Chereads / Hans, Penyihir Buta Aksara / Chapter 56 - Aksara 32a,

Chapter 56 - Aksara 32a,

Edited By Superkind Ms Mel

Beelzebul berjalan dengan malas, sambil mengayunkan kapak besar yang dikepal di tangannya sedang yang lain tampak melayang mengitari tubuhnya. Membuat bayangan naga besar terbentuk oleh awan gelap yang membawa aura kematian..

"Gyves! Jangan gegabah! Mari kita retakkan ginjalnya!" Ujar Dyson berjalan maju dengan tatapan penuh semangat bertarung.

"Segel Kemarahan Api!" 

Atma Brama [1]

[1] Atma brama, sebuah kata Sanskerta di mana 'atma' berarti jiwa dan 'brama' berarti api.

Bersamaan dengan ucapannya, tampak ribuan api menjalar dan menyulut ke pedangnya sendiri kemudian ke tangan dan seluruh tubuhnya. Ia membentuk pakaian perang yang membara, sementara dua tangan lain terbentuk di belakang tubuhnya. Berbentuk seperti tangan golem yang terbalut api merah menyala.

Namun Jiha yang dialirkan tidak berhenti sampai di sana, bahkan jiha itu menyala semakin terang membentuk dua pedang besar yang melayang di atas kepala Dyson. Semuanya terjadi dengan cepat, pedang melayang itu identik dengan pedang yang ia pegang di tangan kanannya, entah kapan tapi pedang yang sama persis muncul pula di tangan kirinya.

Begitu juga dengan Gyves, ia melepaskan semua jiha miliknya.

"Bentuk Akhir, Zirah Dewa Lautan!"

Tameng[2] Sagara [3]

[2] Tameng, Sansekerta, sebuah kata sansekerta yang berarti perisai atau senjata.

[3] Sagara, dalam bahasa sansekerta yang berarti samudra atau lautan.

Aksara-aksara yang sebelumnya sudah terbentuk kini berubah, posisi dan urutannya juga turut berganti. Aksara-aksara itu terbang, melayang ke udara seperti bintang yang mengitari tubuh Gyves.

Zirah[4] Amara[5]

[4] Zirah, baju besi yang di gunakan para kesatria pada abad pertengahan.

[5]Amara, sebuah kata Sanskerta yang di tuliskan dalam huruf aksara Jawa yang berarti dewa atau Tuhan.

Gelembung-gelembung air bermunculan di sekitar tubuh Gyves, gelembung bercahaya biru yang begitu indah. Ini adalah bentuk ketiga dari aksara miliknya, sebuah aksara pamungkas yang telah begitu lama ia tidak gunakan.

"Hahaha...Dyson aku sudah lupa kapan terakhir kita menggunakan bentuk terkuat aksara kita, Hahaha.." Gyves memancarkan cahaya biru dari matanya dan melihat ke arah Iblis besar yang memandang rendah keduanya.

"Hahaha.. ku serahkan pertahanan padamu Gyves!" Dyson tertawa, dia membenturkan kedua pedang kembar yang digenggam di tangan kanan dan kirinya.

"tiing..." suara kedua pedang itu terdengar begitu nyaring dan siap menyerang lawan.

Sementara dua pedang lain yang melayang di udara terbakar dan melesat mendahului dirinya.

Seketika aura keduanya menjadi semakin kuat, seakan sebuah atmosfer pekat mengelilingi Beelzebul, membuat penghulu iblis itu mengernyitkan dahi.

"Hmm..."

Kedua pedang itu bergerak menuju dua arah yang berbeda, satu ke sebelah kanan dan yang lain ke kiri. Suara siulan terdengar karena kedua pedang itu bergerak begitu cepat.

Beelzebul tidak mengira serangan kedua pedang besar itu bisa begitu cepat. Percikan api muncul di udara mengiringi kedua pedang itu dan sampai secara bersamaan tepat di hadapannya.

Meski begitu ia hanya mendengus kecil, meremehkan. Ia melemparkan kapak besar miliknya ke arah Dyson yang tengah berlari ke arahnya. Bayangan besar yang terbentuk dari kegelapan juga melesat membentuk kapak besar yang sedang menghujam ke arah Dyson.

Sementara dua tangannya yang terlilit rantai ia gunakan untuk melindungi dari tebasan dua pedang yang menyerangnya dari dua arah itu.

Sungguh kekuatan yang ia miliki sangat luar biasa, bahkan kekuatan dibalik pedang itu tidak berhasil melukainya, serangan itu hanya memaksa kedua tangannya tertekan hingga menempel rapat dengan tubuhnya.

