Edited by: Mel
Kerajaan Exeter, di penjara bawah tanah.
"Hei Benaya, tenang saja. Aku tidak akan memintanya!" Ujar Hans sambil tertawa kecil, tubuhnya terlihat kurus kering. Seminggu di dalam penjara tanpa makanan yang benar, ditambah lagi penjara ini mengisolasi jiha sehingga tubuhnya semakin lemah tanpa bisa memenuhi kebutuhan energi yang dibutuhkan tubuhnya.
Meski begitu ia terlihat tidak memperdulikan keadaan tubuhnya, beruntung Yu'da memberikan sisa hidupnya untuk Hans, meski tanpa bantuan jiha dari luar. Tubuhnya tetap mampu menopang kebutuhan energinya meski secara perlahan dan lambat, walau hal ini menyebabkan ia menjadi merasa lemah dan tidak berdaya.
Selama beberapa hari di dalam penjara ia mengajari Benaya, perlahan bocah itu mulai mengerti apa yang Hans katakan. Benaya mengangguk dan memakan rotinya perlahan.
Bukan hanya mengajari Benaya, Hans juga mulai mengenal orang-orang yang senasib dengannya. Mereka yang terkurung di dalam penjara. Selain itu, sedikitnya ia juga mengetahui alasan mengapa mereka ada di sana.
Odel Takur, adalah pria tua yang memberi Hans roti miliknya. Ia memiliki kulit hitam dan rambut keriting. Ia adalah seorang menteri di kerajaan Exeter. Hans mengetahui hal itu dari cerita napi lain, hal itu karena pria tua itu menolak membicarakannya.
Ada pula seorang pria kurus bernama Gergio Lakes yang merupakan seorang pencuri yang tak pernah tertangkap, meski begitu ia terluka parah di pencurian terakhirnya dan kehilangan kesadaran. Kemudian tertangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Semua orang yang berada di sana memiliki cerita mereka sendiri, cerita yang menyimpan kesedihan di baliknya.
Beberapa bahkan menjadi tahanan hampir separuh usia mereka tanpa kejelasan tanggal eksekusi dan berita akan dunia luar.
"Hei Benaya, coba ulangi!"
"Nama…."
"Saya…."
"Benaya...!" Ujar Hans, seperti tengah mengajari Benaya.
"Na.. naa.. rrrrrr!" Benaya coba menirukan, namun karena lidahnya terlalu lama tidak digunakan, mulut dan lidahnya menjadi kaku, ia menggeram karena kesal mulut dan lidahnya tidak bisa melakukan apa yang ia mau.
"Pelan-pelan, tidak apa-apa.." Ujar Hans selayaknya kakak yang sabar. Melihat Benaya membuatnya teringat akan adik-adiknya di panti.
"Ma…"
"Sa… saa.. yaa…" suara Benaya yang berusaha keras terdengar.
"Be..bbee.. nnaaaa… ja!" Sedikit berteriak memaksa, ia salah di silabel terakhir, bukan menyebut 'ya' justru 'ja' yang terucap. Mata Hans memperhatikan ekspresi Benaya, serta pergerakan semua otot mukanya.
Semenjak dulu ia memiliki kelebihan, mampu melihat dalam gelap dan juga mampu melihat roh. Hans menemukan otot Benaya tidak bekerja seperti pada umumnya. Ia menyadari, ada cedera di dalam kepala Benaya. Sayangnya jihanya tidak bisa ia gunakan untuk memeriksa bagian dalam Benaya.
"Kita harus keluar, tapi bagaimana?" Tanya Hans.
"BRUK.. BRUK.. BRUK!"
Penjara batu itu bergetar hebat, tiga kali getaran, getarannya semakin kuat hingga getaran yang ketiga membuat seluruh pintu penjara berderit.
Mordock memandang pintu-pintu sel yang terbuka. Wajahnya pucat, ratusan mata memandangnya.
"Pranggg!"
Mordock menyapu meja berisi puluhan botol Ale dan Alkohol kosong, membuat botol-botol itu berjatuhan dan pecahannya bertaburan di lantai.
"Tidakk.. tidakkk…" ia berlari ke arah pintu sambil mengambil kunci yang tergantung di lehernya.
Hans pun hendak keluar dan mengejar Mordock namun siulan di seberang selnya menghentikan langkahnya.
Ia melihat paman Odel menggelengkan kepalanya kemudian mengisyaratkan agar ia melihat ke sebelah kananannya. Ke arah sel yang jauh lebih dalam.
