Edited by Mel
Benaya masih dalam keadaan bingung, kepalanya terasa seakan ingin meledak. Ribuan informasi seakan melesat masuk dan meminta dirinya untuk memproses mereka.
"Apa yang terjadi?!"
"Benaya!"
"Benaya!"
"Huh!"
"Siapa yang memanggilku, iya, namaku Benaya!"
"Tapi siapa?!"
Benaya mengesampingkan segala pikiran yang membebaninya, memaksa kepalanya mencari tahu siapa sumber suara itu.
Tak lama gambar-gambar bermunculan, gambar ketika Hans membantunya dengan tulus di penjara.
"Hans…" suara lirih keluar dari mulutnya.
"Kendalikan jihamu, bentuklah jiha yang mengalir ke kepalamu menjadi seperti angin puyuh, bentuk bagian ujungnya meruncing. Pastikan putarannya stabil!" Suara Hans terdengar lagi di telinganya.
Awalnya ia bingung, namun Hans mengulanginya lagi.
"Kendalikan jihamu, bentuklah jihamu yang mengalir ke kepalamu menjadi seperti angin puyuh, bentuk bagian ujungnya meruncing. Pastikan putarannya stabil!"
"Jiha?"
"Kepala?!"
Ia menarik secara paksa ribuan ingatan mengenai kata jiha, namun yang teringat bukan hanya pengetahuan tentang jiha namun juga kenangan buruk tentang mereka yang membuat kepalanya menjadi bermasalah.
Amarahnya memuncak, mengingat wajah dan nama mereka namun suara yang sama terdengar lagi seakan berteriak.
"BENAYA!" Ia tersadar, kemudian dengan susah payah membentuk jihanya menjadi seperti bor. Jiha yang sudah masuk ke dalam tubuh akan bercampur dengan kesadaran sang pemilik sehingga membuat orang lain tidak dapat menggunakan jiha tersebut. Bila tidak demikian, cukup mengerikan membayangkan seseorang bisa mengendalikan jiha milik orang lain dan membunuhnya bahkan tanpa menyentuhnya.
Jiha berbentuk bor itu menyerang penghalang di kepala Benaya, namun rasa sakit luar biasa kemudian menjalar tepat dari lokasi penghalang itu berada.
Hans mengernyitkan dahi, ia kemudian menghancurkan bagian luar penghalang, sementara Bayu mengalirkan jiha elemen air untuk menstabilkan keadaan otak Benaya.
"Hans, ini tidak mungkin dilakukan! Potong saja otak keduanya!" Bayu berteriak, kepala Benaya sudah memerah akan meledak.
"Maafkan aku Ben!" Ujar Hans, kemudian memukul beberapa bagian tubuh Benaya, mengaktifkan benang-benang jiha di tubuhnya secara paksa, agar menyerap jiha tengah mengalir ke kepalanya.
Tubuh Benaya bersinar, jiha yang mengalir ke kepala Benaya mulai berkurang. Tekanan di kepalanya pun berakhir. Hans kemudian memotong penghalang serta otak kedua yang gagal terbentuk.
Wajah Hans memancarkan kekecewaan, ia pun mengerti apa artinya hal ini. Ia pun demikian menginginkan menjadi magi meski seakan keadaan menghalanginya.
"Stash!"
Benang jiha itu terputus, Hans pun menghancurkan otak kedua dan penghalang yang berada di sana. Namun benang jiha yang ia kira akan mengering itu justru menjadi bercabang dan terhubung ke kedua kepala bagian otak Benaya.
Seketika tampak jutaan sel yang baru mulai terbentuk dan bercahaya.
Kemudian ribuan benang jiha juga turut terbentuk, benang jiha yang lebih tipis dan berjumlah ribuan menyerbu tulang belakang Benaya.
Tak lama sel-sel darah dan kehidupan tercipta oleh karena jiha yang terus masuk tanpa henti. Sel-sel yang baru, darah merah dan energi kehidupan menjadi tiga kali atau bahkan empat kali lebih besar dari manusia normal menyeruak, yang kemudian dibawa darah ke seluruh tubuh.
