"Pak David!" sapa Charice muncul di belakang David.
David membalikan tubuhnya ke belakang. Ia menemukan senyuman bak seorang gadis kecil yang baru mendapatkan eskrimnya.
David membalas senyuman Charice, senyuman David bak seorang pangeran yang baru bertemu jodohnya.
Penampilan David tidak seperti biasanya, ia kini mengenakan kemeja kotak-kotak kecil biru panjang yang digulung hingga siku, dengan rangkapan dalaman kaos putih, dimana kemejanya dibuka 2 kancing di atasnya. Bawahannya sendiri menggunakan jeans baggy. Untuk tatanan rambutnya tidak banyak berubah, tetap klimis dengan sedikit ketidak-rapian.
Jika Charice, ia tetap berpenampilan kesehariannya yang cuek, rambut diikat satu ke atas, poninya dibiarkan saja. Bajunya mengenakan kemeja jeans yang bermotif biru ombre. Bawahannya juga tetap setia dengan jeans, namun kini yang dipakai adalah jeans cewek yang pas ukuran kakinya dan bukan jeans belel kesukaannya.
"Aku sampe kan walau nggak Bapak jemput?!" ujar Charice bangga.
"Memangnya kenapa kau tidak ingin saya jemput?"
"Berhubung ini Minggu, semua anggota kluargaku full di rumah. Bisa-bisa kita digunjingin sama Mama, Papa, plus Eonniku. Kan tahu sendiri kita masih backstreet?!"
David hanya tersenyum kecil menaggapi ocehan Charice. "Ehemm" David berdeham. "Jadi sampai kapan kita seperti ini? Kapan kau akan berniat mengenalkan saya kepada orang tuamu Char?"
Charice kaget dengan pertanyaan David yang bernada serius. "Eh?" Charice buru-buru mengalihkan perhatian. "Pak David, takut nggak naik roller coaster?" Charice menunjuk roller coaster yang tingginya mencapai 30 meter di hadapannya.
David melihat orang yang berteriak histeris menaiki roller coaster tersebut.
"Enggak, saya berani. Kamu?" David meninggikan nada suaranya.
"Saya juga berani dong Pak!" Charice tak mau kalah.
"Ayo kita mengantri untuk naik!" ajak David.
"Eh tunggu dulu Pak!" Charice megeluarkan bando berbentuk tanduk rusa sebanyak 2 buah dari tasnya. "Pake ini dulu!" Dia memakaikan bando tersebut ke kepala David.
David menunduk, menuruti Charice.
Gantian Charice juga memakai tanduk rusa itu di kepalanya sendiri. Charice mengajak pacarnya berselfie. "Ayo Pak, kita selfie dulu!"
David diam-diam memandangi Charice yang jarak wajahnya tak sampai 3cm dari wajahnya.
"Pak, sini liat kamera..." Charice tersenyum lebar dan membuat wajahnya lebih cute dari biasanya.
"Iya-iya..."
Ckrek! Cekrek!
Smartphone Charice berhasil mengabadikan selfie Charice dan David.
David memandangi hasil selfie mereka. "Ternyata tak sejelek yang saya bayangkan!" ujar David.
"Emang nggak jelek sama sekali Pak!" Charice tercengang mendengar perkataan David.
Mereka pun berselfie dengan beberapa pose lagi, ditambah dengan efek kamera 360.
"Ini efek apa Char?" David menunjukan salah satu hasil foto mereka.
"Ini... efek biar jadi tua," jelas Charice. "Eh tapi kok Bapak malah kelihatan kaya muka bayi ya disini?!"
David membuat pose tanda V dan menaruhnya di bawah dagu.
Dalam hati Charice. Alay Pak, untung ganteng!
Mereka muulai bermain wahana-wahana yang ada di taman bermain tersebut.
Yang pertama adalah roller coaster seperti keinginan Charice.
Kini giliran mereka yang dari tadi mengantri untuk bisa naik roller coaster.
Mereka duduk di kereta urutan ketiga. Mereka sudah dudk di kereta untuk menikmati wahana roller coaster.
