Chereads / Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir] / Chapter 15 - Chapter 15 "Pertemuan Takdir"

Chapter 15 - Chapter 15 "Pertemuan Takdir"

Beberapa waktu telah berlalu. Rasa nyeri pada kepalaku telah mereda sedikit demi sedikit. Tidak sesakit seperti sebelumnya, kesadaranku pun kembali perlahan. Berlatarkan langit malam dengan bintang gemintang, dedaunan bergerak dengan cepat seperti jatuh dari air terjun. Permukaan tempatku berbaring berulang kali bergoyang dengan kasar.

Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Belasan kotak dan keranjang kayu tersusun rapi. Hanya satu kotak di dekatku saja yang hancur berantakan dan menumpahkan isinya.

Tidak salah lagi, aku masih berada di kargo tempatku terjatuh.

Saat mencoba bangun, rasa nyeri kembali datang. Refleks tanganku segera memegangi kepala, hingga rasa sakit itu berangsur-angsur hilang dengan sendirinya. Aku terduduk di salah satu sudut. Dinding kargo ini terbilang cukup tinggi, walau sudah berdiri pun aku tetap tidak bisa melihat pengendaranya. Atap terbukanya membuat angin dingin menyelimuti tubuhku. Aku mengigil kedinginan. Kemudian menarik sebuah kain penutup dari atas sebuah keranjang kayu guna menjaga badan tetap hangat.

Sekali lagi aku mengamati diriku dengan seksama. Selain memastikan seluruh bagian tubuhku masih tetap utuh, aku mendapati busur pendekku patah. Mungkin tertindih olehku saat terjatuh. Begitu pula dengan beberapa anak panah yang ada, hingga tersisa beberapa buah saja yang dapat dihitung oleh jari.

Kudongakkan kepala ke atas. Entah aku sedang mengarah kemana, yang bisa kulakukan hanyalah menunggu hingga kargo ini berhenti. Aku tak bisa loncat begitu saja dari atas kargo yang sedang melaju dengan kencang. Atau tubuhku akan mengalami luka serius. Kujatuhkan pandanganku ke atas lantai kayu. Menenggelamkan diri ke dalam lautan memori. Terakhir kali kuingat, Dimas tengah mencoba mengejar kargo ini. Kira-kira apa yang ia lakukan sekarang? Apa dia masih mengejar kargo ini?

Tapi tampaknya mustahil. Hanya orang gila yang melakukan hal itu. Rasanya tidak mungkin dia mau menyusahkan dirinya sejauh itu. Dia itu tipe orang yang hidup dengan simpel. Teringat saat berburu beberapa waktu silam, pria itu mencoba memancing harimau hutan dengan umpan sisa makan malamnya. Berharap keberuntungan akan membawa harimau ke dalam perangkapnya. Sumpah, itu bego banget.

Memang seperti itulah dia. Selalu menggampangkan semuanya. Paling-paling saat ini dia kembali ke markas dan mengira aku akan pulang dengan sendirinya. Namun jauh di dalam hati, entah mengapa aku berharap sifat cemas berlebihan miliknyalah yang timbul saat ini.

Jujur, aku takut.

Aku ingin diselamatkan olehnya sekarang.

 

*************

 

Waktu kembali terlewat ketika aku jatuh tertidur. Kargo ini telah berhenti sempurna. Aku mengusap-usap kedua mataku, kemudian mengerjapkannya berulang kali. Kudongakkan kepala ke atas. Langit pagi sudah datang. Cahaya matahari dengan lembut menerpa wajahku. Membelai dengan kehangatan seperti sedang memberiku kekuatan.

Sesaat kemudian aku mendengar percakapan orang-orang di luar kargo.

"Hei! Jangan sampai jatuh, bodoh!"

"Maaf, Bos!"

Suara riuh orang banyak terdengar kencang. Begitu pula dengan bunyi langkah kaki, dentingan logam, serta barang-barang dari kargo lainnya yang sepertinya berada di sekitar sini. Membuat suasana hutan ini menjadi ramai.

 "Cepat! Bongkar muatan kalian dan masukkan ke kereta kuda kaum Telinga Panjang itu, atau kita takkan dibayat!"

