Edited by Mel
"Di mana bersemayam harap dan rinduku,
di mana ku labuhkan isi hatiku?
Semesta,
dunia menghimpit ;menghancurkan aku.
Satu pelarian dan perlindunganku, gunung batu pelindungku.
bahu dan punggungnya ku lihat, ku ingat.
sosok pelindung dan pengusap tangisku, gunung batuku.
Dingin namun tak bergeser, kaku namun ku rasakan cinta dan hangat perlindungannya.
Ayah, terima kasih telah menjadi gunung batuku!"
Bersamaan dengan benturan kuat itu, David yang kini menjadi bulan-bulanan serangan dari puluhan peserta lain tak lagi fokus pada apa yang seharusnya di perjuangkan. Bahkan ia tidak begitu peduli terhadap keselamatannya sendiri. Meski tiga cakar api telah menyayat punggungnya namun bocah gendut itu tidak menghiraukannya sama sekali. Justru ia lebih memilih untuk merangkak ke arah Lanika yang tengah tersenyum ke arahnya.
Dua orang lain muncul di depannya, mencegah ia mendekati Lanika. Dengan luka yang masih menganga, menyingkap tulang dan lemak-lemaknya yang putih dibasuh darahnya yang mengalir deras hampir di sekujur tangannya.
Matanya memerah, amarah yang kian tersulut dalam dirinya membuatnya geram dan menghantam kedua orang itu. Seorang yang menebasnya dengan pedang besar berwarna hitam terpental seketika ketika wajahnya dihajar oleh kepalan tangan besar David. Perisai miliknya seperti ditarik magnet dan dengan seketika menempel dalam genggaman tangan kanannya, melindunginya dari serangan pedang besar yang kini menyasar ke pundaknya.
"Aku akan melindunginya.." Ujar David pelan.
"Ya.. Benar!"
"Aku akan melindunginya!" David seakan tersadar akan sesuatu, mendapat sebuah ilham tentang aksaranya. Aksara yang ia coba cari dan coba pahami, sebuah aksara dengan pertahanan luar biasa.
Ilham dan inspirasi itu membawanya kembali ke masa ketika ia masih tinggal bersama kedua orang tuanya, matanya terbuka namun di tempat berbeda.
Lebih tepatnya ilham itu seperti aliran sungai yang membawanya mengarungi memori, menyelami hati dan keinginan terdalamnya.
Aksara itu membawanya pergi ke dua tahun lalu, ke tanah kelahirannya.
Ia melihat sosok bertubuh gemuk dengan tinggi tiga meter tersenyum ke arahnya, wajahnya tak asing, senyumnya ramah dan tubuh besarnya selalu memberi rasa aman ketika melihatnya.
"Nak, apa yang kau lihat?" Tanya sang ayah.
"Gunung! Eh lebih tepatnya gunung batu!" David terlihat berpikir sebentar, kemudian menjawab sambil tersenyum. Ia berlagak seperti anak-anak manja kebanyakan ketika di hadapan sang ayah, sosok yang begitu dekat dengannya.
"Benar, tapi ia memiliki arti yang jauh lebih besar bagi kami orang-orang tua!"
"Gunung ini adalah benteng pelindung kerajaan kita."
"Gunung ini tak ubahnya gunung batu lainnya, hanya tahukah engkau, gunung ini juga yang melindungi jutaan orang di kerajaan ini dari serangan ratusan naga."
"Benarkah yah?! Ia tidak terlihat berbeda dengan gunung lainnya?!" Tanya David skeptis.
"Hahaha tentu! Lihatlah kau melihat ribuan aksara yang tergores di sana, goresan-goresan yang terangkai menjadi formasi itu?" Sang ayah menunjuk ribuan simbol di permukaan tembok.
David mengikuti telunjuk sang ayah, kemudian mengangguk.
"Kau tahu, dahulu gunung ini tidak memiliki aksara sama sekali.." Sang ayah berucap dan tersenyum misterius.
