Chapter 13 - Chapter 13 "Sunset Terindah"

Di dalam kedai remang-remang, aroma asap dan kayu bakar tercium bercampur dengan bau harum masakan yang menggoda. Cahaya lilin menerangi wajah-wajah para pelanggan yang duduk di meja kayu kasar, tertawa dan bercanda gurau dengan suara lantang. Di sudut ruangan, seorang musisi memainkan kecapi, melodinya yang ceria mengisi udara.

Seorang pelayan wanita berpakaian sederhana mengantarkan piring-piring berisi hidangan lezat: roti hangat, daging panggang yang harum, dan semur sayuran berwarna-warni. Para pelanggan menyantap makanan mereka dengan lahap, menikmati rasa yang kaya dan tekstur yang kasar. Di antara gigitan, mereka bertukar cerita tentang hari mereka, berbagi kabar terbaru dari desa atau kota.

Suasana di kedai terasa hangat dan ramah, penuh dengan keakraban dan kebahagiaan. Orang-orang dari berbagai latar belakang sosial bersatu di sini, menikmati makanan dan kebersamaan. Di luar kedai, malam telah tiba, dan langit dihiasi dengan bintang-bintang yang berkilauan. Kedai ini bagaikan oasis kecil di tengah hidup yang keras, tempat di mana orang-orang dapat melupakan masalah mereka sejenak dan menikmati momen kebersamaan yang indah.

Suasana di kedai makanan ini semakin ramai setiap menitnya. Dari daun pintu ganda yang terbuka lebar, lebih sering orang yang datang daripada keluar. Membuat kedai ini tambah padat. Suara hingar bingar pecah tak karuan. Membuat pertemuan kami tidak kondusif. Sepertinya pilihan tempat dan waktu kami salah.

Saat ini aku bersama Dimas, Shella, Vian, dan Vani tengah mengadakan sebuah rapat. Hanya segini saja yang hadir. Karena cuma kami yang masih tinggal di kota Glafelden. Sisanya yang kebanyakan laki-laki, mendaftar menjadi tentara kerajaan di ibukota negeri. Atau menjadi asisten saudagar keliling.

Kami baru saja selesai makan. Menyisakan piring-piring kotor di atas meja panjang. Aku mengumpulkan mereka di sini untuk menyampaikan informasi yang baru saja didapatkan beberapa hari lalu. Tentang Kristal Roh. Aku juga menyebutkan dua solusi yang diberikan oleh Almira, dan meminta pendapat mereka.

"Itu sangat berbahaya, Anggi! Menyusup ke ibukota Kerajaan Elvian Barat adalah hal gila yang tidak pernah dipikirkan siapa pun, termasuk Grussel. Siapa tahu kita akan langsung ditangkap begitu sampai di kota mereka." Dimas adalah orang pertama yang memprotesnya dalam hitungan sepersekian detik. Tanpa pikir panjang.

"Bukan kita. Tapi aku," tegasku. Suaraku nyaris tertelan keriuhan di kedai ini, namun yakin bila mereka masih bisa mendengarnya.

"Aku tambah tidak setuju dengan hal itu. Memangnya apa yang bisa dilakukan pemburu bodoh sepertimu? Aku yakin kau akan tergoda kelinci putih itu lagi dan membuat kacau."

"Tidak mungkinlah. Tidak ada orang yang mengulangi kesalahan kecuali orang tolol."

"Orang tolol itu kau!" pekik Dimas.

Jika saja hanya ada kami berdua, aku pasti sudah menghajar si sialan ini. Tapi sengaja kutahan. Aku tidak mau memulai perkelahian di depan publik. Apalagi dengan teman sendiri, itu tindakan tolol. Persis seperti yang Dimas katakan.

"Sudahlah, Anggi, Dimas! Jangan ribut seperti itu!" Shella berusaha menengahi. Kemudian melemparkan pandangan padaku. Ia menatapku dalam diam untuk sesaat. "Aku juga tak setuju denganmu, Anggi. Jalan keluar yang terlalu berisiko bukanlah solusi."

