Pertandingan yang menentukan nasib kaum beastman akhirnya tiba. Seluruh warga Kota berbondong-bondong ke alun-alun untuk menyaksikan sejauh mana kemampuan sang pemimpin baru kaum beastman.
Kimansu gemetaran. Pertandingan pertama ternyata adu pintar matematika. Dia langsung membayangkan rumus-rumus rumit geometri, aljabar, aritmetika, fibonaci de el el yang populer di abad ke 12.
Tapi saat menerima soalnya ...
[12 + 30 + 21 + 11 =?]
[60 x 2 =?]
[100 - 21 + 39 + 11=?]
'Pffttt ... Ini sih ujian anak-anak SD!'
Kertas tebal itu dia bolak-balik. Kimansu menahan tawa karena semua soal itu terlalu mudah bagi manusia modern sepertinya. Tapi sebagai politisi, dia wajib menjaga ekspresi sewajar mungkin.
Di belakang Kimansu adalah penonton dari bangsa beastman. Sedangkan di depannya adalah lawan tandingnya yang didukung para manusia. Orang tua botak itu nampak arogan, dan sama sekali tidak menyentuh soal-soal yang akan dia kerjakan.
"Saya adalah cendekiawan lulusan akademi tinggi Kerajaan Atlantia. Kalau saya jadi kau, saya memilih menyerah daripada dipermalukan!" kata Pak tua itu men-provokasi Kimansu.
Kimansu tidak membalas provokasinya. Dia justru tersenyum kalem dan memberi pujian.
"Suatu kehormatan bisa melawan cendekiawan sekaliber anda, Tuan Goebal. Saya yakin orang sepintar anda mau pertandingan ini lebih adil, bukan?"
Si Goebal langsung terpancing.
"Apa anda pikir orang sepintar saya mau curang?"
"Bukan itu maksud saya, Tuan Goebal. Anda lihat penonton di belakang saya? Mereka mendukung saya. Anda pasti tidak tidak mau salah satu dari mereka diam-diam membantu saya, bukan?"
Pak tua itu mengangguk-angguk.
"Hmmm ... masuk akal juga. Bagaimana kalau kita tukar tempat. Setuju?"
'Orang ini lugu sekali ... pffttt!'
Kimansu tertawa dalam hati. Dia langsung bertukar tempat dan mengatakan sesuatu kepada juri.
"Saya punya usul. Bagaimana kalau soalnya juga kita tukar?"
Sebagian penonton manusia langsung ribut.
Kimansu tidak mempedulikannya. Dia masih memanas-manasi si tua itu.
"Ah, mungkin soal milikku terlalu susah bagi cendekiawan seperti anda."
"Jangan menghinaku!" Si Goebal langsung menyerahkan soalnya untuk ditukarkan.
"Saya usul lagi."
"Apalagi!? Ayo kita mulai pertandingannya!" Si Goebal mulai tidak sabaran.
"Sabar dulu, Tuan Goebal. Bagaimana kalau ronde kedua masing-masing peserta membuat soal untuk peserta lain?"
"Jangan mengubah aturan seenaknya!" Si Goebal langsung meradang.
"Bukan itu maksud saya, Tuan Goebal. Sebagai orang berpendidikan saya selalu bermimpi mendapat soal langsung dari orang sekaliber anda."
"Ohh, masuk akal juga. Saya setuju."
'Pffttt ... Orang ini mudah dikibuli!'
Pertandingan pun dimulai. Kimansu dengan santainya menjawab satu persatu pertanyaan dengan cepat. Tidak sampai 10 menit dia langsung menyerahkan soal-soal itu ke para juri.
"Kenapa cepat sekali?" Si Goebal protes.
"Soalnya memang mudah kok. Hanya idiot saja yang mengerjakan soal itu lama-lama, Tuan Cendekiawan pintar." Gantian Kimansu yang men-provokasinya.
Si Goebal terpancing. Dia tidak bertanya-tanya lagi dan memilih mengerjakan soal-soalnya.
"Kok belum selesai, Tuan Goebal?"
Botak Goebal semakin mengkilap karena keringat. Dia menahan dirinya untuk tetap sabar mengerjakan semua soal.
"Ya ampun, apa aku menunggu sambil tidur siang ya?"
Si Goebal mulai terpengaruh. Dia mulai menghitung cepat.
"Akademi Atlantia, syala lalala. Ya ampun, saya jadi lapar. Apa saya belanja dulu ya? Masak, makan, berak, setelah itu ke sini lagi ya?" Kimansu terus menggodanya. Dia berusaha merusak konsetrasi Si Goebal agar hitung-hitungannya berantakan.
Akhirnya, Si Goebal pun berdiri dari kursinya setelah menyelesaikan semua soal. Dia mendatangi Kimansu dan mencoba mengancamnya.
"Kita lihat hasilnya. Jangan percaya diri dulu, bocah!"
Kimansu menjawabnya dengan menunjukan soal-soal yang telah dia kerjakan. Si Goebal langsung menyesal karena dengan senang hati menukar soalnya.
[1+1 =?]
[1+3 =?]
[2+4 =?]
Begitulah seterusnya. Semua soal itu lebih mirip hitung-hitungan anak TK.
Sejak awal Kimansu yakin bahwa para bangsawan itu bermain curang. Dia merasa beruntung karena Si Goebal terlalu sombong hingga tidak mau repot-repot memeriksa soalnya duluan. Pak tua itupun tidak berani protes selain diam saat Kimansu menunjukan dua soal itu ke hadapan semua orang.
"Kalian lihat? Inilah kelakuan keluarga yang merampas tanah para beastman! Apa kalian masih menganggap tanah itu Keluarga Achtung dapatkan dengan cara yang adil?"
Seluruh penonton ribut. Mereka mempelototi segerombolan orang gendut yang tidak lain adalah anggota Keluarga Achtung.
"Masih ada ronde kedua, Bocah!" Salah satu dari mereka protes.
"Iya, bocah! Keluarga Achtung memang curang. Tapi aku tetap cendekiawan pintar!" Si Goebal memberanikan diri mengancam lagi.
Kimansu langsung menjawabnya dangan soal yang sudah dia siapkan.
[13 x nĀ²(35+9) = 46 x 75( ā16 - ā9)]
[n =?]
Mata si Goebal hampir copot dari lubangnya. Dia langsung pergi dari alun-alun tanpa mengucapkan sepatah katapun. Kemenangan itupun disambut riuh sorak para beastman dan demi-human lainnya.
"Masih ada ujian kedua, Tuan Galler! Jangan senang dulu!" Salah seorang keluarga Achtung main tuding seenaknya. Dia menghampiri Kimansu dan berbisik," Kamu mungkin cendekiawan pandai, Tuan Galler. Tapi ujian kedua adalah adu pedang. Lebih baik siapkan peti mati anda daripada sibuk tertawa!"