Chapter 10 - Chapter 10 "Pelatihan Esze"

Tanpa kusadari, matahari telah merangkak naik ke atas kepala. Panas seharusnya menyambar ketika sang Surya bersinar terik. Namun aku tak perlu khawatir terpanggang. Kumpulan pohon tinggi di sekitar melindungi kulitku dari sengatan matahari. Dedaunan tampak lebat dan rindang. Membuat naungan untuk siapa pun yang berada di bawahnya.

Aku tengah berada di Hutan Tenerif, hutan yang berbatasan langsung dengan Kerajaan Elvian Barat. Bersama Almira, kami menyusuri tepian sungai besar yang membelah hutan. Terlihat sesekali wanita itu menatap ke daratan seberang, mungkin rindu dengan tempatnya berasal. Sementara aku memandangi Sungai Kelan, tempat aku dan teman-temanku datang pertama kali ke dunia ini. Kami berdua berjalan dalam senyap. Berusaha melewati bebatuan sungai dan pasir berkerikil.

Di sekitar sini tidak ada siapa pun, aku melepas topi jerami bundar pemberian Kak Shella dan menyampirkannya di belakang leher. Begitu pun Almira yang tampil percaya diri dengan sosok Elviannya. Indera tajam kami bisa merasakan jika ada seseorang mendekat. Jadi kami berdua tak takut bila kedapatan terlihat oleh orang lain, asalkan kami tidak lengah. Rasanya sangat bebas dan menyenangkan ketika membiarkan rambutku dibelai oleh angin semilir seperti ini. Rasa nyaman yang takkan pernah kudapatkan ketika kepalaku tertutup tudung.

Sudah sekitar satu setengah jam kami meninggalkan gerbang kota Glafelden. Aku tidak memiliki ide ke mana Almira akan membawaku. Biasanya saat wanita itu memberiku pelatihan Esze, kami pergi ke hutan yang tak jauh dari kota. Namun, aku tak ingin protes. Aku terus mengikutinya berjalan mengikuti anak sungai kecil yang mengarah ke hutan dalam.

Setelah berjalan lagi hampir satu jam, Almira berhenti. Aku mengerjapkan kedua mata beberapa kali. Ternyata anak sungai yang tadi diikuti mengarah ke sebuah telaga di dalam hutan. Tempat ini sangat lembab dan minim cahaya. Meski kutahu matahari di atas sana sedang bersinar terang. Cahaya yang sampai ke bawah sini hanya berupa garis-garis cahaya saja. Terhalang oleh rapatnya baris pepohonan serta rimbunnya dedaunan. Danau ini cukup luas. Kira-kira besarnya seperti lapangan bola. Batu-batu kali dan kerikil di pinggirnya tersusun rapi, yang sekilas mirip dengan buatan manusia. Dengan ratusan ikan berwarna-warni yang berenang gembira, menjadikan danau ini elok dipandang mata.

"Tempat yang indah!" seruku kegirangan. "Kita akan berlatih Esze di sini?"

"Tentu saja. Tempat yang nyaman dan sepi bisa membantumu lebih berkonsentrasi."

Almira menaruh tas pinggangnya ke atas sebuah batu kali. Permukaannya rata dan cukup lebar hingga perempuan itu bisa duduk di atasnya. Melepas sepasang sepatu kulit yang melapisi kakinya, kemudian meletakkannya dekat tas pinggang.

Ia melirik padaku. "Kenapa bengong? Cepat lepas alas kakimu dan ikut aku ke dalam danau!"

"Eh, baik!" balasku spontan.

Aku buru-buru melepas sandalku. Setelah itu mengikuti Almira yang sudah berada masuk ke dalam air. Dasar danau ini dipenuhi bebatuan kali yang kecil dan tajam. Aku harus berhati-hati jika tak mau terjatuh dan terluka. Ketika air sudah mencapai betis, aku harus memegang ujung gaunku yang berenda agar tidak basah. Pakaian ini adalah pemberian Shella, aku tak bisa mengotorinya begitu saja.

"Kenapa kau jadi bertingkah seperti putri bangsawan? Cepatlah ikuti aku atau aku takkan mau mengajarimu lagi!"