Perkataan dari salah seorang yang terdengar pemimpin mereka, membuatku berjengit. Elvian? Tunggu, tunggu, tunggu! Kalau tidak salah, Dimas bilang mereka ini kelompok dagang dari Sigrotia Iuna Utara. Apa mereka menyusup ke Kerajaan Lurivia untuk bertransaksi dengan kaum Elvian?

Di saat aku termenung, sebuah suara langkah kaki yang mendekat mengagetkanku. Aku langsung berdiri, instingku refleks memberitahuku untuk segera bersembunyi. Lantas dengan cekatan kusingkirkan busur pendekku yang patah ke sudut kargo. Tidak lupa mengembalikan kain yang kugunakan sebagai selimut, pada keranjang kayu untuk menutupinya.

Kargo ini tidak memiliki banyak ruang untuk menyembunyikan sesuatu yang besar sepertiku. Sekali seseeorang masuk kemari, maka habislah aku. Pandanganku merambah ke sekitar. Ada sebuah tong kayu yang cukup besar dan terlihat solid. Tanpa pikir panjang, aku membuka penutup tong itu dan bersembunyi di dalamnya. Sialnya, tong ini berisi penuh dengan semacam acar basah. Alhasil, kini seluruh tubuhku basah dan berbalur bau cairan fermentasi yang sangat asam.

"Duh! Kenapa sih, aku sial banget?" umpatku dalam hati. Kalau saja situasinya lebih baik, pasti aku akan marah-marah.

Saat suara langkah kaki itu tepat di luar kargo, aku sudah menutup kembali tong itu. Tong kayu ini sangat rapat, aku benar-benar tak bisa melihat apa pun keluar. Benar-benar gelap di dalam sini. Hal yang masih kusyukuri adalah adanya dua buah lubang udara seukuran jempol yang bisa kugunakan untuk bernapas dan mendengar.

"Ya ampun! Kenapa barang daganganku berantakan seperti ini?" teriak salah seorang pedagang. Dari suara beratnya, sepertinya ia adalah seorang pria paruh baya. Hal itu lantas mengundang beberapa orang lainnya.

"Kau benar-benar sedang sial, Pak Tua!"

"Mungkin ada sesuatu yang jatuh. Itu salahmu sendiri yang membiarkan atap kargomu terbuka, Pak Tua!"

"Makanya, jangan tertinggal saat konvoi, Pak Tua!"

"Berhenti menyalahkanku, Anak-Anak Ayam! Apa kalian tidak tahu sopan santun? Sekarang, bantu aku membongkar muatan yang masih utuh!"

Pria-pria itu lalu masuk ke dalam kargo dan mulai mengangkuti barang-barang. Aku langsung terkesiap. Panik bila mereka menemukanku di dalam tong ini. Entah apa yang akan mereka lakukan padaku nantinya. Berhadapan dengan pelanggar hukum seperti mereka, aku harus bersiap untuk menghadapi situasi terburuk.

Setiap detik terasa berjalan dengan lambat tatkala pria-pria itu membawa keluar kotak-kotak kayu dan keranjang yang berisi dagangan. Suara langkah kaki salah seorang dari mereka mendekat. Jantungku mencelos. Dadaku terasa sesak. Berharap ia akan mengabaikan tong ini dan membiarkanku di sini. Namun itu mustahil. Karena sedetik setelahnya, dia mencoba mengangkat tong tempatku bersembunyi. Aku nyaris berteriak ketika ia hampir menjatuhkan tong ini.

"Astaga! Berat sekali benda ini. Apa isi tong ini, Pak Tua?"

"Itu acar terbaik dari perkebunanku. Harganya amat mahal. Awas saja kalau kau sampai menjatuhkannya!"

"Sial! Hei! Cepat bantu aku, Babi Pemalas!"

"Ah, baik! Tunggu sebentar!"

Kargo ini terasa nyaris hancur saat si Babi Pemalas masuk. Entah berapa berat tubuh pria ini. Seluruh kargo bergoyang setiap kakinya melangkah. Aku nyaris berteriak lagi sewaktu ia mengangkat tong ini. Kalau tidak kututup mulutku dengan tangan, keberadaanku di sini pasti ketahuan.