"Tahan pintu selnya!"
Paman Odel berucap tanpa suara, hanya menggunakan gerakan bibir. Ia dan paman Odel bergerak bersamaan menahan pintu sel mereka, mata Hans tertuju memandangi arah sel yang lebih dalam, dua sosok mengerikan berjalan keluar.
Tubuh keduanya berwarna hitam, aura kengerian mulai menjalar melalui kegelapan.
Tahanan yang berada di sana bukan hanya manusia, tapi juga para Ahengkara[1]. Ahengkara pada awalnya juga adalah manusia, namun roh jahat yang tinggal dalam diri mereka akan perlahan menguasai mereka bila tidak benar-benar memiliki kekuatan hati.
Permasalahannya adalah mereka disiksa dan diperlakukan lebih rendah dari binatang di penjara, hal itu membuat mereka menyerah pada roh yang menguasai mereka. Akibatnya tubuh mereka menjadi lebih kuat namun jiwa kemanusiaan mereka sebagai bayarannya.
Hans melihat ribuan mata memenuhi tubuh itu, wajahnya tersenyum seperti perempuan, namun dengan lubang di keningnya.
"Gila!"
Jantung Hans berdegup, seluruh napi yang lain gemetar, bulu kuduk mereka berdiri.
Selama ini mereka merasa tenang karena penjara kristal yang memenjarakan makhluk-makhluk itu menjadi pembatas antara mereka. Namun saat ini, hanya sel besi ini yang membatasi mereka.
Benaya mendesis seperti ular, menunjukkan bahwa ia benar-benar ketakutan, ia bersembunyi di belakang Hans.
Hans merasa tak berdaya, tak bersenjata, tak berjiha. Napi yang lain beruntung karena jumlah mereka setidaknya tiga sampai lima orang dalam satu sel, sedang Hans hanya berdua dengan Benaya.
"Kwooooaaakkkk…."
Seperti suara perempuan hamil yang sedang muntah, makhluk itu mendekati pintu sel paman Odel yang tertutup.
"Plangg!"
"Plangg!"
Tangan yang dipenuhi mata iu menarik pintunya, empat orang napi yang berada di dalam terlibat tarik menarik dengan keempatnya.
Bersamaan dengan itu terdengar jeritan dari dalam lorong lainnya, lebih tepatnya dari sel yang berbatasan langsung dengan penjara kristal yang menahan para ahengkara itu.
Beberapa langkah terdengar lagi, disertai auman dan jeritan para napi. Hans melihat dua ahengkara saling menggigit, memperebutkan seorang napi yang nyaris terbelah dua. Meski begitu sang napi masih hidup dan meronta tak berdaya. Tubuh Hans seakan membeku, rasa ketakutan kian menjalar di sekujur tubuhnya.
Ia semakin kuat menahan pintu selnya, menunggu makhluk itu mendatanginya.
"Grrr.."
Benaya makin takut tak terkontrol, tangannya mencengkeram Hans begitu kuat hingga meninggalkan bekas di tubuh Hans yang sekuat tembaga itu.
"Tenang… Benaya.."
"Aku tidak akan meninggalkanmu!" Bisik Hans pelan.
"Siapa namamu?" Tanya Hans, mencoba mengalihkan pikiran Benaya dengan menanyakan namanya, seperti yang sudah ia ajarkan sebelumnya.
Benaya yang sebelumnya bergetar, perlahan menjawab,"Na… maaa… sa.. saa.. ja.."
"Ben…"
"Ben.. naaa.. ja..jaa.."
"Ben..yaaa.."
"Ben.. na.. ya…" Dengan usaha keras ia bisa menyebutkan namanya dengan benar, di saat bersamaan itu pula pintu yang Hans pegang terdorong masuk.
"Ba.. ba.. gus.." Hans menjawab sambil terbata,tubuhnya mengejang. Otot-ototnya seakan bangkit, tubuhnya menjadi lebih kekar, kulitnya bersinar. Melepaskan simpanan jiha terakhir yang ia akumulasi dari latihannya tiap hari.
Meski ia seorang magi tapi berkat latihan gerakan aksara yang ia lakukan, ditambah tubuh sempurnanya yang dibasuh oleh darah Yu'da membuat tubuhnya setara atau bahkan lebih kuat dari Bernard.
"Kreak!"
"Kreak!"