Baiklah. Persetan dengan baju ini! Biarlah nanti aku meminta maaf pada Shella karena telah mengotori bajunya. Lagipula ia sudah tahu kebiasaanku yang sering pulang dalam keadaan kotor. Aku mempercepat langkahku mengikuti Almira. Dasar danau sudah semakin dalam hingga mencapai paha dan semakin ke atas. Hingga akhirnya kami tiba di tengah-tengah danau dan membenamkan pinggang dan kakiku.

Almira berhenti dan berbalik menghadapku. "Nah, Anggi! Sebelum kita mulai latihannya, coba kau sebutkan lagi definisi Esze!"

"Hah, mengapa? Kita sedang tidak berada di ruang kelas, bukan? Memangnya apa yang kudapat dengan menjelaskan definisinya? Nilai A? Peringkat kelas?" protesku.

Saat pertama kali ia mengajariku menggunakan Esze, Almira menjelaskan definisi Esze seluas mungkin. Jika dijabarkan, mungkin akan mencakup satu buku. Setiap kali memulai latihan, terkadang ia selalu menanyakan hal yang sama. Barang kali di dalam pikirannya ia sedang mengajar kelas, sementara aku adalah muridnya. Ini benar-benar menyebalkan. Yang kuinginkan adalah ia berhenti membuang waktu yang percuma seperti ini.

"Aku cuma ingin kau tidak lupa hakikat Esze saat kau terlalu sering bermain-main."

"Tenang saja, aku masih hapal penjelasanmu di luar kepala. Lagipula, aku tidak bermain-main."

"Kalau begitu ucapkan!"

Jujur, aku sudah sangat sebal sekali dengannya. Kalau saja dia tidak lebih kuat dariku, mungkin aku sudah memukulnya.

"Baiklah!" ujarku. "Aku akan langsung ke intinya saja. Esze adalah salah satu fenomena alam yang diberikan dewa-dewi ketika turun ke bumi. Sebuah kemampuan yang dapat mengendalikan dan memanipulasi objek, orang, maupun alam. Untuk menggunakan esze, kita harus memiliki struktur di dalam tubuh. Struktur Esze ini hanya dimiliki bangsa Elvian dan Haier-Elvian saja, sehingga—."

"Stop!" sergah Almira. Suaranya cukup keras hingga membuatku langsung mengatupkan mulut. "Seperti yang kau tahu, hanya Elvian dan Haier-Elvian saja yang memiliki 'struktur'. Saat pertama kali bertemu denganmu, aku melihat struktur Esze-mu yang lebih kuat dan kompleks. Sehingga membuat tubuhmu mengeluarkan aura yang tidak biasa. Selama tujuh bulan belakangan, kita sudah mencoba menekan aura Esze-mu ke titik yang paling normal..

"Selama sebulan terakhir juga, aku mengajarimu dasar-dasar Esze unsur angin. Sekarang aku akan mengajarkanmu Esze unsur air. Jadi perhatikan dengan seksama!"

Aku mengangguk.

Almira berjalan menjauhiku, ke tengah danau yang membenamkan tubuhnya sampai ke dada. Dia mengeluarkan Esze, tongkat untuk memanifestasikan Esze dari 'struktur' yang berada di dalam tubuh. Tangannya mengangkat potongan kayu itu ke atas. Matanya kemudian terpejam. Almira dalam konsentrasi penuh. Aku terdiam membisu agar tak menganggunya.

Sesaat kemudian, permukaan air danau beriak kecil. Sekilas seperti tengah terjadi gempa bumi, namun tanah yang kupijak tak berguncang sedikit pun. Seakan menyadari bahaya akan datang, ikan-ikan yang tadinya berenang ke sana-ke sini, bersembunyi di balik batu. Sebagian ikan dengan sirip yang besar, mencoba peruntungan untuk pergi ke hulu anak sungai.

Mataku kembali pada Almira. Ujung vigletnya memancarkan cahaya kecil. Kemudian tangannya diputar 360 derajat beberapa kali. Bersamaan dengan itu, permukaan air danau turut berputar mengikuti arahan tangan Almira. Membentuk sebuah pusaran air yang besar dengan tubuhnya sebagai pusat. Arus air yang tercipta cukup keras, tubuhku sampai terdorong-dorong karenanya. Untung aku sudah menjauh dari tengah danau. Jika tidak, mungkin badanku akan terseret pusaran air itu.

