Chereads / Reminiscent in Adagio / Chapter 3 - Ep 1 : Barrier Wall

Chapter 3 - Ep 1 : Barrier Wall

Angin dingin berhembus pelan memasuki ruangan kediaman keluarga terpandang di Inggris. Angin membuat gorden – gorden tebal berwarna gold berkibar, menyebarkan aroma white musk yang menjadi pengharum, tersebar ke seluruh penjuru ruangan. Deretan perabot berbahan dasar keramik juga beberapa lukisan, terpajang rapi di lemari pajangan dan dinding. Beberapa sofa besar dengan warna senada dengan wallpaper, seakan menjadi pusat perhatian utama saat memasuki ruangan tersebut.

Duduk di salah satu sofa tersebut, seorang pria dengan raut perpotong khas eropa, tengah asyik menyesap cerutu untuk mengusir udara dingin pagi ini. Di temani beberapa potong biskuit dan teh chamomile menenangkan, seakan menjadi pelengkap yang tepat untuk memulai hari.

Pria tersebut tak sendirian, terdapat seorang pemuda. Meski udara di luar ruangan terkesan dingin karena London sudah memasuki musim dingin, tapi atmosfir yang terdapat di ruangan mewah dan megah tersebut mampu membuat siapapun mengeratkan mantel dan menggigil karena aura menegangnya yang ditebar pria paruh baya tersebut.

Seperti pagi di hari lainnya, Harold Ardolph akan mengawali pagi dengan menghisap cerutu juga obrolan ringan bersama putra semata wayangnya, Chann Ardolph—pemuda yang sejak tadi memasang wajah datar dan belum mengatakan sepatah katapun. Pemuda yang dapat dikatakan sebagai putra mahkota dari keluarga bangsawan Ardolph. Atau dapat disimpulkan sebagai darah penerus bagi masa depan Ardolph.

"Apa kau tetap akan bersikap sembrono seperti itu, Chann ?"

Suara baritone Harold menggema memenuhi atmosfir ruangan. Iris tua berwarna biru itu memberikan tatapan tajam pada Chann yang tak merasa terintimidasi dengan sikap ayahnya.

"Sikap sembrono seperti apa yang Ayah maksud di sini ?"

Chann perlahan mengangkat wajahnya yang sempat tertekuk dan balas menatap ayahnya. Tidak ada rasa gentar ketika Chann melakukan semua itu.

"Kau bergaul ke sana kemari dengan gadis Edlyn itu. Tidakkah kau pikir Ayah tak mengetahuinya ?"

"Aku sungguh tak mengerti apa yang salah jika aku bergaul dengan Belle,Ayah. Ia gadis yang baik dan menyenangkan. Lalu, apa yang Ayah..."

BRAK

Harold meletakkan cawan tehnya dengan kasar. Terdapat kilat murka pada iris birunya. Sungguh, Harold tak mengerti kenapa putranya mau bergaul dengan gadis yang kelahirannya pun menyimpan aib bagi keluarga Hampston. Bagaimana Harold tak murka jika putra semata wayangnya sibuk bergaul dengan gadis Edlyn tersebut ?

"Apa kau ingin membuat Ayah dan Ibumu malu, Chann Ardolph ? Jangan pikir Ayah tak tahu latar belakang gadis tersebut."

"Dia gadis yang baik,Ayah. Dia sama sekali tak memberikanku pengaruh buruk.Dia.."

"Apa kau lupa dengan statusmu saat ini, Chann ? Siapapun yang bergaul denganmu pasti akan membawa dampak pada reputasi keluarga kita!"

"Ayah aku hanya berteman dengannya! Kenapa Ayah sekeras ini mengatur siapa yang harus menjadi temanku ? Tidak bisakah Ayah membiarkanku bebas memilih teman ?" suara Chann melemah. Pemuda itu merasa lelah dengan arogansi dan proteksi yang dilakukan keluarganya, terutama ayahnya.

"Justru karena kau seorang Ardolph, Ayah perlu mengatur siapa yang layak menjadi temanmu. Ingatlah siapa dirimu! Kau Chann Ardolph, Earl of Fielding, pewaris gelar Adipati Southern selanjutnya. Itu sebabnya tidak sembarang orang bisa berteman denganmu."

Chann terdiam dan memilih menyesap tehnya yang tersisa untuk meredakan tenggoroknya yang terasa kering. Sebuah beban besar kembali menimpa pundak Chann setiap kali diingatkan atas status kebangsawanannya. Chann tak pernah peduli dengan segala hak eksklusif yang ia miliki sejak lahir. Sebaliknya, pemuda itu muak. Status tersebut hanya membuatnya seolah berada dalam sangkar emas.