Terjadinya hal itu membuat mutasi terjadi pada tubuh Benaya. Saraf, otot, pembuluh darah, tulang bahkan benang jihanya menjadi lebih besar dan terus berlangsung.
"Apa yang terjadi?!" Setiap orang berucap hal yang sama ketika melihat tubuh kering Benaya seakan membesar.
Bayu pun tak mampu menjelaskan, hanya Hans yang sedari tadi mengalirkan jiha ke matanya yang mampu melihat apa yang terjadi. Ini adalah salah satu kemampuan matanya, entah hal itu sebuah mutasi karena kutuk atau karena apa.
"Mutasi.." Ujar Hans pelan, seisi ruangan kemudian memandangnya.
"Benaya bermutasi, entah karena keinginannya yang begitu besar untuk menjadi lebih kuat. Ia memaksa benang jihanya untuk terhubung ke jaringan otak yang juga terhubung ke tulang belakang. Hal itu entah mengapa memacu tubuhnya untuk membuat tulang belakangnya menjadi penampung jiha, yang bertindak sebagai 'otak kedua'."
"Entah, apakah ini akibat sebuah niat yang kuat, yang bahkan memaksa takdir untuk membuat cabang lain dari ranting yang hampir mengering?" Ujar Hans, kemudian berjalan menjauh untuk duduk di pinggiran kolam setelah memastikan tubuh Benaya tidak memiliki masalah.
Ketika ia duduk Bayu pun duduk di sebelahnya,"Raden, kau baik-baik saja?"
"Entahlah paman, aku bingung. Ribuan memori menunggu untukku gali. Namun, aku enggan. Takut, bilamana semua kembali ku pahami, sakitnya tak mampu ku tahan." Hans membenamkan kepalanya diantara kedua lututnya yang ia peluk dengan kedua tangannya.
"Bahkan tentang paman, aku hanya mengingat wajah dan namanya saja. Aku tidak berani mengingat lebih jauh.."
Bayu hendak berkomentar, namun tidak mengerti harus berkata apa.
"Paman, apa mungkin lebih baik aku tidak mengingat hal lainnya?"
"Mengelabui hati tentang apa yang telah aku alami!" Tanpa sadar bocah itu telah menangis.
"Aku rindu ibu dan bapak, tapi aku tidak berani mengingat wajah mereka."
"Sungguh aku rindu.." Ia terisak ketika berucap demikian, tangannya semakin erat memeluk kedua kakinya. Para napi hanya berani melihat dari kejauhan, berbisik satu dengan yang lainnya.
Georgio berjalan mendekat, namun terhenti beberapa meter dari keduanya ketika menyadari Hans tengah menangis.
"Sret.. srettt!!!" Suara gesekan seperti benda berat terperosok terdengar.
"Gubrak!"
"Asu! Jancok!" Suara pria yang mengumpat terdengar setelah suara keras. Seluruh mata memandang sosok pria gempal yang terjatuh, Abner, Reinald dan Gordon mengambil pedang mereka yang berserakan. Menghampiri pria gempal itu.
"Danang! Mengapa lama sekali?!" Suara itu mengagetkan seisi goa, kemudian memandang Bayu.
Bayu kemudian memandang para napi dan berujar,"Tenang mereka adalah orang-orangku!"
Ucapannya itu disusul oleh suara jatuh lain yang terdengar dari atas lubang tempat mereka jatuh. Beruntung Benaya berada cukup jauh dari tempat itu, sehingga proses meditasinya tidak terganggu.
Danang memandang belasan orang yang memandangnya curiga, hal itu karena Danang dan yang lainnya memakai pakaian perang yang rapi, meski berbeda dengan pakaian perang kerajaan.
Kemudian Danang memandang Bayu,"Senopati, mohon maaf. Tapi di mana Raden Mas?"
