"Tuan Alex!" panggil Carol.
Alex? Nama laki-laki berambut pirang ini Alex?
"Tak apa." Alex merapiran helaian rambut yang menutupi wajahku.
"Nah dari mana kita mulai?" Alex mulai bercerita. "Dunia ini ada bagian terang dan bagian gelap. Mungkin selama ini kamu berada di dunia terang. Ah tidak, mungkin kamu berada di antara keduanya. Mengingat atas apa yang kamu lakukan untuk bertahan hidup."
Tak mengherankan jika Alex mengetahui latar belakangku.
"Lalu kami adalah penghuni bagian gelap dunia ...."
Aku menghela napas pelan. Pada dasarnya apa yang diucapkan Alex ini sudah aku ketahui. Tentang Oh Sehun dan Park Chanyeol yang merupakan anggota matia. Tentang Sehun yang merupakan pemimpin organisasi Naga Hitam dan Chanyeol pemimpin organisasi Harimau Putih, yang mana keduanya organisasi mafia yang bergeral secara ilegal.
Berita tentang hal itu sudah kuketahui. Hanya saja, laki-laki bernama Alex ini tak pernah kuketahui. Dia siapa? Dari organisasi mana? Aku tidak pernah tahu karena baru pertama kali melihatnya saat ini.
"Hah! Saat-saat seperti ini sangat aku sukai. Bercerita panjang lebar kepada seorang perempuan yang dengan patuhnya mendengarkan." Alex kembali bangkit. "Carol! Keep her! Don't hurt her, because we need her to trade with Sehun."
Wanita bernama Carol membuka ikatan kakiku. Sejenak ia terdiam sebelum akhirnya membuka ikatan itu. Anehnya, ia membantuku berdiri dan memegang kedua bahuku. Dengan santai ia membawaku pergi ke sebuah kamar. "Namamu Min Ah kan?"
Aku hanya diam, duduk dengan baik di atas tempat tidur.
Ia terdengar menghela napas. "Kenapa kamu harus mirip dengan dia sih?" gerutunya sambil mengeluarkan batu es dari dalam lemari pendingin kecil.
Aneh, ia mengompres memar di pipiku yang ia buat sendiri. Ia juga terlihat sangat hati-hati mendinginkan pipiku. Aku jadi penasaran.
"Kenapa kamu baik kepadaku?" tanyaku.
"Hanya sedang membayar sebuah kesalahan."
Karena telah menamparku?
"Jangan mengira karena aku memukulmu tadi. Bukan! Bukan karena hal itu!" tegasnya cepat. Lalu ia meletakkan nampan berisi air dingin dan es batu di sebelahku. "Lakukan sendiri!" perintahnya.
"Tidak perlu!" tolakku. Dari pada melanjutkan untuk mengompres pipiku, lebih baik aku berbaring. Tubuhku terasa sangat lelah. Aku melirik Carol yang duduk di dekat kursi sambil memperhatikan layar ponselnya. Setelah itu, kualihkan pandanganku ke langit kamar.
.
.
.
.
*** MAFIA ***
.
.
.
.
Sial! Aku ketiduran. Parahnya kedua kaki dan mulutku yang tadinya bebas sekarang sudah terikat.
Aku menoleh, melihat posisi terakhir Carol. Rupanya gadis itu tidak ada. Kuedarkan pandangan ke sekitar. Sosoknya yang mencolok dengan rambut berwarna abu-abu itu benar-benar tidak ada.
Dia, tidak ada di ruangan ini!
Entah ini adalah suatu keberuntungan atau malah jebakan yang berakhir maut. Sebuah benda berkilau menarik perhatianku. Dengan susah payah, aku turun dari tempat tidur dan mendekat ke sana. Mulanya aku membelakangi sudut lemari besi itu, untuk memotong tali yang mengikat di tanganku. Sayangnya posisiku tidak bisa menyentuh tali tersebut.
"Apa yang sedang kamu lakukan?" Suara Carol terdengar bersamaan dengan pintu dibuka. Ia mendesah. "Percuma saja, ikatan di kakimu akan kulepas begitu akan pergi ke tempat perjanjian."
Aku mengerutkan dahi. Carol mendekat kemudian melepaskan ikatan di kakiku. Mulut dan tanganku tetap terikat. Kemudian ia membawaku keluar dari kamar. Beberapa menit kemudian, aku melihat seseorang yang kutahu adalah bawahan Sehun.
Aku sedikit bernapas lega. Sepertinya setelah ini semua berakhir.
Bawahan Sehun memberikan sebuah map berwarna hitam. Dan setelahnya aku dilepaskan Carol begitu saja. Sejujurnya ada yang aneh dari perjanjian ini. Mengapa hanya Carol dan salah satu bawahan Sehun yang berada di sini? Lagipula bukankah masing-masing bisa menyerang?