Pria yang dijuluki Babi Pemalas ini mengangkut tong beserta diriku di dalamnya keluar dari kargo. Aku menanti dengan cemas hingga ia meletakkan tong ini di atas permukaan tanah. Setelah itu ia pergi menjauh. Aku tak tahu apa yang terjadi di luar. Aku juga tak bisa sembarang menggunakan Indera Superku.

Tapi yang kutahu pasti, ini bukan saat yang tepat untukku keluar.

Situasi di luar sana sepertinya masih ramai dengan para pedagang dan para Elvian. Aku tahu di sekitar ada beberapa orang dari kaum telinga panjang itu, karena percakapan mereka menggunakan bahasa Elvian. Sejak datang kemari, entah mengapa perbedaan bahasa yang ada di dunia ini bukanlah masalah besar bagiku. Seakan sejak awal, aku memang sudah memahami semua bahasa yang ada di dunia ini.

"Sepertinya ini sudah semuanya," ujar salah seorang Elvian.

"Kalau begitu cepat bayar mereka dan lekas kembali. Aku tidak tahan lagi bila harus berlama-lama dengan makhluk rendah seperti mereka."

"Lekas kembali?" tanyaku dalam hati.

Belum sempat rasa penasaranku terjawab, tong tempatku bersembunyi terasa kembali bergerak. Bukan karena diangkut atau dibawa oleh seseorang. Gerakan ini lebih lembut dan stabil. Mengacu pada perkataan para pedagang sebelumnya, sepertinya aku berada di kereta kuda Elvian.

Wajahku pucat seketika. Kemudian menyalahkan diri sendiri yang harus terjebak ke dalam takdir sialan ini. Keringat mengucur deras dari dahiku. Tong ini terasa semakin sesak. Jika terus begini, pasti aku akan terbawa ke wilayah Elvian. Jalanku untuk kabur akan semakin sulit jika itu terjadi.

Entah apa yang merasuki pikiranku, aku menggunakan Indera Super untuk mengamati keadaan di sekitar. Aku berhasil melihat seluruh isi kereta kuda ini. Besar kereta ini lebih besar dari kargo pedagang sebelumnya. Mampu menampung banyak barang dalam sekali jalan. Tong tempatku bersembunyi terletak di tengah-tengah muatan. Ditindih oleh beberapa kotak kayu kecil yang menghalangi jalan keluarku. Butuh kekuatan besar untuk menyingkirkannya.

Kemudian aku melihat lebih luas lagi keluar kereta. Ada belasan Elvian yang mengawal rombongan lima kereta kuda. Hal yang unik dari kereta kuda ini adalah, mereka tak mengekang kuda penarik. Hanya menyampirkan tali pada badan kuda. Mereka juga tak memecut badan kuda untuk membuat hewan itu berjalan. Hanya perlu diperintah saja, kudakuda itu langsung mengerti. Aku berganti pandangan ke salah seorang Elvian. Ia tampak cukup tua untuk ukuran Elvian. Usianya mungkin sudah mencapai seribu tahun. Sorot matanya tajam. Aku merasakan pandangannya menusuk jantungku saat ia tiba-tiba melihat ke arahku.

Sontak aku menghentikan Indera Superku.

"Berhenti!" perintahnya. Suara sepatu miliknya terdengar menggentarkan hati begitu menjejak tanah setelah turun dari kursi depan kereta kuda.

Jantungku terasa berhenti berdetak ketika ia membuka pintu kereta ini. Aku menahan napas, berpura-pura menjadi benda mati guna mengelabuinya. Tapi itu tidak menghentikannya sama sekali. Pria tua itu justru merangsek masuk ke dalam. Mati-matian aku menahan hawa keberadaan dan aura Eszeku. Dadaku sudah mengempis. Wajahku mungkin sudah membiru sekarang.

Tapi aku harus menahannya. Entah apa yang dilakukan pria itu. Sepertinya dia tengah mengamati muatan kereta dengan cermat. Yang jelas aku tahu ia berada di dalam kereta karena hawa keberadaannya yang besar. Satu detik berlalu bagai seabad. Satu menit terlewat seperti satu milenium. Semakin aku bertahan, semakin membuatku lupa waktu yang sudah berjalan.

"Ada apa, Kapten?"