"Pak, jangan lupa teriak yang kencang ya! Jangan jaim!" Charice memperingati.
"Iya tahu Char, kamu juga kalo takut bisa pegang tangan saya yang kencang, jangang sungkan!"
Permainan roller coaster pun dimulai. Mereka selayakya partner in crime yang tak takut akan rintangan rel roller coaster yang mengerikan, mulai dari miring, terbalik, hingga jatuh dari tempat yang berketinggian paling tinggi. Mereka berdua benar-benar menikmati permainan yang memacu adrenalin sepert itu.
Setelah bermain roller coaster, mereka pun mulai bergrilya wahana-wahana pemacu adrenalin lainnya sampai waktu menunjuk jam 3 sore. Akhirnya mereka merasa lelah dan memutuskan selesai bermain-main.
"Udahan nih?" tanya David.
"Iya, Pak. Udahan aja, saya udah capek!"
"Ayo kita beli es krim di tukang es krim itu!" David menunjuk truk eskrim turki.
Es krim Turki yang satu itu, terkenal kepiwaiannya menghibur pembeli. Ia mempermainkan pembeli yang ingin mengambil eskrim yang dibelinya. Pembeli hampir dibuat berputar-putar untuk mendapatkan eskrim karena si pembuat eskrim terus menjatuhkan eskrim yang sudah jadi ke tempat pembatan eskrim, terus-menerus, bahkan tak jarang membuat pembelinya menjadi jengkel.
"Ah jangan disitu Pak!"
"Kenapa?"
"Saya suka kesel sama abang-abang eskrim Turki, isengnya kelewatan!"
"Tapi kan itu seninya."
"Iya sih, yaudah lah ayo beli kesana aja. Untung eskrimya enak, kalo enggak, mungkin nggak laku tuh abang-abang!"
Akhirnya mereka menghampiri tukang eskrim Turki tersebut.
"Mau beli berapa Pak?"
"Satunya berapa Bang?"
"Satunya 250 won saja, tidak mahal kan?"
"Baik, saya mau dua ya!"
"Ok. Yang satu buat adik ini Pak?" Tukang eskrim menunjuk Charice yang berada di samping David. Perawakannya yang mungil mmemang sudah sering dikira masih remaja.
"Saya sudah cukup umur kok bang, bukan anak remaja!" tegas Charice.
"Oh, saya kira non ponakannya Bapak ini."
"Enak aja bang!" Charice sewot tak terima dibilang keponakan David.
"Jangan bilang kalo kalian berdua pacaran?!" Abang eskrim turki tersebut menebak dengan benar.
"Memangnya kita berdua nggak kelihatan pacaran ya bang?" tanya David sopan.
"Kalian berdua sama-sama ganteng dan cantik, tapi saya pikir Bapak sudah sangat dewasa dan cukup umur untuk memiliki istri," jelas tukang eskrim.
"Yampun Bang, kita tuh Cuma beda 4 tahun tahu!" celetuk Charice.
"Oh Cuma beda 4 tahun? Ini non yang mukanya kemudaan apa pacarnya yang keliatan dewasa?"
"Dua-duanya," jawab David.
Akhirnya eskrim telah selesai dibuat.
Baru dua babak permainan, David sudah bisa menangkap eskrim dari sang tukang eskrim tersebut. Si tukang eskrim tercengang dengan kelihaian David. "WAH Bapak adalah orang ketiga yang bisa menangkap permainan saya hanya dalam 2 babak."
"Tapi adakah yang bisa menangkap di babak pertama?"
Si tukang eskrim menggeleng. "Sejauh ini tidak ada Pak."
"Lain kali saya akan menangkap permainan abang di babak pertama."
Charice hanya melongo melihat pacarnya. Dalam hatinya. Pak David ternyata boleh juga skillnya. Aku kira dia bakal kaku banget, ternyata enggak juga.
Mereka nmenikmati eskrim dengan uduk di sebuah gazibu.
Charice sibuk menjilati eskrim miliknya. David hanya memandangi Charice, eskrim yang dipegangnya mulai mencair dan meluncur ke tangannya.