Makhluk-makhluk itu berlomba keluar seperti hiu mencium darah, mereka membantai semua yang mereka lihat. Hans sekuat tenaga menahan pintu yang terdorong ke dalam, ahengkara lainnya berdatangan. Namun kekuatan Hans tidak bisa diremehkan, ia menghadapi tiga ahengkara sendirian hanya dengan kekuatan fisiknya saja.
Morodock berhasil membuka pintu penjara, cahaya menerobos masuk, memancing para ahengkara keluar dari sana. Mengejar Mordock yang gempal itu, pria itu berlari sekuat tenaga menaiki tangga.
"Ssset!"
Ia terpeleset, terpelanting dan mundur beberapa anak tangga. Matanya nanar menatap puluhan makhluk yang mengejarnya penuh nafsu membunuh.
"Tidak!!"
"Tolong!"
"Tolong!"
"Penjaga!" Ia berteriak keras, suaranya membuat ribuan tirai terbuka. Tangga tempatnya berada berbentuk memutar mengikuti bentuk silinder dari bangunan penjara. Di tiap tingkat terdapat puluhan tirai, yang berisi para penjaga dengan panah yang bersiaga.
"Bersiap!"
"Tembakkk!" Suara komando penjaga memberi perintah. Puluhan anak panah menyerang puluhan ahengkara yang melesat keluar dari dalam penjara.
"Graara!"
Jeritan makhluk jadi-jadian itu memenuhi seluruh menara, diikuti pula lenguhan Mordock ketika anak-anak panah menembus tubuhnya.
Sementara Hans yang masih bertahan di dalam sel menarik nafas dengan rakus. Ia terengah-engah, kelelahan dengan bokong menempel ke lantai penjara.
Ia memandang paman Odel,"Kenapa kita tidak melarikan diri paman? Apakah karena ahengkara?"
"Percuma, di luar para penjaga sudah menunggu kita!" Ujar Odel.
"Tempat ini adalah penjara utama, yang bahkan memenjarakan Magi dan ksatria. Tentunya penjagaan tempat ini amat ketat." Timpalnya lagi.
"Tolonggggg!"
"Ampunnnn!"
"Biarkan aku hidup!!!!" Teriakan Mordock terdengar hingga lorong terdalam.
"Apa yang terjadi?!!" Hans menempelkan kepalanya ke jeruji, membuka sedikit pintu dan mengintip keluar.
"Hanss!! Tunggu di dalam!" Ujar Odel khawatir.
"Mereka akan menyerang dan membunuh siapa saja yang berada di tangga!"
"Setelah semuanya tewas barulah mereka mengirimkan sipir baru!"
"Mereka menganggap Mordock gagal!"
"Dan kematian adalah sanksinya!" Odel masih setengah berteriak.
Hans terkejut, memasukkan kepalanya ke dalam. Hatinya terasa dingin,"Apakah mereka masih manusia..?"
"Tapi, hal ini terjadi bukan karenanya, bukan?!" Tanya Hans lagi.
"Sipir dan napi di sini sudah dianggap tidak bernyawa lagi Hans. Dunia luar pun mungkin sudah melupakan kita!" Odel berucap dengan raut putus asa, kemudian menunduk hingga kepalanya tertempel ke jeruji besi.
"Tuk.. tuk.. tuk.."
Suara langkah kaki begitu deras terdengar dari atas, Odel menatap Hans dan berujar,"Mundur nak, mereka akan memukul siapa saja yang berdekatan dengan pintu!"
Hans mundur, meringsut ke arah Benaya. Matanya dan para napi lainnya memandang cahaya obor yang terlihat dari arah pintu masuk. Awalnya hanya beberapa api, namun tak lama berselang jumlah obor semakin banyak, menyingkap pasukan bersenjata lengkap.
Baju besi mereka terlihat kokoh, berwarna perak dan kehitaman.
"Bersiap menerima titah Raja!" Teriak seorang ksatria, ia memegang kertas gulungan.
"Dengarkan! Kerajaan Exeter memasuki darurat perang!"
"Raja Hessler Yang Mulia, memberikan kalian kesempatan untuk hidup! Kalian diperintahkan untuk mengambil pedang dan berperang bagi kerajaan." Ujarnya tanpa menghela nafas, kemudian menggulung kembali surat gulungan itu.
Suasana kemudian hening, para narapidana itu terkejut dan gagal memberikan respon.
Paman Odel adalah yang pertama berucap,"Umur panjang untuk Yang Mulia Raja!"
"Kami menerima mandat kerajaan!"