"Tidak ada. Mungkin hanya firasatku saja." Kemudian suara pria tua itu menjauh, disusul dengan bunyi pintu kereta yang menutup. "Percepat laju kereta! Kita harus sampai di kota secepatnya."

Kereta kuda kembali bergerak maju. Aku langsung mengambil napas lega. Merasa tidak cukup, aku memperbesar lubang di sisi tong dengan belati kecil yang kusampirkan di pinggang. Membuat sirkulasi udara lewat celah kecil dan membiarkan udara segar masuk. Kejadian tadi membuatku panik setengah mati dan bergelimang keringat. Acar-acar basah ini justru membuat tong ini menjadi panas. Aku mengibas-ngibaskan tanganku ke leher.

"Sepertinya mustahil lolos dari Elvian," gumamku. "Lebih baik menunggu waktu yang tepat untuk kabur."

Aku menunggu dan terus menunggu. Kereta kuda ini berjalan cukup lambat. Semakin lama, aku semakin tidak tahan berada di dalam tong sialan ini.

Sekitar satu jam kemudian, kereta berhenti. Bunyi pintu kereta terdengar kencang saat terbuka lebar. Dari lubang kecil yang kubuat sebelumnya, aku melihat bayang-bayang pasukan Elvian merangsek masuk. Mereka mulai memindahkan muatan dalam kereta ke tempat lain. Aku mulai pasrah berada di dalam tong ini. Merasa acuh kemana mereka akan membawaku pergi. Terakhir kali kutahu, beberapa orang Elvian membawaku dalam sebuah gerobak.

Aku meringkuk di dalam tong. Menundukkan kepala dan berharap hari ini cepat berlalu. Aku bisa menyelinap keluar dari wilayah Elvian dan kembali ke kamarku yang hangat. Kurasa, lebih baik dihajar dan dimaki oleh Grussel dari pada terjebak dalam situasi ini. Setidaknya rasa sakit dan takut itu bisa cepat hilang. Tidak seperti sekarang yang tak tahu kapan kesengsaraan ini akan berakhir.

 Entah berapa lama aku berada di dalam tong kayu yang sempit dan berbau asam ini. Mungkin sudah lewat beberapa jam. Kedua tungkai yang kutekuk sampai kesemutan dan keram karenanya. Sekitar tiga puluh menit kemudian, aku menyadari tong ini sudah berhenti bergerak sepenuhnya. Entah orang-orang itu meletakannya di mana. Tampaknya para Elvian itu sudah meninggalkanku di sini sendiri.

Aku belum berani bergerak. Lima menit berlalu. Setelah memastikan tak ada lagi orang yang berlalu-lalang di sekitar sini, barulah aku memberanikan diri menggunakan Indera Super dalam area yang sempit. Proyeksi dalam pikiranku menggambarkan tong ini berada di sebuah ruangan yang gelap. Yang sepertinya adalah sebuah gudang. Aku menyimpulkannya setelah melihat tumpukan barang-barang yang menggunung.

Untunglah tong kayu tempatku bersembunyi tidak ditindih dengan barang lain, jadi aku bisa dengan mudah membuka penutup tong ini. Aku segera keluar dari tong ini. Tentu karena aku tak tahan lagi dengan bau acar-acar itu. Aku menyandarkan punggungku pada dinding, lalu meluruskan kedua kaki yang gemetaran.

Seluruh badan dan bajuku basah dan berbau acar. Meski sudah kulap dengan sebuah kain yang kudapat dari ruangan itu. baunya tetap tidak mau hilang.

"Bau banget! Kayaknya ini gak bisa hilang kalau tidak mandi," keluhku dengan gusar.

Dengan aroma menyengat seperti ini aku bisa jadi perhatian Elvian yang memiliki indera penciuman super tajam. Kelihatannya aku harus menghilangkan bau asam yang menjijikan ini dulu sebelum menyelinap pergi dari sini.

Waktunya telah tiba, saatnya pergi. Aku juga sudah cukup beristirahat. Terlalu berisiko berlama-lama di sini. Para Elvian mungkin akan datang lagi kemari untuk menyuplai barang ke gudang. Untuk menutupi bau asam di tubuhku, aku menyelimutkan sebuah kain. Tidak lupa menghapus jejakku agar Elvian itu tak merasa curiga bila pernah ada orang yang berada di sini sebelumnya. Kemudian menyelinap pergi dari pintu belakang.

