Chereads / Hans, Penyihir Buta Aksara / Chapter 57 - Aksara 32b, Titik Terendah

Chapter 57 - Aksara 32b, Titik Terendah

Edited By Mel dan Tiwi

Sang kepala akademi membawa Hans ke tempat meditasinya dan menyerahkan pada kaki tangannya.

"Penjarakan dia, hukuman mati.." ujarnya sambil melemparkan tubuh kecil Hans.

"Pastikan semua berjalan sesuai prosedur, ia membunuh sesama murid akademi" sambungnya tanpa berbalik, kemudian berjalan ke atas singgasana miliknya.

"Jangan masuk, tinggalkan aku sendiri!"

Kaki tangannya itu kemudian pergi meninggalkannya seorang diri dan membawa pergi Hans.

Sumpah yang ia buat hanya menyatakan bahwa ia tidak akan membunuh Hans, tapi bukan berarti ia tidak bisa menyuruh orang lain untuk membunuh Hans. Sungguh pemikiran yang picik bagi seorang kepala akademik.

Ia kemudian tersenyum lebar, tertawa dan melepaskan semua energi yang tertahan di dalam dirinya.

Keningnya bersinar karena jiha yang menyeruak bergelora bersamaan dengan munculnya aksara di keningnya. Seluruh energi di jagat raya seakan berlomba untuk memasuki tubuhnya lewat kening kepalanya.

"Hahahaha! Kekuatan yang selama ini ku inginkan sekarang menjadi milikku!" Ujarnya sambil tertawa keras. Auranya yang penuh keserakahan memenuhi seluruh bangunan piramida itu, menyebabkan para penjaga tersungkur. Beberapa bahkan kehilangan kesadaran, mengeluarkan busa dari mulut mereka.

Cahaya bersinar di punggung tangannya, pada awalnya berbentuk bulan purnama, namun beberapa saat kemudian delapan segitiga cahaya terbentuk mengelilinginya.

Tingkatan Magi terbagi menjadi empat siklus awal, yaitu tingkat bintang satu hingga empat. Dilanjutkan level bulan yang diawali bulan kosong kemudian bulan sabit, setengah purnama hingga bulan purnama.

Dan setelahnya dilanjutkan ke tingkatan di mana seseorang dianggap sebagai penjelmaan dewa.

Yaitu simbol matahari.

Sang kepala akademi memasuki sebuah babak baru dalam pencariannya terhadap kekuatan, ia baru saja menjadi seorang Magi tingkat matahari.

Masih dalam naungan dan kungkungan kuasa besar yang ia peroleh, kepala akademi menghancurkan tembok persemediannya, melesat ke langit dengan cahaya menyelubungi seluruh tubuhnya. Keningnya bercahaya paling terang, menunjukkan dari mana cahaya itu datang.

Sesampainya ia di atas, dengan mata dingin ia memandang ke seluruh kerajaan dan akademi. Tempat itu telah terkepung oleh jutaan iblis dari gerbang kegelapan.

"Musnah!" Ujarnya pelan.

"Aku Hessler! Akan menjadi salah satu dari penguasa daratan utara!"

Seketika itu ratusan pedang cahaya terbentuk kemudian menjadi seribu dan terus bertambah hingga jumlahnya mencapai jutaan pedang. Ia berada di tengah-tengah tirai jutaan pedang cahaya yang membuat langit menjadi begitu terang.

Para pasukan yang tengah bertarung melawan para makhluk neraka tersentak, memandang ke atas, melihat pedang cahaya yang begitu banyak jumlahnya, seketika melesat menghujam jantung makhluk-makhluk itu.

"Luar biasa! Paduka!!"

"Kita selamat! Paduka memang luar biasa!"

"Sakti mandraguna!"

Teriak para pasukan kepada sang kepala akademi.

Kekuatan besar itu memukau seluruh akademi hingga seluruh kerajaan. Sang kepala akademi mabuk dalam kekuatan yang bukanlah miliknya sendiri.

***

Sedang di sisi lain, anak buah kepala akademi membawa Hans yang kehilangan kesadaran ke penjara bawah tanah, tepat di bawah kerajaan Exeter. Akademi Exeter merupakan bagian atas kerajaan besar ini, sedangkan kerajaan yang berisi garis keturunan kepala akademi itu memerintah masyarakat biasa.