"Kesempatan seperti ini takkan datang dua kali. Mungkin Elvian bisa saja membuka perbatasan dan menerima manusia dengan tangan terbuka. Tapi kapan? Bisa puluhan atau ratusan tahun lagi. Atau mungkin tidak akan terjadi sampai dunia ini hancur. Apa kau tak mau pulang?"

Shella mendadak terdiam. Mendengar kalimat terakhir sepertinya membuat lidahnya kelu. Membisu seribu bahasa lalu mengatupkan kelopak mata, berpura-pura tidak mau tahu. Aku menoleh ke arah si kembar.

"Bagaimana dengan kalian? Kalian berdua juga pasti ingin pulang, kan?"

Keduanya saling tatap sejenak. Lalu sama-sama mengangguk.

"Tentu saja. Tapi perkataan Kak Shella dan Dimas benar. Kita tak bisa bertindak tanpa persiapan rencana yang matang." Vani yang sifatnya periang, membuka mulutnya.

"Aku tahu kamu ingin berusaha, Anggi. Tapi ini bukan ide yang bagus. Hutan itu berbahaya, dan kita tidak tahu apa yang menanti kita di sana," sambung Vian, yang biasanya agak pendiam kini bersuara.

"Untuk itulah aku meminta bantuan kalian sekarang. Buatkan rencana hebat agar aku bisa menyusup ke ibukota Elvian."

Pltak!

Sesaat kemudian, kepala belakangku terasa sangat sakit. Aku mengaduh pelan sembari memeganginya. Melemparkan tatapan tajam pada Dimas yang duduk di sebelahku.

"Apa yang kau lakukan, bodoh?"

Sebelum aku sempat memprotes lebih banyak, ia sudah terlebih dahulu membuka suara. "Bisa tidak sih, kau hilangkan sifat keras kepalamu! Tenanglah sedikit dan berpikirlah dengan jernih. Kau sadar tidak, kalau ini terlalu bahaya? Kami tinggal di sini bukan berarti kami mau. Tentu saja kami ingin pulang.

"Masing-masing dari kita pasti rindu dengan orang tua, kerabat, atau sahabat di dunia asal. Tapi bukan seperti ini caranya. Memaksakan diri masuk ke dalam bahaya adalah tindakan bodoh. Baik aku, Kak Shella, Vian, Vani, atau teman-teman lainnya, tidak mau salah satu dari kita berada dalam bahaya. Bagaimana kalau nanti kau tak kembali?"

"Tapi ... kalau tidak sekarang—."

Pltak!

Lagi-lagi Dimas menjitakku dengan keras. Kali ini di bagian dahi. Rasa panas tertinggal di sana. Aku yakin, bila saat ini dahiku sangat merah.

"Bodoh! Kau mengerti tidak, sih, kalau kami sedang mencemaskanmu? Apa seperti itu sikapmu pada teman yang memikirkan keselamatanmu? Dengan berkeras kepala seperti anak kecil? Tidakkah kau berpikir sedikit perasaan kami yang cemas bila kau berada dalam bahaya?"

Hatiku mencelos. Kata-katanya tepat menusuk dadaku dan membuat lubang di sana. Itu hal yang tak terpikirkan olehku. Saat melihat tiga orang lainnya, mereka mengangguk-angguk. Aku tak pernah tahu bila mereka semua mencemaskanku. Hal ini membuatku malu. Karena yang bisa kupikirkan, hanyalah tentang diriku saja.

Aku menurunkan pandanganku ke atas meja makan. Tersenyum. "Kalian benar-benar baik. Kupikir kalian akan terus menyalahkanku, yang telah membawa kita semua ke dunia ini."

Shella buru-buru mengamit tanganku dan menggenggam erat. "Sudah berapa kali kukatakan, Anggi! Kita tidak menganggapmu seperti itu. Dan berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Kita hidup di dunia ini bersama-sama. Dahulu pun, makan dan tidur berbarengan. Kita senasib. Untuk itulah, kita perlu saling memperhatikan, saling peduli, dan saling menyayangi. Aku yakin, suatu hari kita bisa menemukan jalan untuk kembali tanpa harus membahayakan diri sendiri."