Hal yang selanjutnya kulihat, sangat membuatku takjub. Ternyata gudang tempatku tadi berada di atas sebuah pohon setinggi ratusan meter. Kaum Elvian memanfaatkan pepohonan hutan yang memiliki diameter super besar dan tinggi mencapai awan. Mereka melubangi pohon dan membuat ruangan-ruangan di dalamnya. Seperti perumahan, sekolah, restoran, rumah sakit, pasar, dan penginapan. Mereka juga membuat jalan untuk pejalan kaki di batang pohon. Berada di jalan ini membuatmu seperti melayang di atas langit. Mirip dengan skywalk yang ada di atas gedung pencakar langit di dunia asalku. Ada juga anak tangga menuju ke ruangan yang berada di bagian atas atau bawah batang pohon. Untuk mobilitas yang mudah dan cepat, jembatan gantung dibangun antar pepohonan. Di duniaku sebelumnya, mungkin pemandangan semacam ini hanya bisa didapati dalam film fantasi yang tayang di bioskop.

Orang-orang berlalu-lalang di jalan. Semuanya adalah Elvian, tak ada satu pun manusia di sini. Tapi kehidupan di sini mirip seperti di kota Glafelden. Sebagian dari mereka ada yang berdagang, atau membuka kedai dan restoran keluarga, anak-anak kecil bersekolah di ruangan di dalam batang pohon yang paling atas, ada juga pegawai yang pergi bekerja di balai kota dengan seragam bagus. Ini semua sama persis dengan kehidupan manusia. Cuma yang membedakan hanyalah tempat ini terlalu menakjubkan.

Lihatlah! Dari atas sini kau bisa melihat suasana kota yang sangat hidup. Di bawah sana ada sebuah tempat yang cukup besar dan luas. Sepertinya itu adalah panggung pertunjukan. Di sana ada sekelompok Elvian yang bernyanyi dan bermain musik, disaksikan penonton yang duduk melingkari panggung. Suara riuh sorak sorai penonton dan tepuk tangan bahkan bisa terdengar sampai ke atas sini. Sepertinya penampilan kelompok itu sangat hebat. Kalau saja aku bisa lebih santai di kota ini, aku pasti akan turun ke sana dan menonton pertunjukannya.

Tapi aku tak boleh lupa dengan tujuanku. Meskipun kota ini sangat menakjubkan, aku tak boleh terlalu terlena. Ini adalah wilayah Elvian. Ras lain selain mereka dilarang di sini. Aku pasti akan ditangkap bila sosokku yang sebenarnya ketahuan. Dengan kain yang kuambil di gudang sebelumnya, kubungkus seluruh badan dan kepala, hingga hanya menyisakan wajahku. Kain ini bukanlah pakaian jadi yang nyaman, sehingga membuatku mau tidak mau harus terus memeganginya, agar tak tersingkap dan memperlihatkan perbedaan warna kulit dan rambutku yang mencolok dengan mereka.

Langkah kaki kecilku meniti jalanan yang mengitari pohon raksasa. Orang-orang di sekitar beberapa kali melihat ke arahku, lantas menutup hidungnya dan merutuk.

"Bau sekali gadis itu!"

"Apa dia tidak pernah mandi?"

"Sayang, cantik-cantik tapi bau!"

"Jangan dekat-dekat dengannya!"

Jujur saja aku tak tahan dengan semua kata-kata itu. Karena mengingatkanku pada masa kelam ketika aku dirundung oleh murid-murid di sekolah.

Ucapan mereka yang dalam bahasa Elvian membuat semuanya tambah buruk.

Aku mempercepat langkah. Mengambil jalan yang sepi agar terhindar dari orang-orang. Setelah beberapa menit terlewat, aku sampai di jalan belakang sebuah restoran. Saat pertama memang terlihat sangat hebat. Tapi bila semakin lama, jalan layang ini akan membuat pusing dan mual untuk orang-orang yang fobia ketinggian sepertiku. Kali ini, hal itu mengingatkanku saat tiba ke dunia ini dengan terjatuh dari atas awan.