Penjara itu terdiri dari tujuh tingkat yang berlokasi di bawah kerajaan, berada di bawah tanah.

Pria setengah baya itu membawa Hans dengan menyeret rambutnya, sedang tubuh Hans beradu dengan lantai lembab penjara itu.

Bau menyengat semakin kuat tercium ketika ia semakin dekat dengan pintu baja besar yang menutup semua akses penjara. Wajah pria itu menunjukkan rasa jijik, ia beberapa kali meludah ke atas lantai penjara.

Ia kemudian berhenti sepuluh meter dari pintu besar itu,"Mordock! Kemari cepat!!" Ia berteriak dengan nada memerintah.

"Klek-klek-plang!"

Suara roda besi beradu terdengar, pintu baja besar yang seakan tak tertembus itu terdengar merintih keras. Tak lama berselang, seorang pria gendut dengan kepala botak berjalan keluar, wajahnya keji, beberapa gigi depannya hilang, bau busuk alkohol yang bercampur keringat dan darah menempel erat pada tubuhnya.

"Ah! Tuanku Graft! Pantas saja rasanya seperti cahaya matahari tiba-tiba terbit di dalam gua, ternyata sosok yang agung seperti anda datang berkunjung!" Mordock berucap dengan ucapan penuh pujian, menjilat sang pesuruh pemilik akademi, yang juga merupakan anggota kerajaan.

"Tuanku, ada yang bisa kubantu?!" Tanya Mordock sambil kedua telapak tangannya bergerak saling beradu.

Graft merasa jijik melihat penampilan sipir penjara yang berada cukup jauh darinya,"Bawa ia pergi, terpidana mati!"

Graft kemudian bergegas pergi, ia merasa jijik dengan bau dan udara di tempat itu. Ia melempar Hans begitu saja, meninggalkannya di tempatnya berdiri, seakan ia meletakkan sampah dan bukan manusia.

Baru Graft berjalan beberapa langkah, suara Mordock menghentikan langkahnya.

"Tuanku! Tuanku!"

Graft menghentikan langkahnya, namun tidak berbalik.

"Tuanku, keadaan sedang sulit karena serangan dari para makhluk neraka. Harga-harga meningkat tajam, terutama harga alkohol. Bisakah anda memberi sedikit pada hambamu ini??" Mordock berusaha terdengar halus dan penuh hormat, namun konsumsi alkohol berlebih membuat pita suaranya rusak. Sehingga ia terdengar seperti babi yang tengah meronta-ronta.

Mendengar hal itu, Graft malahan merasa makin jijik. Namun ia tetap merogoh koceknya, kemudian melemparkan kantong kecil yang sedari awal memang ia telah siapkan ke arah Mordock.

Pria gendut itu dengan gesit menangkap kantong kulit yang melayang ke arahnya, gerakannya sangat lincah, ia melakukan gerakkan yang tidak seharusnya dapat dilakukan orang gemuk sepertinya.

Ia membungkuk beberapa kali sambil tersenyum puas. Menyeret Hans, memegang rambutnya dan membiarkan tubuhnya bergesekkan dengan lantai penjara yang bau dan kotor.

Keduanya memasuki gerbang besar itu dan seketika cahaya mulai meredup. Sebelumnya terlihat cahaya remang-remang oleh obor-obor di pinggir tangga, namun sekarang kegelapan sejati menyambut keduanya.

Hanya ruangan sipir yang ditemani cahaya lampu minyak, sedang seluruh jeruji hanya berisikan kegelapan.

Sang sipir berjalan menyusuri ratusan jeruji besi. Ketika ia berjalan, para penghuni penjara menjauh dari pintu, seakan ketakutan dengannya.

Mordock membawa obor di tangan kirinya, sedang tangan kanannya masih menyeret Hans masuk. Ia terhenti di sebuah jeruji yang paling akhir, sebuah jeruji yang terasing.

Baru saja ia sampai, sebuah tangan kecil berlumuran darah mencoba mencekiknya.

"Benaya!! Aku akan membuatmu menyesal!!" Mordock berteriak dan mengancam ke arah tangan yang hendak mencekiknya itu, meski begitu matanya memancarkan ketakutan. Di bagian dalam penjara, seorang bocah berdiri dengan wajah dan tubuh di penuhi darah, seorang bocah liar, Benaya.

