"Tapi di mana? Di sekitar kita cuma ada pepohonan saja."
Dimas terdiam sejenak. "Itu tempat yang bagus!"
Begitulah akhirnya, aku dan Dimas bersembunyi di atas pohon. Di hutan ini, pepohonan tumbuh tinggi dan besar. Jarak antara permukaan tanah dan diriku sekitar sepuluh meter. Kami aman untuk sementara, mungkin.
Suara gemuruh itu semakin terdengar jelas walau tidak menggunakan Indera Superku. Dimas yang hanya manusia biasa pun, dapat menangkap suaranya. Wajahnya menegang sambil memperhatikan arah sumber suara.
Tidak lama kemudian, muncul rombongan kereta kuda yang melaju kencang. Mereka tampak seperti barisan semut, berbaris ke belakang dalam satu garis. Pohon tempat kami berdua bersembunyi bergetar ketika kelompok itu melintas. Dari pada sebutan kereta kuda yang berisi penumpang, akan lebih tepat bila menyebut kereta yang ditarik oleh kuda-kuda itu adalah kargo. Kereta khusus pedagang untuk mengangkut macam-macam barang dagangan.
"Sepertinya mereka adalah kelompok dagang," kata Dimas pelan.
"Tunggu, bukannya pedagang kota biasa melakukan ekspedisi pagi hari?"
Sejauh yang kutahu para pedagang kota melakukan ekspedisi ketika matahari mulai terbit. Mereka mengharapkan berkah dari Dewa Matahari saat melakukan perjalanan.
"Itu artinya mereka bukan kelompok dagang negeri ini. Jika melihat dari pakaian dan kuda mereka yang dilapisi kulit binatang tebal, kemungkinan mereka berasal dari Sigrotia Iuna Utara. Negeri yang terkenal dengan musim dingin ekstremnya," jelas Dimas.
"Aku tidak pernah melihat mereka sebelumnya."
"Tentu saja. Karena mereka masuk ke negeri ini dengan cara menyusup. Pasti untuk menghindari bea cukai negeri ini."
"Berani sekali mereka menyusup dengan jumlah sebanyak ini, ya?"
"Mungkin saja mereka tahu titik-titik lemah pengawasan ksatria patroli negara ini. Jadi mereka percaya diri dengan aksi gila ini."
Setelah beberapa waktu berselang, kelompok dagang berkuda itu menjauh. Aku dan Dimas memutuskan segera turun dari atas pohon dan segera kembali ke kota. Hari sudah malam. Mungkin kali ini aku menghindari masalah. Tapi siapa tahu nanti bertemu masalah besar bila berlama-lama di hutan ini.
Padahal belum ada satu menit sejak aku mengatakannya, masalah datang kembali. Kecerobohanku terulang. Ketika tengah melompat turun ke dahan yang berada di bawah, tiba-tiba kakiku tergelincir karena salah mengambil pijakan. Dahan yang kuinjak terlalu rapuh. Tak pelak, dahan itu langsung patah dan menghempas tubuhku jatuh dari ketinggian.
"ANGGIII ...!!" teriak Dimas dengan ngeri.
Di saat berpikir tubuhku bakal remuk menghantam tanah, keajaiban terjadi. Sebuah kargo dengan atap terbuka melintas tepat di bawahku, mungkin tertinggal dari kelompoknya,. Menghalangiku dari kemungkinan yang akan membuatku patah tulang, memar, atau lebih parah lagi tewas.
*BRUK!
Punggungku menghantam sebuah peti kayu dengan keras, hingga membuatnya hancur berantakan. Buah-buahan yang berada di dalamnya tercecer, sebagian besar hancur tertimpa tubuhku. Meninggalkan noda-noda di seluruh pakaian. Kepalaku membentur benda yang entah apa. Membuatku merasakan rasa sakit luar biasa.
Kesadaranku perlahan memudar pelan tapi pasti. Seluruh tenaga meninggalkan tubuh ini. Merana di tengah kegelapan. Hal terakhir kali kulihat adalah Dimas yang berlari kencang mengejarku di belakang kargo.
Aku tersenyum kecut, dasar idiot! Manusia biasa sepertimu mana bisa mengejar laju kargo berkuda ini?
Dasar dia itu ... selalu saja cemas berlebihan.
Dia benar ... benar temann ... sejati. Tapi dia—
... –mang bodohh ....