"Kami menerima mandat kerajaan!" Seluruh napi pun menjawab mengikuti.
Hans pun demikian, ia berlutut dan berujar sambil tangannya menekan Benaya agar ia pun berlutut.
**
"Mas Bay! Mas Bay!"
"Ojo banter-banter mlaku ne.."
"(Jangan cepat-cepat jalannya)" Seorang pria gemuk mengejar pria berperawakan tinggi dan gagah.
"Mas Bay, eh….. maksud'e Senopati[1] Bayu"
"(Mas Bay, eh maksudnya Senopati Bayu !" Pria gemuk itu terbata ketika sang pria tinggi menatapnya kesal.
"Dan.. Dan.. wis aku omongke, aku iki masmu. nanging aku uga pangarepmu ing pasukan."
"(Dan.. Dan.. aku sudah bilang, aku ini kakakmu. Tapi aku juga pemimpinmu dalam pasukan!"
"Kita ini dalam tugas, aku ya sudah bilang kemarin. Koe ra usah melu, ngeyel!" Bayu mendengus kuat, ia seorang pria di masa transisi dari pemuda ke pria dewasa. Ia adalah Senopati termuda di sejarah kerajaan Nusantara, salah satu orang kepercayaan Maha Patih, Pangeran Surya Darma.
"Mas.. Mas.. Ini sudah yang keberapa kali kita mencari?! Sudah lima tahun mas!" Danang berujar kesal sambil memegangi perut gemuknya.
Seketika aura dingin menyeruak, membuat Danang berlutut.
"MAS! Jangan marah mas! Tapi kasian para pasukan yang lain! Mereka juga jadi terus menunggu tanpa kejelasan!" Danang memegangi kaki Bayu, jelas penuh ketakutan namun ia tetap menyampaikan kerisauannya. Hal itu membuat banyak mata memandangnya.
"Jika bukan aku siapa lagi?"
Ujar Danang memikirkan nasib kawan-kawannya dalam pasukan.
"Danang! Kalian semua bisa pergi, aku tidak melarang kalian! Tapi aku, tidak akan berhenti sampai akhir hayatku!"
"Maha Patih Surya, mempercayakan tugas ini padaku seorang. Bukan pada ka-!" Bayu berucap, namun terpotong. Danang pun terdiam melihat sang kakak terdiam.
Bayu tengah berucap, namun terjadi keriuhan ketika segerombolan napi berjalan hendak keluar kota melalui tembok kerajaan.
"Ra… Raden!" Teriak Bayu, membuat tubuh Danang bergetar kuat.
"Raden? Opo iyo?"
Matanya menyusuri arah mata Bayu, ia hanya melihat kumpulan napi terantai berjalan ke arah keluar kota. Hanya seorang napi muda memandang balik ke arah mereka, di wajah napi muda itu bercampur ekspresi resah dan kebingungan.
Bayu dan Danang baru saja sampai, keadaan kerajaan sedang gawat. Bayu dan Danang sempat tertahan beberapa hari karena penjagaan gerbang semakin ketat. Ribuan pedagang berusaha masuk untuk menyelamatkan diri dari perang.
Bayu terus mengikuti punggung pemuda itu, bukan karena parasnya, melainkan karena buku yang tergantung di sakunya.
Sebuah kalimat besar dalam Hanacaraka bertuliskan 'Hans' dan kalimat kecil di bawahnya 'Swarawidya'.
"Dan, kamu cepet balik ke markas, kumpulkan semua arek-arek pasukan. Raden Mas dalam bahaya, cepat! Nanti kasih tanda di langit nanti tak bales!" Berujar demikian, tubuh Bayu bercahaya. Ia melesat membelah keramaian dan menghilang.
Danang masih terkejut,"Raden.. Raden…"
**
"Cepat jalan! Cepat!" Seorang prajurit berteriak ke arah kumpulan orang terantai. Mereka berjalan keluar dari ruangan bawah tanah, selangkah demi selangkah menapaki tangga.
Semua mata tertuju pada pintu cahaya di akhir anak tangga. Ketika mereka melewati pintu, semuanya menutup mata karena silaunya cahaya matahari. Mata mereka perlu menyesuaikan dengan terangnya dunia luar, ditambah hamparan salju putih yang menutupi seluruh bangunan.
"Awh!" Hans menutup matanya, kemudian perlahan membukanya lagi.
Air matanya mengalir turun, bukan hanya dia, namun semua napi yang lain pun demikian. Mereka semua menatap langit dan awan-awan yang berkumpul dan bertebaran, birunya langit musim dingin.