"Grrr!" Dia menggeram, seperti singa kelaparan yang tengah menghadapi musuh bebuyutan.

Mordock membuka pintu penjara, hanya menariknya kecil agar Benaya tidak keluar, meski begitu bocah itu seperti binatang buas yang memaksa keluar, sang sipir dan bocah itu beradu otot saling mendorong pintu.

Kesal, Mordock menarik tangan Benaya melalui celah jeruji, menekannya hingga suara tulang patah terdengar.

"Arggghh!!" Benaya mengerang, barulah ia menyerah dan mundur.

Napi lain yang melihatnya menunjukkan ekspresi berbeda. Kasihan, marah, kesal namun semua memiliki kesamaan, mereka memiliki kebencian mendalam terhadap Mordock, hal itu tergambar jelas di wajah dan mata mereka.

Setelah Benaya mundur, Mordock melemparkan Hans yang masih tidak sadarkan diri ke dalam. Kemudian meludah dan mengutuki Benaya beberapa kali, kemudian memandang napi yang lain,"Apa yang kalian lihat?"

Semua mata memandang rendah sang sipir penjara, ia berani menyiksa mereka hanya karena penjara ini membuat pengguna jiha sekalipun kehilangan kemampuannya untuk menggunakan kekuatanya. Mereka tak ubahnya manusia biasa di tempat ini.

Kecuali seseorang memiliki tubuh dengan kekuatan fisik luar biasa seperti Bernard, mereka akan menjadi mangsa sipir jahat itu.

Benaya melihat ke arah Hans yang tergolek tak sadarkan diri sembari mengerang. Namun ia memilih tidak mendekat karena tangannya masih terluka.

Setelah entah beberapa lama, tubuh Hans bergetar. Seketika itu juga ia tersadar, mengingat kejadian sebelum ia kehilangan kesadaran.

"Tuannnn Yu'da!!!!!" Ia berteriak sangat keras, auman keras terdengar dari tubuhnya. Benaya tersentak, dilingkupi ketakutan. Bukan hanya dia, namun seluruh napi terkejut merasakan sebuah teriakan atau lebih tepatnya auman keras yang menggetarkan jiwa.

Yang paling nahas adalah Mordock, sang sipir baru saja membuka alkohol baru. Ia baru melepas segel botol dan hendak meminumnya, namun teriakan Hans membuatnya tersentak dan menjatuhkan botol itu.

"Bangsat! Siapapun kau akan ku potong tanganmu!!" Mordock keluar dari ruangannya, membawa kapak dengan mata memerah dan emosi memuncak.

Ia berjalan dengan terburu-buru, napi yang lain berdiri dan melihat dari jeruji mereka, memegang jeruji sambil melihat ke arah sel tempat Hans dan Benaya ditahan.

Ketika ia sampai, didapatinya bocah yang sebelumnya kehilangan kesabaran itu kini berlutut, meraung-raung sambil menangis.

Mendengar langkah kaki berat milik Mordock bocah itu berhenti menangis, kemudian perlahan mengangkat kepalanya dan memandang sang sipir,"INI SEMUA KARENA KALIAN!"

"KEMBALIKAN BAPAKU!" Tatapan mata kosong menusuk mata Mordock, ditambah teriakan keras yang mengguncangkan jiwanya. Tanpa ia sadari ia mundur satu langkah ke belakang.

Ia hanyalah seorang anak kecil, kehilangan segalanya, sekarang menemukan harapan. Namun harapan itu dihancurkan di depan matanya dengan cara yang begitu keji.

Hans tidak menyadari seekor burung merpati putih hinggap di bahunya.

Ketika amarah, rasa kecewa, dendam terus memuncak dalam dadanya, burung kecil itu kemudian mengepakkan sayapnya.

Burung kecil itu terbang dan menembus keningnya, seketika rohnya keluar meninggalkan tubuhnya.

Ia terkejut, namun tubuhnya tak mampu berbuat apa-apa.

Ia melihat langit terbuka, ribuan bintang mengelilingi tahta besar yang dipenuhi cahaya. Cahaya terang berada di tengah tahta, sementara sosok yang tak asing berada di sebelahnya.