~**~

Chann menghela nafas kasar, berusaha meredakan rasa kesal yang menjalari dada sejak obrolan pagi dengan Sang Ayah. Pemuda itu melangkah segera memasuki bangunan yang merupakan sekolah musik tempat ia menghabiskan waktu sejak beberapa tahun silam.

Chann mengangguk singkat dan tersenyum dengan para junior yang berpapasan dengannya. Pemuda itu semakin mempercepat langkahnya menuju ruang musik paling pojok. Sejenak, Chann berhenti untuk mengatur nafas dan debaran jantungnya tiap kali hendak masuk ke dalam ruang musik tersebut. setelah memastikan ia bisa mengatur emosinya, Chann mendorong pintu kayu itu agar terbuka.

Rasa kesal yang tadi menggelayuti hatinya sirna begitu saja kala iris biru keabuannya menatap sosok yang tengah asyik memainkan biola. Chann memilih tak beranjak dari tempatnya berdiri. Atensinya tertuju pada gadis berambut cerah yang begitu menghayati permainan biolanya. Sejak awal mereka berkenalan, Chann selalu terhipnotis dengan aura yang ditebarkan gadis yang kerap disapa Belle, saat bermain musik. Melihat Belle bermain biola menjadi salah satu pemandangan favorit bagi pemuda Ardolph itu.

Alunan musik biola itu terhenti dan Chann menemukan Belle tengah merengut sambil membaca partitur yang ada di depannya. Tanpa perlu bertanya, Chann tahu Belle sedikit kesulitan mengeksekusi bagian selanjutnya. Dengan langkah ringan, Chann memutuskan mendekati Belle, yang hingga saat ini tak kunjung menyadari kehadirannya.

"Kau masih kesulitan dengan movement 4 nya, Belle ?"

Belle tersentak mendengar suara rendah Chann. Gadis itu mengusap dadanya sambil menatap kesal pada pemuda tinggi yang tengah mendekatinya tersebut.

"Kau ini selalu saja membuatku kaget! Sejak kapan kau ada disini,Chann ?"

"Kau saja yang terlalu asyik berlatih hingga tak menyadari kehadiranku. Kau masih belum bisa memainkan movement 4 nya ?"

Belle mengangguk dan kembali memfokuskan perhatiannya pada lembaran partitur yang ada di depannya. Helaan nafas panjang dihembuskan Belle. Gadis yang biasa terlihat ceria itu entah kenapa hari ini terlihat begitu lesu. Dan demi apapun, Chann benci melihat Belle lesu dan tak bersemangat seperti sekarang.

"Ini sulit. Range melodinya terlalu besar. Aku sedikit kesulitan,Chann," keluh Belle yang kini memilih duduk di lantai sembari mengerucutkan bibir.

Chann tertawa kecil dan langsung mendekati stand part, dan berusaha mengamati partitur musik yang dipilih Belle untuk mengikuti kompetisi biola yang akan datang. Roman Chann terlihat serius saat membaca sheet musik tersebut.

"Ini sebenarnya mudah,Belle. Kau bisa melakukan sedikit improvisasi sebenarnya pada bar 46 ini," ujar Chann seraya menunjuk bagian yang diakui Belle sulit dilakukan.

Belle beranjak dari duduknya dan kembali melirik lembaran musik yang ditunjukkan oleh Chann. Alis gadis itu terangkat saat mendengar komentar sahabatnya. "Improvisasi ?"

Chann tertawa jenaka. Pemuda itu menaik-turunkan alisnya. "Kenapa tidak yakin ? range nada ini memang sulit terlebih bagi pemain biola. Aku yakin, Miss Evelyn akan mengatakan hal serupa jika kau meminta pendapatnya. Cara terbaik mengatasinya dengan improvisasi. Bagaimana ?"

"Aku tidak yakin dengan itu,Chann. Aku..."

"Oh ayolah,Belle. Jangan bersikap pesimis seperti itu. Ayo, kubantu kau untuk berlatih.'

Tanpa banyak berbicara lagi, Chann mengambil biola Belle dan menyodorkannya agar gadis itu mau kembali berlatih. Semudah itu, menghabiskan waktu bersama Belle membuat Chann merasa nyaman. Rasa kesal yang sempat memenuhi rongga dadanya perlahan sirna hanya dengan berbicara musik dengan gadis berambut pirang tersebut. Bersama Belle, Chann bisa melupakan sejenak beban berat terkait statusnya sebagai penerus keluarga.

