Chereads / Mafia's Man / Chapter 9 - Perpisahan

Chapter 9 - Perpisahan

"Chanyeol, dia tiada hubungannya dengan urusan kita!" ucap Sehun lantang. Sebelah tangannya masih mengarahkan pistol ke Chanyeol. Anehnya lelaki yang hampir menembakku itu terlihat sangat sangat santai. Bahkan ia berjalan pelan mendekatiku. Tapi aku yakin semua lebih rumit dari pada yang terlihat.

"Jika dia bukan siapa-siapa bagimu jelas bahwa dia tidak ada kaitannya dengan urusan kita." Chanyeol mencengkram pundakku. Aku menelan ludah. Tekanan yang ia berikan sama sakitnya dengan sakit kepalaku. Seolah sama-sama ditusuk berkali-kali. Aku mengernyit. Pandanganku mulai mengabur.

"Lepaskan dia Chanyeol!" ucap Sehun lantang.

Chanyeol semakin mencengkram pundakku. Kini ujung senjata api itu mengarah ke kepalaku. Aku memejamkan mata sambil berkata bahwa jika memang kehidupanmu harus berakhir maka berakhirlah dengan cepat tanpa menimbulkan rasa sakit. Jujur saja, rasa sakit ketika sekarat adalah hal yang paling aku takuti.

Tiba-tiba tangannya berpindah, dikalungkan ke leherku. Dan tubuhnya bersembunyi di punggungku. Mulut pistol berpindah dari sisi kanan ke sisi kiriku.

Tubuhku bergetar. Napasku terdengar keras. Keringat dingin mengucur di pelipis. Aku memejamkan mata sambil berdoa bahwa semua akan cepat berlalu.

"Bersembunyi di belakang wanita, huh?" ucap Sehun yang terdengar meremehkan.

"Aku juga tidak untuk bermain seperti ini." Setelah menjawab pertanyaan Sehun, tangan Chanyeol semakin kuat menahan tubuhku. Bahkan aku bisa merasakan dadanya yang keras di punggungku. "Ini aku kembalikan padamu!"

Alu berteriak tatkala tiba-tiba didorong ke depan oleh Chanyeol. Karena tubuhku tidak bisa bergerak, aku hanya pasrah. Aku memejamkan mata menunggu tubuhku jatuh ke lantai.

Namun aku tidak mendapati permukaan yang keras. Melainkan rasa hangat yang segera mengurungku. Aku membuka mata, mendongak dan mendapati Sehun yang begitu dekat. Namun detik berikutnya aku mendengar letusan pistol. Sangat dekat hingga aku langsung melihat Sehun.

"Tidak?" ucapku histeris begitu melihat darah membasahi kemeja putih Sehun. Sebuah luka tembakan menganga di dada kanan atasnya. "Kamu tak apa? Sehun?" tanyaku panik.

Sehun memelukku lebih erat. Berikutnya aku mendengar letusan pistol lagi. Sehun membalas tembakan Chanyeol. Aku tidak tahu bagian mana Sehun mendaratkan pelurunya di tubuh Chanyeol.

"Tubuhmu panas!" lirih Sehun.

Aku mendongak, menatap wajah Sehun lagi. Tiba-tiba terdengar derap langkah kaki yang mendekat. Aku melirik ke belakang. Ternyata ada beberapa laki-laki berpakaian hitam masuk sambil membawa senjata api.

"Tuan Chanyeol!" teriak mereka.

Aku melebarkan mata. Situasi ini tidak menguntungkan bagi kami. Bantuan untuk Chanyeol datang dan Sehun sedang terluka.

"Sialan!" Seorang bawahan Chanyeol mengarahkan pistol kepadaku. Aku hanya bisa memejamkan mata bahkan saat terdengar letusan yang tidak menyakiti tubuhku.

Tidak mungkin!

Aku membuka mata dan melihat sosok Sehun yang lagi-lagi melindungiku. Tidak! Dia sudah terluka parah. Dia tidak boleh kehilangan darah lagi.

Aku ingin sekali mengikat lukanya yang terus mengalirkan darah. Namun kedua tangan dan kakiku masih terikat. "Sehun," panggilku terisak.

"Bawa gadis itu!" Terdengar perintah Chanyeol yang sudah terengah-engah. Aku menoleh dan mereka secepat mungkin sudah memegangi kedua pundakku. Aku meronta dan berterik memanggil nama Sehun. Namu lagi-lagi aku hanya bisa pasrah dibawa pergi oleh bawahan Chanyeol dan meninggalkan Sehun yang tersungkur di lantai.

"Sehun! Kamu harus menyelamatkanku! Jadi kamu tidak boleh mati!" teriakku sebelum akhirnya tidak bisa melihat sosok Sehun.

"Kalian akan membawaku kemana, huh?" tanyaku lantang kepada mereka.

"Buat dia ... diam," perintah Chanyeol terputus-putus.

Berikutnya mereka menutup mulut dan kedua mataku. Aku tak tidak tahu dibawa kemana. Yang aku tahu hanyalah aku dibawa pergi dengan mobil lalu berikutnya menaiki helikopter.