Tidak sanggup melihat ketulusan pada bola matanya yang laksana permata, kepalaku tertunduk. Dari relung hati yang paling dalam, aku berterima kasih telah dianugerahi teman-teman seperti mereka.

"Sekarang, berjanjilah untuk tidak melakukan hal yang berbahaya! Dan lupakan ide gila tentang menyusup ke ibukota Elvian. Lebih baik kita tunggu kesempatan yang mungkin akan datang di kemudian hari."

Aku langsung menoleh ke arah Dimas.

"Biasanya kau kan susah diberi tahu. Makanya, aku ingin kau berjanji."

Aku mengangguk pelan dan menghela napas. "Baik, aku janji!"

Semua orang tersenyum lebar, lega karena masalah ini telah selesai. Begitu pun aku, bahagia dengan perasaan semua orang yang begitu kuat. Mungkin dengan ikatan persahabatan ini aku bisa mengerti makna kehidupan yang sebenarnya.

Jika dipikir-pikir, benar juga semua perkataan mereka. Bertindak tanpa rencana matang dan terburu-buru adalah hal yang bodoh. Sebagai pemburu, harusnya aku tahu itu dengan pasti. Mungkin kesempatan ini akan segera hilang dan takkan datang untuk kedua kalinya. Namun selama terus berusaha, tidak ada yang mustahil. Karena keajaiban hanya datang pada orang-orang yang tidak pernah menyerah.

 

==============

 

Hari-hari berlalu tanpa tersadari. Sudah nyaris sepekan sejak hukuman yang diberikan Grussel—pengusiran dari markas—berakhir. Besok malam adalah hari perburuan. Kelompok Kelam Malam akan kembali beraksi. Dari yang kudengar dari Dimas, target kami adalah binatang mirip harimau besar bernama Orska. Aku hanya pernah mendengarnya saja. Dari gambar ilustrasi yang diberikan olehnya, hewan yang mirip harimau ini bertubuh besar. Nyaris setinggi manusia dewasa. Mereka diburu karena taringnya yang panjang. Sekilas Orska mirip dengan binatang purba Smilodon atau singa gigi pedang. Perburuan ini terlihat menantang, setelah beberapa hari ini menganggur di klinik Bibi Saantya.

Aku melangkah keluar dapur, setelah baru saja membantu para staf klinik mencuci piring-piring kotor. Matahari masih hangat. Waktu yang cocok untuk beraktivitas harian. Aku sudah pergi ke perpustakaan beberapa hari belakangan. Rumah Almira juga sudah terlalu sering dikunjungi, sampai-sampai tuan rumahnya akan mengusirku ketika melihat wajahku di depan pintu. Sekarang, aku bingung mau melakukan apa.

Bosan sekali, pikirku.

Setengah jam kulewati dengan duduk melamun di bangku taman kota. Terdiam bisu bagai seonggok batu. Menatap kosong ke arah kawanan tupai yang tengah menggerogoti buah kenari yang jatuh tepat di bawah pohon.

Mendadak instingku memberitahu bila ada seseorang di belakang. Belum sempat aku menoleh, orang itu sudah menarik tudungku pelan. Seakan penasaran dengan apa yang tertutup di baliknya. Buru-buru aku menahannya dengan tanganku dan bergerak menjauh. Berdiri lima langkah darinya dan melempar pandangan tajam.

Pria itu nyengir.

"Kenapa kau melamun di sini?"

"Ya ampun, Dimas! Bisa tidak sih, tak mengagetkanku seperti itu?" tukasku dengan gemas. Kalau saja ia benar-benar menarik tudung yang kukenakan, telinga panjangku akan menjadi pusat perhatian di tengah keramaian ini. Itu bukan hal yang bagus untuk dijadikan candaan.

"Salah sendiri malah bengong." Ia mengangkat bahu dengan santai. Kemudian duduk di atas bangku, lalu menyodorkan bungkusan berisi roti pipih yang sejak tadi dibawanya. "Mau?"

Akhirnya aku duduk bersama Dimas sembari menyantap kudapan itu. Hei, aku tahu ini. Roti pipih ini terbuat dari tepung gandum, barli, atau oat yang dimasak di atas wajan datar. Kudapan ini dijual di samping perpustakaan kota. Sering sekali aku membelinya selepas seharian membaca buku di sana. Rasanya renyah dan gurih. Selain itu mereka juga punya varian lainnya seperti rasa garam, lada, atau bumbu lainnya.