Dengan masih berkonsentrasi, wanita itu mulai mengangkat tangannya secara perlahan. Ribuan meter kubik air danau melayang ke udara, mengikuti ujung viglet ke mana pun Almira mengarahkan. Menyisakan sedikit air yang tersisa di dalam danau. Perempuan itu menggerakkan gumpalan air itu ke sana dan ke sini. Lalu memisahkannya menjadi beberapa bagian kecil, membuat setiap bagiannya melewati sela-sela pepohonan, kemudian menyatukannya kembali. Aku berseru tertahan. Menatap kagum seperti tengah menyaksikan pertunjukan akrobat.

Setelah puas memainkannya, Almira melepaskan konsentrasi pada Esze. Menjadikan ribuan meter kubik itu terjatuh dari udara dan kembali ke cekungan danau. Cipratannya mengenai baju serta wajahku, membuat lumpur mengotorinya. Habis sudah! Shella pasti takkan menyukai ini.

Jari telunjuk Almira menyuruhku kembali mendekatinya.

"Itu sangat hebat sekali! Apa kau akan mengajariku hal itu?" Aku tak bisa menyembunyikan rasa takjub dan bahagiaku. Hatiku bersemangat dan menggebu-gebu ketika melihatnya beratraksi barusan.

"Tidak semudah itu, kau tahu!? Untuk menguasai unsur baru, kau harus melakukan hal yang sama seperti dulu saat kau mempelajari unsur angin."

"Maksudmu integrasi roh?"

Almira mengangguk pelan.

Aku menelan ludah. Pasalnya, integrasi roh tidak semudah kelihatannya. Pikiran dan jiwamu harus terhubung dengan alam agar roh-roh elementalis mau menerimamu dan masuk ke tubuhmu. Roh elementalis bisa dianggap sebagai makhluk hidup abstrak yang tak kasat mata. Namun Elvian lebih memilih menyebutnya sebagai perwujudan setiap unsur yang menyusun bumi.

Kalau menginginkan menggunakan Esze unsur baru, maka kau harus membuat roh elementalis muncul dan masuk ke tubuhmu. Dengan begitu roh akan memperbarui dan melapisi struktur Esze-mu dengan unsur elementalisnya. Masalahnya, membuat satu roh elementalis muncul di hadapanmu luar biasa sulit. Karena mereka takkan muncul di depan orang yang berniat jahat dan tidak tulus. Aku butuh lebih dari tiga jam bertapa untuk memunculkan satu roh angin.

Almira terus memandangiku. Dari tatapannya saja, aku sudah tahu bahwa ia memaksaku untuk segera bertapa. Aku melenguh panjang. Kemudian mencoba melakukan apa yang ia perintahkan. Aku duduk bersila di dasar danau dan membenamkan tubuhku hingga ke dada, Kututup mata perlahan sambil memulai konsentrasi.

Saat mendapatkan roh angin sebelumnya, aku memikirkan tentangku dan teman-temanku. Dari saat kami terseret ke dunia ini karena kecerobohanku. Kami harus hidup terlunta-lunta di bawah belas kasih orang lain. Karena itulah, pada waktu itu aku bertekad akan menggunakan kekuatan Esze untuk melindungi teman-temanku. Lalu entah dari mana datangnya, tiba-tiba ada segumpal kabut putih kecil di depanku. Benda itu tiba-tiba saja masuk ke dalam tubuh tanpa permisi. Hasilnya, sekarang aku bisa menggunakan Esze unsur angin.

Kupikir, setiap roh sama saja. Di dalam danau ini aku sudah setengah jam memikirkan hal yang sama persis dengan sebelumnya. Namun tetap tak ada tanda-tanda roh air di sekitarku. Kemudian aku memejamkan mata lagi, dan membangun kembali konsentrasi. Sudah satu jam berlalu, namun tetap tak membuahkan hasil.