Sementara Dyson yang tengah berlari dengan kecepatan maksimum terkejut mendapati kapak besar yang melesat ke arahnya, mata kapak itu hendak ia hempaskan dengan kedua pedang yang ia pegang. Namun sebuah perisai energi terlebih dahulu muncul dan melindunginya.

Perisai itu muncul seperti bunga mekar, bentuknya seperti sisik-sisik ikan yang saling tumpang tindih. Muncul dari titik tengah kemudian setiap sisiknya muncul satu persatu dengan indah, membentuk perisai lingkaran dengan motif pusaran air di empat penjuru sisinya.

Suara ledakan di udara terdengar.

Perisai itu hancur seketika, meski begitu Dyson berhasil menghindari serangan berkat perisai yang memberi waktu baginya. Kapak hitam yang terbentuk dari kegelapan itu tidak menyerah, mengayun kembali berusaha menyerang Dyson.

Bentuknya yang besar membuat angin bersiul-siul ketika kapak itu mengayun ke arah Dyson, tapi kali ini fokus sang profesor tidak terganggu oleh serangan yang diarahkan kepadanya. Sebab perisai demi perisai terbentuk sepuluh meter di sekitar tubuhnya, melindunginya tanpa henti.

"Formasi pedang empat penjuru!" Dyson berhasil memasuki wilayah pertahanan Beelzebul, ia melemparkan pedang di tangan kirinya ke udara. Kemudian tiga pedang melayang dan melesat cepat, menghilang ke atas awan.

Dyson maju mengayunkan pedang yang kini ia pegang dengan kedua tangannya ke arah kepala Beelzebul.

Sang penghulu iblis menangkis dengan tangan kirinya, kemudian menyerang balik dengan tinju menggunakan tangan kanannya. Dyson terpaksa menghindar mundur.

"Hahaha! Lemah!"

"Sudah cukup bermain-main, aku tidak sabar menikmati jiwa makhluk suci itu!!"

"Mingg-!" Belum sempat ia selesai berceloteh, tiga pedang lain tiba-tiba muncul dari tiga arah berbeda.

Ia terkejut, kedua tangannya menangkap badan pedang, membuat kedua telapaknya mengeluarkan darah berwarna hitam. Bersamaan dengan mengalirnya darah-darah itu para arwah menggeliat keluar sambil berteriak seperti tengah mengalami penyiksaan.

Sementara pedang ketiga, menyerang tepat di belakang kepalanya.

Dyson tersenyum, namun hal yang terjadi kemudian membuatnya terkejut.

Beelzebul memiringkan kepalanya ke kiri, menghindari serangan itu dengan mudah. Kepala sang penghulu iblis kemudian berputar seratus delapan puluh derajat dan menunjukkan sesuatu yang tidak terduga yakni sebuah mata besar yang menutupi seluruh bagian belakang kepalanya.

"Sial!!" Dyson berujar, namun mata itu seakan memenjarakan dia dalam ilusi. Ia tidak bisa bergerak.

"Semut kurang ajar!!" Beelzebul meremas pedang itu kuat-kuat, keduanya berusaha lari seperti ikan yang tertangkap oleh nelayan. Namun hal itu justru membuat ia memperkuat remasannya dan membuat dua pedang jiha itu hancur berkeping-keping.

Ia melangkah maju mendekati Dyson yang berada cukup dekat dengannya, sambil menggoyangkan tangannya yang terluka.

"Sial! Dyson pergi dari sana!!" Ujar Professor Gyves yang berada cukup jauh dari posisi keduanya.

Jiha bergelora di sekeliling tubuh Gyves, membentuk ratusan perisai besar setidaknya enam hasta masing-masing panjangnya. Perisai itu berotasi seperti baling-baling dengan ujung seperti tombak di dua penjuru sisinya.

Beelzebul hanya mendengus, ia terlihat begitu kesal akibat luka di tangannya. Masih dengan kepala dengan satu mata besarnya, sedang dua mata dan mulut di belakangnya tertutup rapat. Ia tidak memperdulikan serangan dari Gyves, hanya kedua rantai yang melilit tangannya yang ia gunakan sebagai cambuk untuk menghalau ratusan perisai yang menyerangnya bertubi-tubi.

"GRrrarrrrrrrrrrrrr!!"

"MENYINGGGKKIIIIIRRRRR!!!" Suara teriakan terdengar bukan dari mulut di sisi lain kepalanya, melainkan dari sebuah mulut besar yang muncul di bagian perut Beelzebul!!!