"Ah?? Lalu bagaimana mungkin sekarang aksara-aksara itu memenuhi seluruh gunung itu?!" David tercengang.
"Haha setiap pelindung kerajaan dan para general yang mengorbankannya nyawanya sesaat sebelum mereka mati, mereka mengorbankan seluruh kekuatan mereka yang tersisa kemudian membubuhkan aksara mereka di sana!"
"Setiap aksara memiliki cerita mereka sendiri!"
"Gunung itu kemudian menjadi semakin kuat karena aksara-aksara yang terdapat di permukaannya, kekuatannya meningkat dengan bertambahnya jumlah anak-anak kerajaan yang membubuhkan aksara terakhir mereka di sana."
"Dengan kata lain di sana bersemayam ribuan penjaga kerajaan ini!"
"Para leluhurmu, yang menumpahkan darahnya bagi kerajaan dan bangsanya!"
"Mereka menjadi tembok pelindung bagi kita semua.."
"Ayah pun kelak ingin menjadi salah satu aksara di gunung ini.."
"Menjadi benteng yang melindungi dirimu dan ibumu, melindungi seluruh kerajaan dan keluarga besar kita ahahaha!" Ujar sang pria besar dan gemuk itu, ia merengkuh David dan membawanya berjalan semakin dekat."
"Ketika api melanda kerajaan ini, ayah akan memadamkannya dengan darah ayah! Ketika ribuan hujan panah menghujani kerajaan ini, maka ayah akan menjadi tameng pelindungnya!"
"Nak, untuk kerajaan ini dan keluarga kita.."
"Ayah akan melakukan apapun!"
"Ayah dan tembok ini, tak akan bergeser sedikit pun dan akan melindungi kalian semua!"
Seketika aksara milik David menjadi semakin jelas, perlahan mengambil rupa gunung batu raksasa yang menjadi benteng besar yang melindungi tanah kelahirannya!
Matanya memandang bayangan di udara, yang hanya ia sendiri dapat melihatnya. Aksara pertama dari beberapa kata itu terlihat jelas, namun sisanya masih terlihat kabur. Ia mengerti bahwa ia membutuhkan waktu untuk mengungkap aksara lainnya, namun ia tetap tersenyum bahagia karena telah membentuk aksara pertamanya.
"Ternyata aku selama ini mencari ke arah yang salah! Aksaraku bukan soal bertahan! Bukan!"
"Aksaraku adalah soal melindungi! Melindungi mereka yang berharga bagiku!"
"Bangkitlah! Bangkitlah aksaraku!" Ia membatin dan menjadi semakin bersemangat, seperti terperangkap dalam ilham yang ia dapatkan, ia lupa akan luka di tubuhnya. Hal ini merupakan sebuah hal yang di alami mereka yang mencari aksara mereka sendiri, sebuah ilham yang tidak dipaksakan dan hanya terjadi bila semesta mengizinkan.
Aksara itu datang di saat yang tidak kita duga, terbentuk dari ketulusan terdalam manusia dan bukan atas kehendaknya!
"Aksaraku! Benteng pelindungku!" Ia berteriak keras. Semua mata memandangnya, bahkan Gyves, terutama para guru dan pengajar mereka tercengang. Menemukan semua aksara adalah impian tiap orang.
Karena aksara ini adalah sesuatu yang David temukan dan hanya dia yang benar-benar memahami bagaimana cara mendapatkan dan membentuknya. Sehingga tidak semua aksara dapat di ajarkan, tak semua aksara juga bisa di pahami oleh orang lain. Terutama aksara-aksara yang langka dan memiliki kekuatan luar biasa.
"Aku tidak akan bergeser! Aku akan menjadi seperti gunung yang melindungi mereka yang berharga bagiku!"
"Haaaaaaaaaaaaa!" Ia berdiri tegak, mengangkat kedua tangannya dan menengadah ke langit dan berteriak.
"Duuaarrrrr!"