Perutku mual. Aku ingin muntah berulang kali tapi tertelan kembali. Kepalaku selalu berdenyut setiap kali melihat ke bawah. Aku menyandarkan punggungku pada dinding batang pohon. Keringat dingin mulai membasahi punggungku, membekas pada kain yang kukenakan. Kakiku tak kuasa berdiri. Tenaga seperti hilang dari seluruh badan.

Namun aku harus kuat.

Aku harus tetap bergerak.

Aku harus segera pergi dari sini.

Berbekal pikiran yang sudah kutanamkan ke dalam otak, aku mampu memaksa tubuh ini untuk terus berjalan. Menyusuri jalanan lengang di atas ketinggian ratusan meter. Terus mengambil anak tangga yang mengarah ke bawah. Tujuanku saat ini adalah segera turun. Lima menit setelahnya, kepalaku menjadi pusing. Meski telah mensugesti untuk tidak memandang ke bawah, tetap saja pada akhirnya aku melakukannya.

Dengan susah payah dan memakan waktu cukup lama, aku akhirnya berhasil turun ke bagian tengah batang pohon, masih ada setengah jalan lagi untuk sampai ke atas tanah. Tempat ini memang masih tinggi, tapi setidaknya tidak terlalu membuatku mual dan pusing.

Aku tiba di belakang sebuah ruangan yang sangat besar. Lebih besar dari ruangan lain yang ada di hutan ini. Hal yang mengundangku kemari adalah aroma harum yang keluar dari salah satu jendela yang tertanam di batang pohon. Menciumnya saja sudah membuatku lapar. Aku baru ingat kalau sejak semalam, perutku belum terisi apa pun. Pantas suara keroncongan sudah keluar dari sana.

Mungkin aku bisa mengambil sedikit makanan dari situ. Mengetahui makanan hangat berada begitu dekat membuat semangatku kembali lagi. Tiba-tiba saja kakiku menjadi kuat untuk berjalan ke bawah jendela, kemudian mengintip ke dalam. Benar saja, aroma harum itu memang berasal dari hidangan yang berada di atas meja. Ruangan ini sepertinya kamar tidur. Ukurannya besar sekali dan memiliki perabotan mewah di dalamnya. Lengkap dengan ranjang besar berkanopi. Sepertinya ini kamar milik orang kaya, atau bisa jadi kamar hotel dengan tipe VVIP.

Tapi peduli amat dengan hal itu. Mumpung tidak ada orang di dalam kamar, aku akan mengambil sedikit makanannya, lalu keluar lagi. Tidak perlu banyak-banyak, yang penting bisa mengganjal perutku. Setelah memperhatikan dengan cermat dan memastikan tak ada siapa pun di sana, aku segera melancarkan aksi.

Kubuka jendela dengan sebelah tangan, sementara tangan yang lain masih memegangi kain yang membungkus tubuhku. Takut bila seseorang memergoki sosokku yang sebenarnya. Entah apa yang akan mereka lakukan padaku. Yang jelas, hukuman penyusup lebih berat dari pada mencuri makanan. Dengan sangat hati-hati, aku masuk dari jendela. Menjejakkan kakiku ke lantai seringan mungkin sehingga tak menimbulkan suara. Kemudian bersembunyi di dekat ranjang.

Aku bergerak lagi ke arah kamar mandi dan mengintip ke dalam. Aman. Tak ada siapa pun di sana. Setelahnnya aku memeriksa pintu masuk.

"Bagus! Sudah dalam keadaan terkunci," gumamku.

Jadi aku tak perlu takut bila ada orang yang menyelonong masuk dan memergokiku. Semua sudah aman. Keraguan dan ketakutan hilang seketika, berganti dengan rasa lega dari dalam hati. Dengan percaya diri aku berjalan mendekat ke arah meja yang terletak di tengah ruangan. Lalu duduk di atas sofa panjang. Kusampirkan kain yang menyelimutiku ke samping.

Aroma harum langsung menyeruak ke dalam hidung. Jujur saja, aku tak tahu makanan apa saja yang dihidangkan. Tapi semuanya terlihat begitu lezat. Tanganku langsung mencomot sepotong roti gandum—yang bentuknya sangat kukenali. Roti ini masih hangat, begitu pula dengan madu yang meleleh di mulutku. Teksturnya sangat lembut dan berbau harum.