~**~

Udara musim dingin di salah satu dataran tinggi Inggris langsung menerpa seluruh wajah Chann saat lelaki itu melepas google snowboarding yang ia kenakan. Sejenak, Chann mengamati pemandangan bersalju yang terhampar dalam diam, sebelum suara papan yang bergesek dengan salju terdengar dibelakang. Chann menoleh dan menemukan Stevan dan seorang sepupunya, Alex, ternyata berhasil menyusul dirinya.

"Astaga, aku tak menyangka kalau kau selihai itu bermain snowboard,Chann!" ucap Alex yang entah bisa dikatakan sebagai pujian atau sindiran.

Chann terkekeh dan berusaha membenahi letak helm yang ia kenakan seraya melempar tatapan mengejek pada Alex. "Kau saja yang terlalu lama berada di Seoul sampai lupa bahwa sepupumu ini sangat lihai bermain snowboard."

Stevan tertawa kecil mendengar Chann dan Alex yang saling melempar sindiran. "Kalian berdua jika sedang bersama malah berdebat, kalau sedang berjauhan saling berkata rindu. Aku heran persaudaraan macam apa yang dimiliki Kim dan Ardolph ini."

Chann dan Alex terbahak mendengar komentar Stevan mengenai hubungan mereka. ketiga lelaki itu kemudian melepas kunci pengaman pada papan seluncur dan memutuskan untuk menikmati pemandangan bersalju dari ketinggian sebelum kembali berseluncur. Ketiga kini duduk ditanah berselimut salju tak peduli dengan angin dingin yang membuat kulit wajah ketiganya memerah.

"Chann, kudengar ibumu gencar mengatur pertemuan dengan Marion. Apa itu artinya kau bersedia menikah dengan Marion ?"

Stevan menoleh dan memfokuskan perhatiannya pada Chann yang duduk tepat di sebelahnya. Manik gelap Stevan berusaha membaca apa yang tengah dipikirkan sahabatnya.

Chann tak langsung menjawab. Lelaki itu lebih sibuk memperhatikan pemandangan di depannya daripada menyahut pertanyaan sahabatnya. sejujurnya, Chann merasa tak nyaman dengan pertanyaan itu, terlebih Chann tahu bagaimana perasaan Stevan pada Marion.

"Percayalah. Aku tak menginginkan semua itu. Selama ini aku berusaha menjaga perasaan Marion dan keluarganya. Aku tak ingin hubungan keluargaku dan keluarganya rusak."

"Marion berharap besar padamu,Chann. Tidakkah kau tahu jika ia selalu bersemangat setiap kali ia akan pergi bersama denganmu ?"

Chann menghela nafas berat. Saat ini, lelaki yang tengah mewarnai rambutnya menjadi silver itu sedang berada dalam situasi yang rumit. Ia hendak dijodohkan dengan Marion—salah satu teman masa kecilnya, sementara di sisi lain Chann tahu jika Stevan menyimpan perasaan pada Marion. Sungguh, semua ini sangat menyiksa bagi Chann.

"Aku sedang mencari cara untuk menyudahi semua ini,Stevan. Percayalah, aku juga tak mau memberikan harapan tinggi pada Marion. Aku.."

"Tapi dengan cara kau bersikap dan hadir di setiap pertemuan yang direncanakan ibumu, secara tak sadar kau sedang memberikan harapan lebih. Aku harap kau bisa segera mengambil langkah pasti. Perlu kuingatkan, aku tak mau jika sampai Marion menangis di depanku karenamu,Chann."

Tepat setelah berkata seperti itu, Stevan bangkit dan memasang kembali papan luncurnya dan mengakhiri obrolan singkat mereka. Alex yang sedari tadi memilih diam dan mendengarkan hanya bisa menggelengkan kepala melihat situasi pelik yang dihadapi sepupunya. Alex kemudian menepuk pundak Chann, seolah memberikan dukungan pada Chann.

"Aku tahu, situasi yang kau hadapi saat ini begitu sulit. Tapi, apa yang dikatakan Stevan memang benar. Jika kau tak menginginkan Marion, maka berhentilah menemuinya. Selain itu, kenapa kau tak berfokus mengejar Belle saja ? Bukankah Belle perempuan yang kau butuhkan ?"

Seandainya memang semudah itu. seandainya hidupku lebih sederhana. Tentu aku tak akan ragu untuk mengejar Belle. Aku tak sampai hati membuatnya melepas karier dan impian hanya agar ia menjadi pendampingku.

~**~