"Kalau boleh kuberi saran, pikirkanlah hal yang berbeda. Apa yang kau dapat saat melihatku tadi? Rasakanlah apa yang ada di sekitar dengan inderamu. Kau akan mengetahuinya sendiri nanti." Almira mengamatiku dari pinggir danau. Duduk di atas batuan dan sedang mengunyah bekal dari tas kecilnya. Melihatnya makan dengan lahap membuatku jadi lapar. Namun sepertinya wanita itu takkan mengizinkanku bergabung dengannya sebelum aku tuntas menyelesaikan tugasku.

Untuk ke sekian kalinya aku kembali berkonsentrasi. Memusatkan pikiran pada sekitarku. Aku bisa merasakan suhu air yang turun secara perlahan. Kicauan burung-burung yang hinggap di pohon. Serta gerakan ikan-ikan yang berenang di dekat tubuhku. Seakan, aku bisa melihat semuanya hanya dengan indera saja. Aku juga memikirkan tentang kehidupanku di dunia ini selanjutnya. Walaupun dengan realita yang ada, aku masih tetap ingin kembali ke dunia asal. Bertemu kembali dengan kedua orang tuaku. Mendadak aku jadi berpikir iseng, kira-kira apa yang akan mereka katakan saat melihatku sekarang? Bahwa puteri mereka telah berubah menjadi seorang makhluk mistis. Pastinya mereka akan kaget sekali.

Dua jam selanjutnya terbuang sia-sia. Aku tetap tak berhasil membuat roh air menampakkan diri. Gusar dan kecewa. Itu sudah pasti. Aku keluar dari danau dengan emosi. Memukulkan tanganku ke air dan menciptakan cipratan besar.

"Ini benar-benar buang waktu! Kenapa untuk menggunakan Esze, harus meminta kerelaan roh elementalis menerima kita? Mengapa kita tidak langsung menangkapnya saja?" Aku mencengkram erat tanganku, menggemeretakkan ujung-ujung gigi dengan gemas.

"Karena mereka bukan binatang untuk diburu. Perhatikan ucapanmu, Nak! Roh-roh elementalis mungkin tak terlihat, tapi mereka tetap bisa melihatmu!"

"Persetan! Aku sudah tidak peduli lagi." Aku memutar badan menghadap ke danau, dan bersiap untuk berteriak kencang. "Dasar roh-roh sialan! Kuharap kalian membusuk di sini selamanya!"

Sedetik kemudian, sesuatu menghantam kepalaku dari belakang. Sakit. Namun aku tidak bisa menemukan benda yang dilempar. Untuk sesaat aku sadar itu adalah angin. Benar saja. Saat kepalaku menengok ke belakang, aku mendapati Almira dengan tangannya yang teracung Esze ke arahku.

"Apa yang kau lakukan, bodoh?" protesku dengan keras.

Wanita itu justru menepuk jidatnya dan menggelengkan kepala. "Aku tak menyangka kau akan sebodoh ini. Menghina roh-roh elementalis?! Berkata buruk tentangnya saja tidak boleh, apa lagi kau memakinya. Beruntunglah roh angin yang berada di dalam strukturmu sudah terpatri permanen. Jika tidak, ia pasti sudah akan meninggalkanmu sekarang."

Aku mengelus-elus kepalaku yang ia hantam dengan hembusan angin sebelumnya. "Memang kenapa kalau aku menghina mereka? Mereka pantas mendapatkannya!"

"Roh-roh elementalis tidak akan mau menerima orang yang berkata buruk tentang mereka. Kau benar-benar bodoh!"

Tak peduli dengan ucapan Almira, aku menggerutu sambil mengamit sebungkus makanan dari tas pinggang wanita itu. Isinya adalah beberapa potong nasi gulung telur. Memang tidak begitu enak, tapi sudah cukup untuk mengisi perutku yang kelaparan gara-gara melakukan hal yang tidak berguna selama beberapa jam terakhir.

Hari itu, kami pulang tepat sebelum malam menjelang. Almira sempat menyuruhku lagi untuk bertapa di dalam danau. Namun aku enggan melakukannya. Ujung-ujungnya, dia mengajariku lebih banyak macam-macam teknik Esze angin. Sepanjang malam, aku terus merutuki roh-roh elementalis yang membuat emosiku memuncak setiap kali mengingatnya.