[1] Dipa, sansekerta, sebuah kata sansekerta yang di tuliskan dalam huruf aksara jawa (hanacaraka) yang berarti gunung;bukit namun juga bisa berarti benteng.
Aksara terbentuk di sekeliling David, dua perisai itu pun mengelilinginya. Aksara-aksara yang terbentuk oleh jiha itu pun memasuki perisai David, dua tameng itu kemudian bercahaya mengeluarkan bunyi seperti kilat dan petir yang menyambar. Membentuk lebih dari seratus perisai lain, yang kemudian membentuk puluhan benteng-benteng yang mengelilingi David.
Ini adalah aksara dasar David, ia berhasil memurnikan uma miliknya hingga tiga kali. Proses pemurnian ini memakan waktu dan konsentrasi yang luar biasa, sehingga ia harus berlatih setidaknya delapan jam setiap harinya. Proses ini seperti meditasi, namun ia harus tetap berfokus selama delapan jam dan hal inilah yang membuat ia yang tak sabaran itu hampir-hampir gila.
Sesungguhnya setiap Magi harus memiliki hati yang kuat. Sehingga ia mampu berfokus dan berlatih selama berjam-jam bahkan berhari-hari tanpa merasa lelah dan hal itu sangat memakan energi yang tentunya memberi beban berat pada mental manusia. Gyves berusaha memaksanya namun melihat kondisi emosional dan cara berpikir muridnya itu, Gyves pun menyerah. David memiliki pemikiran sederhana dan tipikal pribadi emosional, sehingga akan sangat sulit baginya untuk terus berusaha memurnikan uma miliknya.
Aksara dasar berbeda dengan aksara biasa, mereka dapat di aktifkan seketika, itu juga karena mereka tersimpan di dalam uma.
Benteng besar itu melindungi David, puluhan serangan kini tertuju pada dirinya. Bola api, pedang angin, bahkan tombak-tombak batu yang bermunculan dari bawah tanah menyerang David secara bersamaan, kadang bergantian, meski begitu tak satu pun mampu menyentuhnya.
"Mengejutkan!"
"Ia berhasil membentuk aksara baru yang tidak pernah tercatat sebelumnya!"
"Peserta nomor #606 David menunjukkan aksara dengan pertahanan yang amat luar biasa!"
"Ia seorang diri menghadapi lebih dari tiga puluh orang!" Pico jelas terlihat terkejut, meski begitu matanya bersinar!
"Apakah ia akan mampu membalikkan keadaan?!" Pico beberapa kali melemparkan komentar untuk membakar antusiasme.
"Hmm..." Gyves menggumam pelan, matanya tajam menatap ke area pertarungan. Tangannya ia kepal, ribuan aksara-aksara kecil terbentuk seperti debu di sekitar tangannya.
Sedang semua mata tertuju pada area pertarungan, Hans berjalan menuruni tangga sambil menyeret Glaive milikinya. Bebatuan yang menjadi lantai stadion beradu dengan senjatanya, membuat suara-suara dan percikan api.
Perlahan para penonton yang berada dekatnya-mereka yang duduk dan berdiri di pinggiran anak tangga- menoleh mencari sumber suara logam yang beradu dan menemukan seorang bocah berjalan menyeret senjata yang lebih besar dari tubuhnya.
"Apa yang ia lakukan?!" Tanya seorang penonton yang memakai kacamata. Ia bukanlah satu-satunya orang yang menyadari hal itu, hampir semua penonton yang bersebelahan dengan anak tangga menatap ke arah Hans yang kemudian berjalan makin cepat hingga akhirnya berlari sembari menyeret Tisma, senjata miliknya.
"Hans.. Bocah ini!!" Gyves yang berada jauh di tempat duduk VIP pun menyadari gelagat Hans. Ia kemudian menghembuskan nafasnya, seketika membentuk awan yang melesat kencang bagai cahaya menuju ke arah Hans.