Saat ini beberapa bahkan banyak diantara mereka merasa bahwa mati saat ini cukup menyenangkan, setidaknya mereka bisa melihat matahari untuk terakhir kali.
"Cepat jalan! Pertempuran segera akan terjadi!" Seorang prajurit yang memegangi cemeti dari arah belakang berteriak.
Ketika kumpulan napi itu mulai berjalan, tanpa mereka sadari jiha menyerbu tubuh Hans, tubuh keringnya secara otomatis menyerap jiha dari sekeliling.
Uma miliknya sebelumnya mengering, namun kini dengan rakus menyerap energi dari sekeliling.
"Slup.. slup.. slup.."
Seperti kupu-kupu, buku yang selama ini entah kemana, muncul. Peri buku itu muncul dan menggantung di celana Hans.
Hans merasa kekuatannya kembali, bahkan perlahan ia menyadari perubahan besar.
Tubuhnya seakan dibaharui, terlebih matanya kini dapat melihat lebih jelas.
Telinganya mendengar lebih tajam, bahkan ia dapat mendengar degup jantung banyak orang. Kepalanya perlahan menjadi berat dan pusing, ia mengatur nafas.
Hans berjalan mengikuti rombongan, lebih tepatnya rantai itu menyeretnya.
Paman Odel dan Benaya pun termasuk dalam rombongan, mereka dengan rakus memandang sekeliling.
Tiba-tiba.
"Raden!!" Panggilan itu bak petir yang menyambar di siang hari bolong.
Ia memutar kepalanya, melihat ke arah sumber suara itu.
Seperti percikan api yang menyulut kebakaran hutan, wajah itu seakan menjadi kunci terbukanya memori lain di dalam kepalanya.
Dunia seakan terhenti, memori akan masa lalu seolah terulang jelas di hadapannya.
Seorang pria berbadan tegap memandangnya, ingatan Hans melayang. Kepalanya dengan cepat mengingat satu buah nama, nama yang tak asing.
Ingatannya membawanya kembali ke masa kecilnya.
Seorang pria menggendongnya, ia duduk di leher pria itu. Menjambak rambutnya, dengan riang tertawa.
"Bayu! Bayu!" Bocah kecil itu berujar riang, Bayu yang kala itu masih di umurnya dua puluh tahun melempar Hans tinggi. Hans waktu itu baru berumur dua atau tiga tahun, entah pada umur berapa ia pun tak mengingatnya dengan jelas.
Hans tersenyum riang, teringat tiga orang lain berada di sana. Namun wajah mereka hanya samar-samar teringat.
Seketika itu ia tersadar siapa pria gagah itu.
"Bayu…." Bisiknya pelan. Matanya meneteskan air mata, sementara rantai yang mengikatnya tertarik akibat gerakan napi yang lain.
Bayu melihat Hans membisikkan namanya ketika ia memandangnya, hatinya serasa hancur. Meski begitu, jarak mereka cukup jauh, dan dalam keadaan saat ini sangat tidak memungkinkan, untuk berjalan pun sangat sulit.
Bayu membulatkan tekadnya,"Meski aku harus membantai ribuan orang, akan ku selamatkan Raden Mas!"
Ketika ia sampai di sana, Hans sudah jauh melewati tembok raksasa, tenggelam dalam barisan ratusan ribu pasukan.
Bayu terhenti, memaksa maju bukanlah tindakan cerdas. Ia adalah Senopati termuda, jenius pada generasinya. Ia berpikir sebentar, kemudian mencari informasi dari para penjaga gerbang.
Ia mengetahui, bahwa para napi akan digunakan sebagai pasukan berani mati yang letaknya paling depan.
Dengan kemungkinan hidup kurang dari lima persen. Mendengar hal itu, Bayu merasakan amarah merasukinya.
"Jancuk! Jancuk!" Ia hendak maju dan menembus barisan pasukan itu, namun sangkakala berbunyi. Membuat wajahnya pucat seketika.
"Raden, Raden…." Ia menggenggam pedang yang terlilit kain di punggungnya, ia tidak mengenakan pakaian perang.
Ia kebingungan, namun kemudian matanya berbinar. Dilihatnya kereta kuda pengantar kebutuhan logistik perang berbaris hendak keluar mengantarkan kebutuhan perang ke barisan pasukan.
Ia menembus keramaian dan menghilang.
Author Announcement:
Semangat dan bersinar terus ya