Bayu kemudian menengok kecil dan bergeser, menyingkapkan Hans yang masih membenamkan kepala ke lututnya.
Danang kemudian memberi kode dengan matanya, bertanya dengan isyarat,"ada apa?"
Bayu hanya menggeleng, kemudian mendekat ke arah Danang dan berbisik. Danang terlihat sedih dan hendak mendekat. Namun Bayu menahannya,"Liat ke sana, kamu dan para pasukan cepat meditasi di kolam jiha itu!" Mereka pun segera turun ke dalam kolam.
Chandra adalah prajurit yang terakhir turun, ia memberi salam hormat pada Bayu kemudian mencuri pandang ke arah teman-temannya yang sedang bermeditasi dan bergegas mengikuti mereka.
Kolam itu kini hanya tersisa seperempat bagiannya saja.
Bayu kemudian kembali duduk bersila di sebelah Hans, paman Odel kemudian mendekatinya.
"Mohon maaf sebelumnya, tapi aku dan teman-temanku para napi bolehkah bertanya beberapa hal, bila anda tidak keberatan tentunya." Pinta Paman Odel, dengan nada pelan dan gaya bahasa yang sopan.
Bayu mengangguk kemudian berjalan mengikuti Paman Odel, ia kemudian duduk diantara para narapidana yang tengah duduk melingkar saling berkenalan. Georgio yang sebelumnya hendak mendekat pun terdiam sejenak, kemudian mengikuti keduanya. Marc dan Baltus juga demikian.
Para napi itu bertanya banyak hal, terutama tentang Hans. Pada akhirnya mereka mengetahui cerita tragis di balik hidup Hans, meski banyak hal lain yang menimpa Hans yang Bayu tidak ketahui.
"Jadi, Hans merupakan pangeran?" Paman Odel bertanya.
Bayu mengangguk,"Kami hendak membawanya ke Kekaisaran Maro, tempat di mana adik dari ibu Raden Mas menjadi permaisuri bagi salah satu raja di sana.
"Hmm?! Kekaisaran Maro?! Tempat itu cukup jauh dari sini." Odel mengelus jenggotnya sambil merenung.
"Aku sudah menentukan bahwa aku akan mengikuti Hans, aku berhutang nyawa padanya! Terlebih aku tidak memiliki siapapun dan Hans serta Benaya sudah ku anggap cucuku sendiri." Ujar Paman Odel, yang juga di jawab senada oleh Abner, Reinald dan Gordon.
Para napi yang lain terlihat pula berpikir sejenak sebelum kemudian ikut menjawab demikian.
Bayu terlihat terkejut, kemudian memandang sosok kecil yang masih terlarut dalam kesedihannya.
"Aku serahkan semua pada Raden, aku tak bisa membuat pilihan baginya." Ia menjawab demikian, Marc terlihat melamun, kehilangan ingatan.
Baltus menepuk pundak Marc, hal itu membuat Marc tekejut dan menarik kerah Baltus.
"Apa maksudmu? Kau punya masalah denganku?!" Ujar Marc yang masih lupa dengan segala yang terjadi. Sesaat kemudian, seakan tersetrum ia teringat dan meminta maaf pada Baltus.
Ada yang berbeda kali ini, Marc berhasil mengingat semuanya tanpa bantuan peri buku miliknya. Hal itu terjadi karena kutuk yang terjadi padanya mulai melemah akibat ia naik tingkat dalam pengendalian jihanya.
Ia kemudian berjalan ke arah Hans lalu menariknya hingga terjatuh ke lantai batu.
Hal itu membuat Bayu hendak marah, namun Odel memandangnya sambil menahannya. Pria tua itu kemudian menggeleng.
"Hans! Berhentilah bersedih! Aku dan Baltus mencarimu sampai ke tempat busuk ini karena kami peduli!" Marc berteriak sambil mengangkat Hans, memegang bahunya kuat-kuat berusaha menyadarkannya.