Keramaian yang Hans timbulkan kini menarik perhatian para Magi pengendali layar jiha. Delapan layar itu kemudian menyorot Hans yang tengah berlari dan kini sudah berada di ujung anak tangga. Hans yang kini berdiri beberapa meter dari penonton yang berada pada bangku terdepan, memandang ke atas tempat pertarungan berlangsung yang masih melayang di udara. Kira-kira jaraknya dua puluh meter ke atas, sehingga ia harus menggunakan awan penjemput bila ingin sampai ke sana.
Meski tidak memiliki awan penjemput Hans tidak menyerah, ia justru berlari semakin cepat, kemudian melompat ke arah salah satu pilar tempat lampu jiha bercahaya-lampu-lampu jiha di letakkan setiap enam dpa (sepuluh meter) untuk memberi cahaya ketika malam-. Ia memusatkan jiha pada kedua kaki serta tubuhnya dan segera ia melompat begitu tinggi hingga empat meter, kemudian mendarat di salah satu sayap pilar yang berbentuk seperti bahu. Tanpa menunggu lama, ia pun melompat ke sayap lain yang berjarak dua meter di atas pilar yang sama.
Ia hanya menghabiskan satu helaan nafas untuk mencapai sayap yang kedua itu, namun ia tidak berhenti. Ia kemudian memotong ujung pilar itu dengan sekali tebasan yang di sertai jiha di sisi tajam senjatanya.
Sambil memutar diagonal Glaive miliknya ia memotong kepala pilar dengan bagian ujung tajamnya, lalu dengan ujung lainnya, ia putar untuk memukul potongan pilar itu.
Hans pun melesat bersamaan dengan pilar tersebut dan menggunakannya sebagai landasan kaki untuk lompatan kedua yang ia lakukan di udara. Ia melompat lagi empat meter menggunakan potongan pilar itu, meski begitu ia masih terpaut dua meter lagi dari area pertarungan!
"Tidak!" Ia menggeram kesal, tidak ingin menyerah namun tidak mampu lagi naik lebih dari itu. Matanya menunjukkan ia enggan, merasa tak mampu berbuat apa-apa lagi.
Sementara itu di dalam area pertarungan, benteng besar terbentuk melindungi seluruh tubuh David. Ia yang masih dalam keadaan tak sadar akan sekelilingnya, terlihat masih melamun sambil menatap Aksara yang hanya nampak baginya.
Tak lama ia tersadar, matanya bercahaya dan menoleh ke arah Lanika.
"Terima kasih!" Ia tersenyum sungguh manis, meski dengan wajah yang pucat. Ia merasa Lanika yang membuatnya mampu membentuk aksara dasar pertamanya. Sungguh ironis, ia tidak menyadari bahwa gadis itu pula penyebab sebenarnya dari serangan yang ia alami.
Lanika atau lebih tepatnya sosok jahat di dalamnya tak mampu menutupi rasa terkejutnya, ia termangu beberapa saat sebelum akhirnya melepaskan senyuman.
Bosun dan tiga puluh peserta lain masih menyerang dengan kekuatan penuh. Mereka mencoba menembus lapisan pertama benteng cahaya yang menyelubungi David dan ternyata usaha itu berhasil. Namun seakan tak berujung, benteng lainnya terbentuk menggantikan benteng yang baru mereka hancurkan. David berada di tengah kerumunan, sendirian menghadapi serangan yang tiada berakhir dari peserta lainnya.
Meski Lanika telah berhasil mengendalikan lebih dari empat puluh orang peserta, namun mereka yang tidak terpengaruh akan ilusi tersebut tidak mau tinggal diam. Mereka pun terkejut melihat aksara yang telah berhasil dibentuk oleh David, sebagian memutuskan untuk membantu David bertujuan agar bisa membangun persahabatan dengannya nanti.
Selain peserta perempuan, para peserta yang memiliki pusaka dapat melawan ilusi yang Lanika buat dan menganggap bahwa mereka yang terpengaruh merupakan sasaran empuk karena hanya berfokus untuk menyerang David.