Charice melihat eskrim David yang sudah menetes ke tangan David. Dan Ia pun berhenti memakan eskrimnya. "Waduh, Bapak tangannya kotor gara-gara eskrimnya keburu cair!" Sontak ia mengelap tangan David dengan tissue menggunakan tangan sebelahnya yang sedang tidak memegang eskrim.
David sedari tadi hanya memandangi Charice saja.
Mereka berdua telah selesai makan eskrim dan mulai berbincang-bincang.
"Orang pacaran kan biasanya ada panggilan sayang, Bapak nggak mau gitu buat panggilan sayang juga?"
"Kamu maunya dipanggil apa?" tanya David.
"Apa ya? Hm..."
"Sayang?"
"Ah.. sa.. sa.. sayang? Cringe deh Pak, semua pasangan rata-rata banyak yang manggil sayang."
"Yaudah nggak usah aja kalau begitu."
"Sebenernya tetap agak aneh sih Pak, karena saya tetap manggil Bapak, Bapak juga."
"Terus kamu mau merubah panggilan ke saya jadi apa?"
"Oppa?"
David tertawa. "Saya 8 tahun tinggal di Amerika dan saya tidak punya adik perempuan jadi sangat terdengar aneh jika ada yang panggil saya 'Oppa'."
"Iya sih aneh, Bapak terlalu dewasa untuk dipanggil Oppa. Bagaimana jika... Kakak?"
"Terlalu tradisional. Saya bukan senior kamu di kampus."
"Hyung?"
David tertawa. "Kamu kan cewe, masak panggil saya Hyung?!" David mudah tertawa dengan hal receh. "Jujur ya, saya jarang sekali memanggil orang yang lebih tua dari saya dengan Hyung kecuali jika dia sudah dekat dan cukup mengenal saya. Saya juga nggak lebih biasa dipanggil Hyung oleh pria-pria yang lebih muda dari saya, kebanyakan manggil saya Bapak."
"Yaudah lah Bapak aja, saya pusing nyari panggilan yang tepat!" Akhirnya Charice menyerah.
"Yaudah saya juga tidak keberatan kok!"
"Tapi masalahnya Pak, nanti orang-orang ngiranya kita om sama ponakan kalo saya tetep menggil Bapak dengan sebutan Bapak."
"Peduli amat dengan omongan orang."
Batin Charice. Mereka manggil Bapak ya karena terlihat anda berwibawa dan memang seorang direktur.
"Saya mau tanya, penampilan saya yang begini masih kelihatan Bapak-bapak ya?"
"Sebenarnya sih nggak Pak, Bapak sudah cukup gaul kok bajunya, TAPI,,,," Charice menunjuk ke atas menggunakan isyarat dengan bibirnya yang dimajukan ke atas, kepalaya memanggut ke atas.
David tak mengerti. Ia berusaha menerka maksud Charice. "Ini..." David memegang kepalanya.
"Iya." Charice mengangguk.
"Memangya terlihat ada gejala kebotakan di kepala saya?"
"Bukan begitu Pak, tapi gaya rambut bapak itu formal banget dan tampilannya beneran CEO yang kaku banget, atau kaya Bapak dosen yang mau ngajar. Ya pokoknya terlalu klimis, dan rapi."
David tak setuju dengan pendapat Charice. "Jadi gara-gara klimis dan terlalu rapi maka saya terlihat seperti benar-benar sudah Bapak-Bapak? Wah, memang anak gaul tidak boleh menjadi rapi?"
Charice tertawa cekikikan. "Ya enggak gitu juga sih, nggak ada korelasinya antara anak gaul sama kerapian. Pokoknya intinya aura dalam diri Bapak itu udah dewasa banget, bukan muka boros ya, saya kasih garis tebal, dewasa."
"Tapi saya suka dengan penampilan saya yang seperti ini walau seperti Bapak-Bapak."
"Iya nggak masalah Pak."
Dalam hati Charice. Bapak diapain aja juga udah ganteng kok dari sananya. Klimis aja ganteng apalagi kalo disetel jadi penampilan anak gaul.
Mereka berdua menhghabiskan waktu hingga senja bermain di amusement park lainnya anak remaja berkencan.
***