Tanah seakan bergetar ketakutan, seluruh area menjadi hening.

Tubuh Beelzebul yang amat besar itu di kelilingi ratusan perisai yang tengah menyerangnya, meski begitu tak satu pun serangan mampu menghentikannya.

Mulut besar itu menganga hendak menelan Dyson.

"Dyson!!!!" Teriak Gyves yang kemudian membentuk perisai yang amat besar seperti kubah untuk melindungi Dyson.

Perisai itu berwarna biru terang, membawa aura kesegaran. Aksara demi aksara bersinar secara bergantian mengelilingi bagian-bagian perisai besar itu.

Meski begitu, aura kegelapan dan kekuatan milik Beelzebul jauh lebih kuat dari keduanya, perlahan kegelapan menyelimuti perisai itu seperti lumpur yang merangkak naik. Bersamaan dengan itu, sedikit semi sedikit perisai itu mulai terurai dan retak.

"Dyson!!!" Gyves masih berteriak ke arah Dyson yang masih terbelenggu oleh ilusi dari mata besar Beelzebul.

"Oh tidak!!!' Gyves berteriak, matanya terbelalak melihat sebagian tubuh Dyson perlahan tersedot masuk ke dalam mulut besar milik Beelzebul. Seketika wajahnya menjadi dua kali lebih tua, hal itu membuat ia yang selalu merasa mampu bertahan dari segala macam serangan merasa tidak berdaya.

Suasana seakan menjadi begitu dingin, tubuh besarnya seakan tidak ubahnya sebutir debu di tengah badai kosmik yang tengah menghancurkan ribuan planet. Ia seakan tidak berdaya, merasa kecil, putus asa. Saat inilah ia baru menyadari seberapa tidak berdayanya ia di hadapan kekuatan yang luar biasa.

Pada saat ketidak berdayaan di titik tertingginya, ia terjatuh dengan kedua lututnya menyentuh tanah terlebih dahulu. Semua melambat, teriakannya pun seakan tak terdengar.

"Rawwwwwrrrr!!!" Sebuah teriakan, atau lebih tepatnya auman keras menggetarkan hatinya. Ia bak melewati lorong waktu, seakan tangan besar menariknya keluar dari pusaran keputusasaan yang mengikatnya.

Seekor singa raksasa melewati kepalanya, melompat ke arah Beelzebul yang sedang lengah dan tak mampu menghindari cakar besar yang mengarah ke lehernya.

"Pedang Roh!" Suara terdengar keluar dari mulut sang singa, disertai gemuruh besar di langit. Cahaya membentang bak cakarawala, seakan matahari terasa terbit lebih awal. Langit terbuka lebar, ribuan pedang cahaya membentuk sebuah pedang besar.

Pedang itu memiliki percabangan, cabang yang menyerupai pedang lebih pendek di gagangnya. Pedang besar itu terbentuk, membentang dan menghujam leher dan dada Beelzebul hanya dalam satu kedipan mata.

Yu'da menghempas Dyson ratusan meter, menjauh dari daerah inti pertarungan.

"Pergi lindungi anak itu!!!" Suara perintah terdengar di telinga Gyves, suara itu membuatnya tersadar dari rasa terkejutnya.

Ia melihat ke arah singa raksasa yang tengah terlibat pertarungan dan kemudian menoleh melihat ke arah Hans yang tengah dalam bahaya.

Singa itu kemudian memandang sekeliling, mengetahui sesuatu namun memilih untuk tidak memperdulikannya.

**

Hans tercekik, tangan hitam itu mencekiknya kuat. Lengan dan tangan yang mencekiknya menghitam seperti arang, serpihan-serpihan kulit gosong berterbangan.

Mata Hans memandang jauh ke dalam sepasang mata hitam itu,"Kak.. Kak..Kak!!"

"Sadarlah!! Uhukkk!" Ia terus meronta, wajahnya mulai membiru akibat oksigen yang makin lama makin berkurang.

"Kakkkkkk Marriiiiiiaaannneeeee!" Ia berusaha meronta dengan segenap tenaganya, merasa bahwa ini adalah usaha terakhirnya sebelum kehilangan kesadaran. Sosok hitam yang menguasai Marriane begitu kuat, namun perlahan mata hitam itu tampak mulai bercahaya redup.

Seperti cahaya terakhir sebelum bintang gugur, mata itu bercahaya terang. Tangan hitam itu kemudian melepaskan leher Hans.