Beruntung sekali Dimas membawakanku kue ini. Keuanganku menipis setelah nyaris seminggu tanpa pemasukan. Untukku yang saat ini hanya seorang pengangguran, kue seharga sepuluh keping perunggu ini menjadi jajanan mewah.

"Enak sekali!" ucapku kegirangan. "Kau benar-benar yang terbaik!"

"Sejak kau mencekokiku makanan ini, aku jadi menyukainya."

"Sudah kubilang, kan? Sekali kau mencoba, pasti akan ketagihan."

Dimas memagut. Kami terus berada di taman sampai menghabiskan semua roti itu. Aku mendongak ke atas. Memandang langit biru cerah tanpa awan sejauh mata memandang. Angin bertiup pelan menerpa wajah. Memberi kesegaran yang dibutuhkan sebelum memulai aktifitas.

Di bangku itu kami bercakap-cakap tentang keseharian Kelam Malam saat aku tidak ada. Pria itu berkata nyaris tidak ada yang berubah sama sekali. Seakan-akan aku memang tak pernah ada di sana.

Sebelum aku mulai bersungut-sungut dan merutuki Grussel yang macam-macam, Dimas sudah terlebih dahulu menjelaskan bila sebenarnya pria tua bajingan itu peduli padaku. Sesekali ia menanyakan kabarku pada Dimas. 'Di mana dia sekarang?' 'Apa dia mengacau di tempat Saantya?' 'Semoga dia semakin tambah pintar setelah tinggal di sana.' Kata-kata itu sungguh tak bisa dipakai untuk bertanya kabar seseorang. Sepertinya ia memang tak niat bertanya kabar padaku.

"Bukannya tidak peduli. Hanya sebatas itu perhatian yang bisa diberikan olehnya. Tak lebih. Kalau ia tak mau kesan garang dan tegasnya itu luntur di hadapan anak buahnya sendiri," jelas Dimas. "Coba kau bayangkan, bila Grussel terlalu perhatian. Bayangkan bila ia tersenyum padamu dengan ramah dan selalu berkata sangat lembut. Setiap waktu menanyakan kabar hari ini dan keadaanmu."

"Itu akan sangat menjijikan," timpalku. Sekejap tubuhku langsung merinding seperti dihantui mimpi buruk.

"Benar, kan? Kau harus lebih peka lagi! Sadari hal-hal kecil di sekitarmu."

"Terserah kau sajalah!" ujarku dengan ketus.

"Oh iya, Anggi! Besok sore sebelum perburuan, kau sudah diizinkan kembali oleh bos. Jadi sebaiknya hari ini kau pamitan pada Kak Shella dan Bibi Saantya."

Aku bergumam pelan. "Begitukah? Mungkin sebaiknya nanti aku membelikan mereka sesuatu sebagai tanda terima kasih. Rasanya sudah seminggu ini aku merepotkan mereka."

"Kau kan memang merepotkan! Baru sadar sekarang?"

Cengiran dan tawanya yang tak mengenakkan, membuatku melempar bungkus kosong bekas kue roti pipih ke arah wajahnya. Ia menghindar dengan cekatan. Lalu terus menertawaiku seenaknya sendiri. Aku yang tak terima melayangkan tinju ke tubuhnya, namun dihindari juga. Begitulah kebiasaan kami saat bertengkar. Dari pada disebut bertengkar, lebih tepat dikatakan bercanda. Karena kami tak pernah serius berkelahi.

Seharian ini aku pergi ke berbagai tempat di kota dengannya. Menghabiskan banyak waktu ke tempat-tempat menarik di seluruh sudut kota Glafelden. Aku baru tahu ada taman bunga asri yang besar di sebelah timur kota. Juga kolam ikan dengan sungai-sungai buatan di sebelah selatan.

Kota ini cukup besar. Gerbang yang melindungi kota ini nyaris berbentuk bulat dengan diameter sekitar dua puluh hingga tiga puluh kilometer. Sejak masuk ke kota ini, aku belum pernah mengelilinginya ke setiap penjuru. Ini adalah pertama kalinya bagiku.