.

.

.

.

*** MAFIA ***

.

.

.

.

Udara terasa sangat dingin. Pun dengan lantai dan dinding yang terbuat dari semen. Suara rintihan-rintihan minta tolong bergema. Bahkan aku bisa mendengar suara seseorang yang mulai sekarat setelah dianiaya oleh mereka-mereka.

Aku memejamkan mata. Pelukanku semakin erat. Sambil duduk dan menekuk lutut, aku membenamkan wajah di antara lutut. Suara-suara di sini membuat semuanya menakutkan. Aku ingin menangis. Aku ingin keluar dari sini. Aku tak ingin mendengar suara-suara yang membuat semua permukaan kulitku ngilu.

Satu malam telah aku habiskan sejak kedatanganku ke tempat asing ini. Parahnya, demamku tidak turun. Ia semakin menjadi hingga membuat mata dan hembusan napasku panas. Pening juga memenuhi kepalaku. Namun aku tidak bisa berbaring. Lantai dingin ini lebih menyiksaku.

"Nona," panggil seseorang yang baru pertama kali kulihat. Sebelah tangannya menyodorkan piring kecil berisi pil. "Minumlah, demammu pasti akan turun!" lanjutnya.

Aku mengatupkan mulutku. Tak berniat untuk membalas laki-laki ini yang pastilah bawahan Chanyeol.

Dia menghela napas. Lalu meletakkan sepiring makanan, piring kecil berisi obat tadi, dan sebotol air mineral. Usai menata semua itu, ia berlalu pergi.

Aku menoleh, menatap jendela kecil yang mulai dimasuki oleh cahaya matahari. Pagi telah tiba.

Lama-kelamaan matamu mulai terasa berat. Masih dengan posisi yang sama, aku memejamkan mata.

.

.

.

.

*** MAFIA ***

.

.

.

.

Entah bagaimana aku berpindah ke sebuah ruangan berukuran sedang. Tubuhku juga dibaringkan di atas tempat tidur. Sebelah tangannya tersambung dengan infus yang tiba-tiba membuatku ngilu.

Tubuhku terasa lebih ringan meski aku masih dahiku masih terasa hangat. Perlahan aku bergerak duduk. Ketika aku sudah duduk dan hendak menurunkan kaki, barulah aku tersadar ada sejenis rantai yang terpasang di sebelah pergelangan kakiku. Ujungnya tersambung ke salah satu kaki tempat tidur yang terlihat sangat kokoh.

"Penjara kedua, huh!"

Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Kamar ini sederhana, tidak terlihat mewah atau bagaimanapun. Hanya terdapat satu tempat tidur, satu lemari dan satu meja rias.

Tiba-tiba pintu kamar diketuk. Detik berikutnya terbuka dan laki-laki tempo hari yang memberiku obat berjalan masuk. Lagi-lagi ia datang membawa nampan berisi makanan dan obat-obatan.

"Nona pingsan selama dua hari karena demam Nona sangat tinggi. Untung saja dokter cepat merawat Nona sehingga Nona bisa melewati masa kritis." Tanpa bertanya apapun, laki-laki itu menceritakannya. "Dengan kata lain, Nona sempat koma."

"Apa?"

Wah mengejutkan. Aku masih sempat mengalami koma hanya karena demam.

"Karena itukah sekarang penjaraku berbeda?" tanyaku.

"Harusnya Nona bersyukur. Tak banyak tahanan Tuan yang selamat dan mendapatkan perlakukan khusus seperti Nona."

"Kamu tak perlu membenarkan Tuanmu di depanku!"

"Nona memang harus bersyukur!"

"Terserah, apa yang harus aku syukuri ketika aku yang bukan siapa-siapa ini terseret dalam permainan Chanyeol, huh?"

Bum!

Aku melihat laki-laki itu memukul meja dengan telapak tangannya. "Aku harap, Nona bisa bicara lebih sopan. Jangan pernah memanggil nama Tuan sembarangan!"

Aku menelan ludah. Maniknya seperti elang yang hendak menerkam mangsanya. Begitu tajam dan tanpa belas kasihan. Aku menunduk, tidak berani melihat maupun membalas ucapannya.

"Nona, saya akan melepaskan infusnya!"

Aku mengangguk patuh ketika laki-laki itu mencabut jarum infus yang terasa perih.

"Setelah ini, sebaiknya Nona membersihkan diri dan makan. Lalu saya akan menjemput dan mengantarkan kepada Tuan," ucap laki-laki itu sebelum menutup pintu.

Aku terhenyak. Apa arti semua ucapannya? Ia memintaku membersihkan diri malam ini dan pergi menemui Chanyeol. Jangan katakan aku harus menjadi pemuas nafsunya.

Aku tidak memakan sedikit makanan yang diberikan meski perutku terasa sangat lapar. Aku juga tidak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku hanya duduk sambil melipat kaki di atas tempat tidur dan menggigit jempol.

Apa yang harus aku lakukan?