"Bruk!"

Hans terjatuh ke tanah, memegangi lehernya yang di penuhi bekas cengkraman hitam. Perlahan wajahnya kembali normal meski masih pucat.

Marrianne membungkuk, memegangi dadanya, sambil berteriak-teriak keras. Ia seperti orang yang kerasukan, tubuhnya terus mengering, serpihan yang berguguran kian banyak. Ia kemudian mengangkat kepalanya, menarik kaki Hans kasar.

Ia menyeret Hans ke arahnya dengan hawa membunuh yang menyala-nyala. Cakar tajam terbentuk di tangannya yang lain, hendak menghujam jantung Hans.

Hans yang masih setengah sadar dan kehabisan nafas tidak sempat merespon, tangan itu melesat hendak menghancurkan jantungnya.

Ia terbelalak, hatinya penuh kesedihan. Mengapa semua ini terjadi padanya, keburukan demi keburukan seakan menemani setiap langkahnya.

"Mengapa?!"

"Tidak layakkah aku mendapatkan kebahagiaann?"

"Tidak layakkah?"

"Kenapa?"

Ia menutup mata, mencoba mengingat wajah kedua orang tuanya yang bahkan tak mampu ia tarik keluar dari kepalanya..

Ia mencoba mencari memori tentang mereka yang berharga baginya, menemukan wajah suster kepala, para suster penjaga, adik-adik panti asuhan, dan juga Bernard.

Benar memang, ketika ajal menunggu diantara helaan nafas, orang yang terkasih menjadi harta yang begitu berharga.

Ia melihat senyuman paman Wiggin pemilik bar, profesor Gyves dan yang terakhir sosok singa dan anak domba.

"Tuan Yuda!" Ia tersadar dan menoleh, menoleh ke arah panggilan besar dari dalam hatinya yang seakan menariknya. Melihat ke arah sosok singa besar yang tengah merobek sosok iblis besar dengan kedua pedangnya.

"Nak!" Matanya yang mampu melihat setiap detail ekspresi dengan jelas membaca gerakan bibir singa besar itu.

"Tu..an..." Ujarnya sambil berderai air mata.

Ia tidak mengingat wajah kedua orang tuanya, hanya merasakan perhatian dari suster kepala. Namun tidak pernah benar-benar mendapatkan apa yang ia butuhkan.

Kasih sayang orang tua, yang memiliki harapan atas dirinya.

Saat ini ia mengingat betul, tiap bulan yang ia habiskan dengan sang singa raksasa, mengubahkan hidupnya.

Mengapa? Singa besar itu menemani setiap malamnya, mengajarnya tanpa lelah, memberi hidupnya yang sudah sekarat. Tiap-tiap malam ia mengoleskan darahnya utk melemahkan kutukan dan juga memperkuat tubuh Hans.

Ia memberi Hans harapan, harapan agar suatu saat nanti ia mampu menerima akan menjadi sosok siapa ia sebenarnya. Harapan bahwa ia akan mampu memikul takdir dan jati dirinya kelak.

Pepatah berkata, seorang ibu mengajarkan anak mengerti apa itu kasih sayang. Sedang seorang ayah menunjukkannya masa depan.

Sang singa raksasa terkesan dingin dan tegas. Namun setiap kali Hans tersadar ia menemukan bulu-bulu tebal memberinya kehangatan ketika tertidur di lantai penjara.

Matanya terasa berat, cakar itu menembus jantungnya. Air mata yang berlinang mengiringi kesadarannya yang semakin berkurang, Hans pun berucap perlahan.

"Te.. ri.. ma.. Ka..sih.." Ia menutup matanya, menyambut kegelapan dalam tangisan.

Belum juga kering air mata membasahi pipinya, ia tersadar oleh auman keras singa. Begitu keras seakan membangunkan jiwanya.

"Selama aku hidup! Tak akan aku biarkan engkau binasa!!" Teriakan keras terdengar, menghempaskan Marriane jauh ke belakang.

Beelzebul terkoyak habis, bersimbah darahnya sendiri dan kemudian terbakar api berwarna putih keemasan.

"Api Suci!"

Ia kemudian berjalan mendekati Hans, meski begitu ia terlihat terseok-seok, tubuhnya di penuhi luka, darah emas menetes deras dari berbagai bagian tubuhnya.

Ia pun terluka parah, ia hanya memiliki sepuluh persen kekuatannya. Meski begitu ia bergegas merengkuh Hans. Mengendus bocah kecil itu, mendorongnya kecil dengan hidung dan mulutnya.