Di penghujung hari, di mana matahari mulai tumbang di ufuk barat. Kami berdua masih menyempatkan diri untuk bersantai mengamati matahari terbenam di sebuah menara dekat gerbang selatan. Tempat ini merupakan bagian dari situs bangunan tua yang lama ditinggalkan. Letaknya jauh dari bangunan berpenghuni terdekat, jadi jarang ada orang kemari. Menara ini tingginya bisa melebihi gerbang yang mengelilingi kota. Membuatku leluasa menikmati detik-detik matahari tenggelam.

"Kau tahu? Pemandangan sunset di dunia ini adalah yang terbaik," ucapku dengan mata yang terpaut ke depan. "Setiap kali ada kesempatan, aku pasti melihatnya."

"Mengapa kau begitu menyukai sunset? Bukankah sama saja dengan dunia kita?"

Aku menoleh sejenak ke arah laki-laki itu, lantas kembali menatap matahari yang mulai terbenam separuh. "Memang. Tapi di dunia ini, kau bisa melihat hamparan bintang luas begitu malam tiba. Lihat di atas sana! Sudah terlihat, kan?"

Setiap detik matahari meluncur turun, langit gelap semakin menguasai angkasa. Langit seperti terbelah dua, antara siang dan malam, gelap dan terang. Bintang-bintang bermunculan di sisi gelap.

Dimas memagut-magut. "Benar juga, sih. Di sini kita bisa melihat jelas dengan mata telanjang hamparan bintang dan debu angkasa yang berwarna-warni. Berbeda dengan kota asal kita yang terlalu banyak polusi cahaya."

Kami terdiam sejenak. Asyik mengamati pemandangan yang menakjubkan di atas sana. Sampai akhirnya mataku terpaku pada sesuatu.

"Dimas, lihat itu!" seruku dengan girang.

Aku kembali menunjuk ke angkasa, di mana ada enam buah bintang yang paling terang. Bila kau menarik garis yang menghubungkan keenamnya, akan tercipta sebuah bentuk mirip sebuah anak panah yang siap dilepaskan oleh busur..

"Apa itu?"

"Rasi bintang Celebrus. Rasi bintang yang paling terang dan dapat dilihat jelas mulai menjelang malam. Seandainya kau tersesat di hutan, lihatlah arah yang ditunjukkan oleh anak panah itu. Ia akan membawamu ke arah barat. Tentu saja pada periode bulan tertentu."

"Kau tahu banyak soal rasi bintang di dunia ini, ya?"

"Begitulah," jawabku bangga. "Aku mendapat banyak hal menarik dari buku-buku di perpustakaan, termasuk ilmu astronomi."

"Itu hebat sekali!" puji Dimas. Ia menyunggingkan senyum yang menampilkan gigi putihnya. "Mungkin ketika saat perburuan nanti aku bisa bergantung padamu."

Aku membalas dengan senyum kecut. Entah sungguhan atau ia hanya mengejekku. Aku masih ingat saat beberapa hari yang lalu ia menyebutku sebagai pemburu bodoh. Namun kali ini aku tidak merasakan adanya lelucon dari kalimatnya. Karena ia tak menggodaku setelahnya. Pria itu terkadang punya kejujuran yang sulit ditebak.

Beberapa saat kemudian, matahari yang perkasa benar-benar tergelincir di balik ufuk barat. Langit senja bagaikan kanvas raksasa yang dilumuri cat berwarna-warni. Semburat jingga keemasan berpadu dengan gradasi ungu muda, menciptakan panorama yang memukau. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah dan dedaunan, menambah kesan dramatis pada suasana. Di kejauhan, siluet pegunungan menjulang tinggi, seolah ingin meraih langit yang penuh warna.

"Kita pulang sekarang?" tanya Dimas. Ia bersiap-siap menuruni tangga menara.

"Masih ada yang ingin kulakukan."

"Apa itu?"

Sengaja tak langsung kujawab pertanyaannya. Menunggunya membuat ekspresi heran dan kebingungan. "Aku ingin berburu."