Mereka pun tanpa ragu melepas jiha masing-masing dan mulai menyerang para peserta yang terpengaruh, satu persatu pion-pion di bawah kendali Lanika berguguran.
Lanika yang masih tersenyum dari kejauhan dan saling tatap dengan David berjalan mendekat ke arah David. David yang tengah merasa bahagia membuat lorong di antara benteng besar yang melindunginya, membuat jalan bagi Lanika.
Lanika kemudian mendekat dan meraih pipi David, mengelusnya lembut. Bersamaan dengan itu ia menarik kabut harum yang mempengaruhi peserta lain, membuat mereka mendapatkan kesadaran mereka kembali.
Hal ini sengaja di lakukan bukan karena ia menyukai David, tapi karena ia kehabisan akal. Bila ia membunuh David saat peserta lainnya masih dalam keadaan tidak sadar, benteng pelindung milik bocah gendut itu akan hancur dan membuat ia juga menjadi korban serangan mereka.
"Hah?! Apa yang terjadi!" Bosun yang terlihat kebingungan saat melihat bison besar yang terbentuk dari aksara dan menyerang benteng di depannya. Ia merupakan orang yang pertama sadar dari pengaruh Lanika.
"Brukk..!"
"Arggh..!!"
"Tidak!!' Suara teriakan terdengar dari belakangnya, para peserta yang masih terjebak dari ilusi hanya tersadar ketika mereka terluka parah dan para pengawas segera membawa mereka keluar dari area pertarungan.
"Oh tidak!" Bosun masih terlihat bingung namun dengan cepat menyadari bahwa ia terjebak dalam ilusi, ia kemudian memerintahkan Bison miliknya untuk menjauhi pusat pertempuran untuk menyelamatkan diri. Bukan karena ia takut, melainkan ia hampir-hampir menghabiskan jiha miliknya dalam serangan sebelumnya.
David tersenyum dan membelai pipi Lanika, gadis itu kemudian berbisik di telinga David. Hal itu membuat David membungkuk karena ia lebih tinggi dari Lanika. Ketika ia menunduk tangan Lanika yang merangkulnya berubah menjadi sebuah sabit raksasa yang mengalirkan aura kematian dan berubah menjadi cakar besar berukuran dua meter.
Bisikan itu membawa pula ilusi di dalamnya, membuat David kehilangan kendali akan dirinya. Ilusi dan hipnotis bukan mustahil di kalahkan, namun dalam jarak sedekat dan terbukanya hati dan jiwa seseorang pada sang penghipnotis, sangat memungkinkan jika jiwa David dapat di kuasai sepenuhnya.
Sabit itu hendak menusuk David dari belakang, tepat di punggungnya, di mana jantungnya berada. Aura membunuh luar biasa menyeruak dari tubuh kecil Lanika.
"Niat membunuh!!" Gyves dan para guru, terlebih para pengawas yang bertindak menghentikan pertarungan tersadar. Dengan segera para pengawas memasuki area pertarungan, namun ketika hendak menolong David benteng milik bocah gendut itu menghalangi mereka masuk.
Gyves yang sebelumnya masih terlihat tegang kini gemetar dihantui rasa khawatir.
"David... Tidak!!!!!" Gyves yang kini berdiri dengan gemetar memandang area pertarungan dengan wajah pucat.
Namun sebuah teriakan membuat matanya terbelalak dan menyadarkannya.
"LANIKA! HENTIKAN!!!" Hans berteriak kencang, bagaikan auman singa yang terdengar ke seluruh stadion. Teriakan yang menggetarkan hati setiap orang, para peserta, guru-guru bahkan menggetarkan sosok yang berdiri tegak di ruang VIP.
"AKU AKAN MEMBUNUHMU!" Hans kini benar-benar di penuhi amarah dan tengah mengamuk. Ia adalah anak yang baik dengan hati lembut, tidak pernah sekalipun terlintas bahwa ia berhasrat membunuh seseorang. Ia melihat sosok lain dalam tubuh Lanika, sosok itulah yang memicu kemarahan dan insting membunuhnya.