"Tuannn.." Air matanya mengalir turun perlahan, disambut oleh senyuman dari sosok di atas awan.

Tak lama tampak sosok lain, sang burung merpati duduk di tahta ketiga. Yu'da melihat ke arah burung itu, kemudian memandang Hans.

"Aku sudah berjanji, bahwa aku tidak akan meninggalkan engkau.."

"Kuatkan dan teguhkan lah hatimu, sebab engkau tidak sendiri!" Ketika ia berucap demikian, burung itu terbang kembali dan hinggap di bahu Hans. Keduanya kemudian menghilang begitu saja.

Ketika ia kembali masuk ke tubuhnya, pikirannya kembali jernih. Meski ia belum begitu memahami, tapi ia mendapat sebuah jawaban. Yu'da tidaklah meninggalkan dia, namun tetap di sana menjaganya.

Ia kemudian memandang Benaya yang ketakutan akibat teriakannya, mengabaikan Mordock yang mematung, ragu untuk masuk atau tidak.

Tatap Hans jelas mengisyaratkan bila Mordock masuk, darah akan tertumpah.

Benaya memang memiliki sifat dan insting seperti hewan liar, oleh sebab itu ia semakin mengerti bocah yang umurnya tidak jauh berbeda dengannya ini tak ubahnya hewan buas berbahaya.

Tubuh Benaya bergidik karena ketakutan, ia memandang Hans dengan penuh kengerian.

Hans yang terlihat masih linglung, berdiri dan berjalan ke arah Benaya. Bocah itu mundur ketakutan, wajahnya masih menunjukkan ketakutan yang amat sangat.

Mordock dan para napi yang lain begitu terkejut, sebab mereka mengenal betul, Benaya tak ubahnya makhluk luar yang buas, namun kini ia meringsut ketakutan seperti mangsa yang terpojok.

Hans berjongkok dan memegang tangan Benaya yang patah, kemudian..

"Crack..!"

Suara patahan terdengar.

"Arggghh!" Benaya berteriak keras.

Para napi tercengang dengan apa yang terjadi, meski gelap, namun obor yang dipegang Mordock membuat mereka dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi pada Hans.

"Tenang aku akan membantumu..." Uajr Hans Pelan, ia kemudian mengoyakkan pakaiannya dan membalut tangan Benaya yang patah.

Benaya yang sebelumnya meronta dan berteriak, terlihat sangat terkejut, kemudian mundur semakin dalam dan berbaring, namun matanya tidak lepas dari Hans.

Hans kemudian duduk dan memunggungi Mordock, sang sipir penjara terlihat marah namun rasa takutnya lebih besar dari amarahnya.

Ia hanya mendengus pelan dan berjalan pergi.

Hans kembali duduk, merenung sambil memunggungi napi yang lain. Kegelapan kembali perlahan menyelimuti bersamaan dengan menjauhnya Mordock dan obor di tangannya.

Waktu berlalu, Hans tertidur masih dalam posisi yang sama. Ia melakukannya agar para napi yang lain tidak mampu melihat ekspresinya. Ia tidak mengetahui apakah saat ini siang atau malam, tempat itu tidak memiliki cahaya.

Bau pesing dan keadaan lembab memperburuk keadaan, Benaya mendengkur halus.

"Hei!"

"Bocah!"

Suara serak membangunkan Hans, perlahan dengan berat ia membuka matanya. Tubuhnya bergidik, luka-lukanya tanpa ia sadari sudah sembuh. Namun sebagai gantinya, rasa lapar yang luar biasa datang menyerangnya.

Ia menoleh, mendapati seorang paruh baya memandangnya sambil menempelkan wajahnya ke jeruji besi.

"Ambil ini.. berikan juga pada bocah liar itu.." Ia melemparkan dua roti hitam ke arah Hans.

Roti itu bahkan berguling di lantai penjara, tercemar lumpur pesing penjara.

Hans ragu apakah harus mengambilnya atau tidak, namun belum sempat ia mengambil keputusan sepasang tangan kecil mengambil satu potong roti, dan dengan gesit menghindar ke sisi lain ruangan penjara.

Benaya melahap roti itu dengan cepat, tak memperdulikan kotoran dari lantai penjara yang menempel.