"Di mana Sehun?" tanyaku begitu ikatan di mulutku dibuka. Aku mengedarkan pandangan. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Sehun di sekitar. Aku hanya melihat hamparan laut yang gelap karena tempat perjanjian ini berada di luar.
Aku melihat Carol yang berjalan santai meninggalkan kami. Namun sejenak ia berhenti. Tiba-tiba perasaanku tidak nyaman.
Dor!
Dor!
Dor!
Tiga tembakan yang membuatku menjerit terdengar sangat keras. Bahkan tubuhku jatuh ditimpa tubuh bawahan Sehun.
"Hei! Apa kamu tidak apa-apa?" tanyaku sambil menggeser tubuhnya yang berat.
"Apa ... Nona ... terluka?" tanyanya terputus-putus.
Deg!
Cepat-cepat aku duduk dan melihat tubuhku. Tidak ada luka apapun. Lalu aku melihat darah yang membasahi celanaku. Tidak!
"Tuan! Kamu tidak apa-apa?" tanyaku panik.
"Nona cepatlah lari dari sini!" pesannya sebelum akhirnya terkulai di lantai.
Tawa seseorang membuatku menengadah. Tak jauh dari sana, aku melihat Carol tertawa. Sebelah tangannya memegang pistol dan sebelahnya lagi memegang map hitam tadi. Ia terlihat sangat puas lalu berbalik pergi.
Kurang ajar!
Kenapa ia harus membunuh setelah perjanjian ini terpenuhi? Mengapa ia bersikap curang seperti itu?
Aku bangkit dan berjalan cepat ke arahnya. Sebisa mungkin aku menghilangkan suara agar ia tidak tahu aku berjalan di belakangnya. Ketika cukup dekat, aku memukulkan kursi plastik ke tubuhnya. Aku yakin sekuat-kuat wanita bernama Carol itu, ia pasti akan jatuh juga setelah dihantam kursi ini.
Aku merampas map yang menjadi nilai diriku. Dia, Alex, dan kelompok aneh itu tidak berhak untuk mendapatkan map ini. Dan lagipula aku tidak ingin berhutang dengan Sehun.
"Sialan!" maki Carol di belakangku.
Aku semakin mempercepat lariku, menjauh darinya.
"Kubunuh kamu!" teriaknya lantang.
Aku melirik ke belakang. Mulut pistol yang tadi sempat meletus mengarah kepadaku. Aku menelan ludah, mengedarkan pandangan dengan panik untuk mencari tempat bersembunyi dari amukan peluru super cepat itu.
Suara tembakan pistol terjadi lagi. Beberapa orang yang kebetulan berada di sekitarku menjadi berteriak. Suasana menjadi panik. Dan aku masih selamat karena tembakannya meleset dan hanya mengenai dinding.
Kakiku terus melangkah cepat. Aku terus lari sambil berteriak memanggil nama Sehun. Sial! Aku kembali ke tempat tadi, di mana tempat perjanjian yang luas. Tak ada tempat untuk sembunyi di sini.
"Terpojok Nona?" Suara Carol terdengar sangat puas. Ia masih mengarahkan pistol kepadaku dari tempatnya yang jauh.
Aku mempererat pelukanku pada map ini. Terserah apa yang diinginkan Tuhan. Jika setelah ini hidupku harus berakhir maka berakhir. Namun jika harus tetap hidup maka selesaikan ini tanpa ada rasa sakit.
Aku kembali mendengar tembakan. Detik berikutnya aku merasakan sesuatu menembus bahu kananku. Belum sempat aku membuka mata, tembakan lainnya terjadi. Kurasakan tubuhku sangat perih, terutama di bagian bahu kanan. Aku membuka mata dan melihat sosok Sehun yang berlari ke arahku. Akhirnya, dia datang juga.
Pandanganku mulai gelap. Semakin lama, semakin gelap hingga aku tak merasakan apapun lagi.
.
.
.
.
.
.
Tes tes tes!
Check mic!
Sip!
Halo! Aku gadisdewa! Kenapa aku tiba-tiba memberi salam seperti ini? Karena upload setelah ini adalah chapter terakhir. Aku tahu nanti bakalan ada yang tidak puas karena keterbatasanku dalam mengembangkan cerita ini. Sungguh, aku baru pertama kali menulis cerita dengan sudut pandang orang pertama ini. Jujur saja, cerita ini membuatku memutar otak.
Sesuai dengan pengumuman sebelumnya, cerita akan selesai sesuai rencana awal.
Sampai jumpa di bagian terakhir kisah ini.