"Kau tidak sendirian! Banyak orang yang peduli padamu!" Marc kemudian memeluk sahabatnya itu, ia pun kemudian menangis.
"Aku tahu rasanya kehilangan! Aku sungguh tahu sakitnya…" Teriaknya keras, air matanya menetes membasahi punggung kiri Hans.
"Setidaknya kau masih memiliki para prajurit dan bibimu di kerajaan lain! Sedangkan aku!"
"Sedangkan aku kehilangan mereka semua! Orang tuaku, saudaraku yang sebenarnya aku benci!"
"Clarin, si gadis pelayan yang bandel itu pun binasa!!"
"Keluarga di bantai hanya dalam satu malam! Dan aku menyaksikan semua pembunuhannya!" Amarah terlihat di mata dan terdengar di suaranya.
"Tapi aku sadar, kita tidak bisa selamanya tenggelam dalam kesedihan! Kita harus bangkit, memikul beban yang sebelumnya mereka pikul dan membawanya ke puncak kejayaan! Sehingga mimpi mereka tetap hidup dan menjadi tenaga untuk kita mampu mengambil langkah baru dalam hidup!"
"Beruntung si Gendut bodoh itu dan juga kau yang licik ini kini menjadi sahabatku dan juga guruku, kalian membawa perubahan dalam hidupku sehingga aku tidak sendirian lagi!" Masih terisak ia menambahkan.
Hans tersadarkan oleh air mata Marc, ia kemudian memeluk balik Marc.
"Kau benar Marc, aku tidak sendiri!" Hans menyeka air matanya, kemudian memukul pipinya pelan.
"Terimakasih Marc!" Ujarnya.
**
Para prajurit tersadar, bersamaan dengan Benaya yang menyerap tetes terakhir dari kolam jiha itu.
Danang memimpin para pasukan penjemput, masing-masing dari mereka mengenakan tatapan serius pada wajah mereka.
Danang bersujud dengan satu kaki, kemudian menundukkan kepala. Seakan mengikuti Danang, kelima puluh orang itu menunduk dan sesenggukan.
"Ngapuntenaken kami Raden, kami sampun mengecewakan panjenengan!"
(Maafkan kami Raden, kami telah mengecewakan mu!) Hentakan tubuh dan suara teriakan mereka sungguh selaras, disertai isak tangis tertahan.
"Biarlah kematian kami menjadi bayarannya!" Teriakan mereka semakin keras, teringat beberapa dari mereka hendak menyerah dan meningggalkan tugas mereka.
Para Napi, Marc dan Baltus terkejut. Getaran suara mereka, emosi yang tertuang dan macam-macam perasaan yang bercampur seakan membuat mereka sulit bernafas, entah mengapa air mata pun mulai mengintip di sudut mata mereka.
Bayu berjalan ke depan kelompok itu dan bersujud dengan kedua kakinya, menempelkan kepalanya ke tanah. Hal itu diikuti para prajurit yang lain.
Hans tak mampu merespon, ia mengepalkan tangannya, melepaskannya, kemudian mengepalnya lagi.
"Cukup, aku tidak ingin menangis lagi.." ia berucap sambil tersenyum, meski air mata menghianati ucapannya dan menetes deras.
"Kalian pasti lelah, mari kita pergi.." Ia berjalan melewati mereka, menyeka air matanya dengan kedua tangannya. Sambil berusaha sekuat tenaga menahan memorinya, agar kenangan lain tidak teringat tanpa sengaja.
"Aku rasa kita semua lelah.." Ia berbisik dan berjalan menjauh, semakin jauh, sosoknya terlihat sungguh kesepian.
**
Guncangan pun terasa semakin kuat, kelompok itu kemudian memutuskan untuk keluar.
Mereka mengikuti arah dari mana angin bertiup, hembusan angin yang sebelumnya pun memandu mereka.
Goa itu terus berguncang dari waktu ke waktu, hingga mereka pun pada akhirnya terbiasa.