Seakan ada rasa yang timbul bergejolak dalam dirinya namun bukanlah haus darah, melainkan keinginan untuk melindungi.
Matanya bercahaya, kini ia dapat melihat dengan jelas sosok yang mengendalikan tubuh Lanika. Dia bukanlah manusia biasa melainkan sosok seorang wanita setengah ular yang bertelanjang dada. Ia mengendalikan Lanika dan David kedua tangannya seperti Marionette atau boneka tali.
Kutukan yang menutupi matanya kini semakin melemah, di tambah energi suci yang mengalir dari hati yang telah Yu'da berikan membuatnya kini dapat melihat dengan jelas semua kejahatan. Bahkan yang tersimpan dalam hati manusia sekalipun.
Meski berteriak seperti itu, ia terlihat putus asa karena tidak memiliki pijakan dan mengakibatkan ia terjatuh dari ketinggian sepuluh meter.
"TIDAKK!!!" Ia berteriak di dalam hatinya, namun tetap tak kuasa mengubah keadaan.
Namun, ia terheran.
Tubuhnya yang semula jatuh terhenti di udara, ia terbelalak, bagaimana bisa ia tetap di tempat di mana ia berada padahal tanpa pijakan di udara.
Sebuah awan penjemput muncul di bawah kakinya, ia terkejut kemudian melihat ke bawah. Ia tersentak dan memalingkan wajah menemukan Gyves memandangnya dengan tatapan khawatir.
"Guru..." Ia terharu kemudian mengangguk kecil, ia pikir gurunya akan menghentikannya namun sang guru justru membantunya. Amarah Hans belum surut namun hatinya di penuhi kehangatan dan hal ini justru membuatnya semakin marah karena David merupakan sosok berharga juga buat sang guru.
"Semua bergantung padamu nak.." Ujar Gyves kecil, ia kemudian memandang sosok dengan jubah hitam di ruangan berada di seberangnya dengan penuh amarah. Di sisi lain stadion, perwakilan dari departemen jiwa dan roh memandang Gyves dari balik jubah hitamnya.
Sebelumnya Gyves berusaha melindungi David, ia mengirimkan jiha untuk menyelamatkan David. Namun sosok misterius ini menghalanginya, karena hal itu melanggar aturan. Meski begitu, sebagai seorang profesor aturan ini bukan berarti absolut kecuali ada profesor lain yang mencegahnya.
"BEDEBAH!!" Gyves menggertakkan giginya karena amarah.
Sementara itu, Hans menggunakan awan pelindung yang membawanya naik kemudian memukulkan Glaive miliknya dengan seluruh tenaga penuh, angin seperti mengikuti setiap ayunan senjatanya.
Ia terpental ke atas bersamaan dengan suara keras.
"Dongggg..!!!!!!"
Suara ledakan seperti lonceng raksasa terdengar, semua mata melihat ke arah Hans.
"Apa yang terjadi?!!" Teriakan penuh tanda tanya terdengar di seluruh stadion.
"Berani-beraninya ia melakukan itu?!! Tidak tahukan dia medan pelindung di area pertarungan memiliki mekanisme serangan balik!" Seorang guru yang mengawasi pertandingan menggerutu.
Ribuan cahaya yang melindungi area pertarungan seperti mengamuk karena serangan Hans, dan melakukan penyerangan balik pada Hans. Mereka membentuk puluhan panah cahaya yang melesat ke arah Hans.
Hans yang melihat hal itu mengayunkan Tisma untuk menghalau mereka dan berteriak sekuat tenaganya,"MINGGGIRRRR!!!"
Ia semakin terbelalak mendapatkan cakar berbentuk sabit itu perlahan bergerak hampir menembus tubuh David, Lanika tersenyum ke arahnya dan berusaha memprovokasi.
[Author's Note]
Hi, setelah chapter 30 update tiap minggu akan berubah menjadi 2 chapter setiap minggu hari Rabu dan Sabtu!