Hans memandang roti hitam di tangannya, perutnya menjerit, terutama ketika fisik sempurnanya menyembuhkan luka dengan sendirinya, tentu ada harga yg harus dibayar. Tubuhnya akan secara otomatis menggunakan energi dan tenaganya untuk mempercepat pemulihan. Termasuk lemak dan mineral dalam darah, jadi bukan berarti ia bisa menyembuhkan luka begitu saja, ia tetap butuh asupan energi dan mineral tubuhnya.

Ia mengelupas bagian luar dari roti itu, kemudian memakannya. Baru saja giginya menyentuh roti itu, ia terdiam, keras rasanya.

Tapi rasa lapar mendorongnya, menghabiskan roti itu. Benaya mengendus, memandangnya, sedikit menggeram.

Hans awalnya bingung, namun melihat mata Benaya lalu ia paham. Bocah itu menginginkan roti di tangannya.

"Kemari, ambil saja jika kau mau.." Ujar Hans pelan sambil menyodorkan roti di tangannya.

Benaya seketika melonjak mundur, terkejut, takut. Menggelengkan kepalanya, ke kanan-kiri. Kemudian maju dan dengan jarak dua hasta ia mengambil remah roti di tangan Hans dengan sebagian tubuh bersiap melompat mundur.

"Nak, mengapa kau bisa berakhir di tempat ini? Kau bermasalah dengan bangsawan mana?" Pria yang memberinya roti itu memanggilnya, mengalihkan perhatiannya dari Benaya. Bocah itu, Benaya, kemudian melihat kesempatan dan mengambil semua roti di tangan Hans dan menghabiskannya.

"Bangsawan?"

"Tidak.. Hanya saja, ayahku memiliki sesuatu yang diinginkan kepala akademi dan ia dibunuh."

".." Hans mengepalkan tangannya, kukunya menembus kulitnya hingga mengeluarkan darah. Benaya melesat mundur merasakan perubahan aura yang mengelilingi Hans.

"Hhmmmm.." Suara helaan nafas terdengar dari beberapa jeruji saat bersamaan.

"Lalu mereka memenjarakanmu?" Tanya suara yang sama.

Belum sempat Hans menjawab, suara Mordock terdengar dari ujung lorong.

"Hahaha.. bocah itu dijatuhi hukuman mati!! Hahahaha.. hukuman mati, kencingnya tidak selurus nasibnya!"

"Ciih!"

Suara orang meludah terdengar di sebagian besar jeruji, perlambangan kekesalan para napi pada Mordock.

Suasana tempat itu seakan menjadi dingin seketika, masing-masing terbenam dalam pikiran mereka sendiri.

Hans kemudian menemukan dirinya di tengah-tengah jeruji sepi yang dipenuhi kegelapan.

Sementara itu, keadaan di perbatasan juga mengalami perubahan. Keadaan memburuk ketika iblis tingkat tinggi mulai bermunculan dan menembus tembok kerajaan.

Membunuh para general pemandu pasukan sehingga para pasukan mengalami kekacauan. Beruntunglah dengan aksara yang baru ia peroleh, kepala akademi berhasil memukul mundur kawanan iblis itu mundur.

Terutama ketika panglima besar mereka Beelzebul menghilang, para iblis kehilangan komando mereka. Ratusan ribu iblis tercecer, meski mereka tanpa takut terus melawan, namun serangan dari pasukan gabungan siswa akademi dan kerajaan Exeter mampu mendorong musuh mundur.

Seluruh pasukan dan rakyat bersorak-sorai, merasakan kemenangan. Namun para pengintai kembali dari pengawasan dan membawa kabar buruk.

Author's Note:

Terimakasih untuk Mel dan Tiwi yang sudah mau bantu edit, chapter ini sudah selesai diedit sebetulnya dari minggu lalu. Tapi karena sekarang laptop sudah dipakai adik dan belum kekumpul buat beli yang baru jadi ya sedikit berantakan waktunya.

Semangat terus ya, meski sebenarnya ceritanya lagi di titik terpenting dari hidup Hans. I'll try my best, semoga bisa keluarin chapter lagi hari sabtu ya!

Indonesia butuh kamu, jadi jangan menyerah sama dirimu.