"Enak! Ini benar-benar enak!" kataku kegirangan.

Ini benar-benar roti terenak yang pernah kumakan. Tidak ada roti seperti ini di kotaku. Hanya memakan sepotong roti seperti ini saja sudah membuatku menangis haru. Aku juga langsung mengambil semangkuk sereal gandum hitam. Di dalamnya ternyata terdapat macam-macam sayuran dan kacang-kacangan. Rasanya juga sangat gurih dan sedikit asin. Akan tetapi masih tetap dalam kategori lezat luar biasa.

Terbuai dalam kelezatan setiap masakan, aku nyaris menghabiskan semua makanan di atas meja. Niatku yang semula hanya mengambil sedikit makanan lalu kabur, berubah menjadi makan sebanyak-banyaknya sampai kenyang dan puas. Hingga tak sadar adanya suara langkah kaki yang mendekat dari luar. Aku baru sadar ketika suara kunci dimasukkan ke dalam lubang pintu. Dengan secepat kilat aku berlari ke arah lemari dan bersembunyi di dalamnya.

Sesaat kemudian pintu terbuka, suara langkah kaki berderap masuk ke dalam ruangan. Aku mati-matian mencoba menahan napas. Detak jantungku berdetak tak karuan. Lemari ini tak tertutup sepenuhnya. Di bagian pintunya terdapat baris-baris yang berlubang.

Dari celah itu aku bisa mengetahui siapa yang masuk dari siluetnya. Dia adalah seorang pria dengan tubuh tinggi, yang pastinya adalah Elvian. Pria itu terdiam setelah melihat ke atas meja. Pasti ia gusar denganku yang telah memakan sarapannya. Kemudian ia menuju sofa, lalu memungut kain yang kugunakan sebelumnya.

"Celaka! Bodohnya aku!" hardikku pada diri sendiri.

Pria itu mengendusnya beberapa saat. Lalu seperti anjing polisi, ia mengikuti bau yang sama dengan yang ada pada kain itu. Dengan kata lain, badanku. Pandangannya ia arahkan ke arahku. Lalu berjalan mendekati lemari. Sedangkan aku merayap mundur hingga terbentur dinding.

*KREK!

Ketika pintu lemari dibuka lebar, barulah aku bisa melihat dengan jelas sosok itu. Pria itu memiliki kulit yang pucat. Rambut kuning keemasannya seperti bersinar terang tatkala sinar mentari pagi menyiramnya. Dengan potongan rambut yang dikuncir pendek, membuat gayanya tampak trendy. Elvian ini tampak seperti usia dua puluhan jika dihitung dengan umur manusia. Wajah pria itu cukup menarik, dia tipikal orang yang mudah bergaul. Tatapan matanya seakan sanggup melelehkan hati setiap gadis. Pria ini memiliki tubuh tinggi dan cukup kekar. Secara keseluruhan, orang ini ibarat seorang pangeran impian yang mengesankan.

"Siapa kau? Manusia!? Kenapa bisa ada manusia di tempat ini??"

Ucapannya membuyarkan lamunanku. Refleks aku berdiri agar mentalku tak semakin tersudut olehnya.

"Aku ... ehm, aku," ucapku terbata-bata.

"Tunggu ... tapi telingamu itu .... Tidak mungkin!" Pria itu terkejut bukan main. Matanya terbelalak lebar. Wajahnya seakan tak percaya dengan apa yang ada di depannya. Sepertinya dia sudah tahu siapa aku sebenarnya. "Jangan-jangan kamu itu—."

Kalimatnya langsung terhenti begitu aku melempar baju-baju yang berada di lemari ke wajahnya. Aku mendorongnya keras hingga Elvian muda itu tersentak. Kemudian mengambil langkah seribu keluar ruangan. Tepat di depan pintu aku berpapasan dengan dua orang prajurit yang berjaga di depan. Mereka tampak kebingungan melihatku. Tanpa mempedulikan mereka aku segera berlari kencang. Hingga beberapa saat kemudian, Elvian muda itu keluar ruangan dan berteriak ke arahku.

"Tangkap gadis itu hidup-hidup dan bawa ke hadapanku!!"