"Tidak.. nak.."

"Tidak.. kau tidak akan mati.."

"Aku disini.." Air mata sang singa menetes melalui pipinya, perlahan terjatuh ke hidung dan kumisnya. Menetes ke wajah Hans.

Tangan Hans berusaha menggapai wajah sang singa, mengusapnya. Wajahnya pucat kehabisan darah.

"Kau akan hidu-" belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, tombak besar menembus lambungnya. Empat tombak kecil memaku tangan dan kakinya.

Darah bersimbah, wajah Hans di penuhi darah. Tombak itu masih terus bergerak, melesat hampir menembus kepalanya. Hans berada tepat di bawah tubuh sang singa.

"Tuannnnnnnnn!" Teriak Hans keras, air matanya berlinang darah.

"Selama aku hidup, engkau tidak akan binasa.."

Tombak yang masih melesat itu perlahan melambat, ia mengalirkan seluruh kekuatan terakhirnya untuk menghentikan laju tombak yang hendak menembus tubuh Hans.

Gyves pun tidak beruntung, aura yang begitu kuat memaksanya tersungkur memeluk bumi.

Matanya memandang muridnya yang sekarat, matanya dipenuhi amarah dan air mata.

"Hans.. Hans.." Ujarnya sesenggukan.

Hans di penuhi trauma, matanya kosong memandang sosok yang selama ini seakan menjadi cahaya harapnya, bersimbah darah melindunginya.

"Hiduplah, sebab hidupmu kelak adalah perayaan atas kehidupanku juga.." suara terdengar di telinganya.

Air matanya kembali mengalir, darah, air mata darah.

Tubuhnya bergetar kuat, darah emas yang tercurah itu perlahan memasuki lubang di dadanya. Membalut jantungnya yang hancur, perlahan menyembuhkannya.

Hans mendengar suara langkah kaki, ia menoleh, nafasnya masih tersengal dan berada di pengujung ajal.

Ia melihat sosok yang tak akan ia lupakan sepanjang hidupnya, sang kepala akademi berjalan membawa tombak.

Yuda menatapnya, berada di ujung nafasnya.

Hans hanya merasa bahwa tubuhnya seketika terangkat, tangan besar menyeretnya kasar.

"Tidakkk!!" Teriakan dan auman keras Yu'da terdengar.

"Hmppph!" Hanya dengusan yang menjadi jawaban auman itu.

"Berikan aksara pamungkasmu, aksara yang kau simpan di tengkorak kepalamu!!" Ujar sang kepala akademi, Hans mengatupkan giginya. Memandang sang kepala akademi penuh amarah.

"Atau akan ku bunuh dia!!!" Ujarnya sambil mencekik leher Hans.

"Jangan.. baiklah.." Yu'da melepas nafas panjang.

"Tapi bersumpahlah demi semesta kau tidak akan membunuh anak itu!" Ujar Yu'da.

"Berikan aksara itu!!" Sang kepala Akademi membentak, memaksa Yu'da.

"Aksara ini hanya dapat di berikan, tak dapat di rampas. Kau tahu itu.."

"Bersumpahlah, maka aksara ini menjadi milikmu!" Tubuh Yu'da bercahaya terang, keningnya bercahaya, kulitnya terbuka menyingkap aksara emas yang bercahaya.

"Bersumpahlah demi semesta, demi langit dan bumi dan demi segala yang hidup!!" Suara Yu'da bergemuruh.

"Aku bersumpah!" Sang kepala akademi kemudian berucap pelan.

Seketika ribuan cahaya dari seluruh penjuru daratan berkumpul. Aksara yang berada di kening Yu'da melesat ke arah kening sang kepala akademi.

Seluruh dunia seakan bergetar, tubuh Yu'da bergetar, perlahan serpihan demi serpihan cahaya berurai dari tubuhnya.

Perlahan menghilang terbawa angin.

"Aku tidak akan meninggalkanmu, aku tidak akan membiarkanmu menjadi yatim piatu.."

"Tubuh dan darahku telah ku berikan kepadamu, sekarang terimalah Roh-Ku!"

Seluruh cahaya itu berubah menjadi sosok merpati yang kemudian melesat ke dalam tubuh Hans, hanya bocah kecil itu yang mampu melihat apa yang terjadi.

Sementara sang kepala akademi di butakan oleh ambisi, ia tertawa keras di sertai guncangan di seluruh kerajaan.

Ia kemudian membawa Hans dan melesat ke langit meninggalkan tempat itu.