Chereads / Reminiscent in Adagio / Chapter 4 - Ep 2 : Abandon

Chapter 4 - Ep 2 : Abandon

Cantik, anggun, dan cerdas. Tiga kata tersebut perumpaan yang tepat bagi sosok Marion Hampston. Siapa yang tidak mengenal Marion Serenity Hampston—putri bungsu dari keluarga bangsawan Hampston, yang tengah unjuk bakat dalam memainkan piano di ruang keluarga Ardolph.

Marion tidak sendirian. Duduk di sofa terbesar, Valeria Ardolph—Sang Nyonya rumah, ditemani putra semata wayangnya Chann di sisi kiri. Tidak hanya kedua anggota Ardolph, Katherine Hampston, ibu dari Marion turun menyaksikan permainan putri kesayangannya.

Setiap selasa sore, Valeria selalu mengundang Katherine—sahabatnya, berkunjung ke rumah sekedar berbagi cerita sambil menikmati teh chamomile dan kue ringan. Kebiasaan ini sudah dilakukan saat keduanya masih remaja hingga berlanjut ketika mereka sudah menikah dan memiliki anak. Kedua Nyonya Besar tersebut tak pernah absen membawa putra-putri mereka dalam kegiatan mereka.

Marion menyelesaikan permainan pianonya yang kemudian di sambut tepuk tangan antusias dari dua orang penggemar utamanya, Valeria Ardolph dan ibunya. Senyum manis Marion perlahan mengempis saat manik hijaunya menemukan Chann menatapnya datar. Ada sedikit rasa perih yang menjalar di dada gadis berusia delapan belas tahun tersebut.

"Marion semakin mahir memainkan piano. Tidakkah kau berpikiran sama dengan ibu, sayang?" Valeria masih bertepuk tangan dan melirik Chann yang tak menunjukkan reaksi. Valeria mendelik kesal dan menyikut pelan Chann.

Chann meringis pelan karena tindakan Sang Ibu. Manik biru keabuannya memutar malas dan memfokuskan perhatiannya pada Marion yang sudah kembali bergabung dengan mereka. Chann tak pernah menyukai kehadiran Marion dirumahnya.

"Marion akan mengikuti resital musik klasik Miss Alberthiene. Chann, bukankah kau juga ikut serta dalam resital tersebut?" Katherine membuka topik pembicaraan baru. Wanita berambut blond tersebut berusaha membuat putri dan putra sahabatnya terlihat dalam obrolan sore ini.

"Benarkah? Bukankah itu berarti kami bisa menyaksikan kalian bermain musik bersama? Ah rasanya tak sabar melihat Marion dan Chann bermain musik bersama. tidakkah kau berpikiran sama denganku,Kate?"

"Benar sekali. Akan sangat menyenangkan melihat mereka bersama, bukan? Marion bahkan sudah menyiapkan gaun khusus resital nanti. Ia sangat bersemangat karena bisa bermain musik dengan Chann."

Marion menatap jengah ke arah ibunya. Semburat merah menghiasi pipi pucatnya. "Ibu, tidak perlu berlebihan seperti itu,"cicitnya sambil menundukkan kepala dan mencuri pandang ke arah Chann yang terlihat masih tak peduli.

"Bagaimana denganmu,Chann? Aku yakin kau tak kalah bersemangatnya,bukan?"

Chann meraih cawan teh, menyesapnya sedikit sebelum meletakkan kembali di meja. Wajah Chann terlihat bosan dengan basa – basi tersebut. Tak ingin dianggap tak sopan, Chann akhirnya menanggapi ucapan Katherine.

"Aku memang diikutsertakan dalam resital. Tapi, aku belum memberikan jawaban pada Miss Alberthiene. Kurasa ia memberikanku pilihan untuk mengikuti resital atau tampil solo," jelas Chann.

Valeria menatap tajam putranya. Wanita berdarah Korea tersebut tak menyangka jika putranya bisa bersikap begitu dingin pada Katherine. "Chann, ibu tak pernah mengajarimu bersikap seperti itu,"desis Valeria yang lalu menoleh ke arah Katherine dengan wajah penuh permohonan maaf. "Maafkan aku,Kate. Chann sepertinya sangat kelelahan. Kau dan Marion tidak keberatan jika Chann tinggal,bukan?"

Katherine memasang senyum simpul meski dalam hatinya, wanita Inggris itu sangat tersinggung dengan sikap Chann. "Tentu,Vale. Kami tidak keberatan jika Chann pamit untuk beristirahat."

Tak menolak kesempatan yang diberikan ibunya, Chann bangkit dari duduknya dan melenggang pergi begitu saja meninggalkan ruang keluarga. Pemuda berusia tujuh belas tersebut bahkan tak sekalipun menoleh ke belakang. Chann tak menyadari ada sorot terluka yang terus tertuju pada punggungnya yang semakin menjauh.

~**~

Salju yang terus menghujani kota London sejak semalam, membuat tangga menuju gedung British Music Academy sepenuhnya diselimuti salju. Hal itu membuat Chann yang baru saja tiba untuk berlatih pertunjukan solonya, sedikit kesulitan menaiki tangga karena licin.

Sambil mengeratkan mantel yang ia kenakan, Chann akhirnya tiba didepan gedung sekolah musik tersebut dan segera mendorong pintu kayu ebony berdaun ganda. Chann tak langsung pergi menuju ruang latihan, pemuda itu berdiam di depan keset membersihkan salju di sepatunya.

"Chann!"

Sebuah panggilan membuat Chann menghentikan kegiatannya dan mendongakkan wajah untuk melihat siapa yang memanggil. Seorang gadis berambut blond berlari dengan penuh semangat ke arahnya. Jika gadis itu tampak bersemangat karena bertemu Chann, hal itu berbanding terbalik dengan Chann yang lebih asyik membersihkan sepatunya.

"Kau sedang apa?" tanya Marion sambil berjongkok di dekat Chann yang sekarang tengah mengikat tali sepatu.

"Kau tak bisa melihat apa yang sedang kulakukan?" balas Chann dengan nada ketus.

Marion tertawa kecil dan kembali memperhatikan wajah kesal Chann. Hati gadis itu berdesir tiap kali memperhatikan wajah Chann yang selalu sempurna dimatanya. Marion sangat menyukai Chann.

"Astaga kau galak sekali. Aku hanya bertanya. Siapa tahu kau butuh bantuan," ujar Marion yang masih betah berada di dekat Chann. Marion tak berniat beranjak dari tempatnya sekarang.

Chann mendongakkan kepala dan iris biru keabuannya melayangkan tatapan tajam menusuk. "Apa yang sedang kau lakukan di sini? Cepat pergi ke ruang latihanmu," usir Chann dengan nada tak suka yang begitu kentara.

"Aku sedang menunggumu,Chann. Kau ini tidak peka sekali pada lingkungan sekitarmu."

Chan mendengus mendengar keinginan Marion. Lagi, iris unik milik pemuda itu memberikan tatapan tajam pada sosok manis di depannya. "Tidak peka? Justru kau yang tak peka,Marion. Aku itu..."

"Chann Loey!"

Suara panggilan lain menginterupsi percakapan Chann dan Marion. Hanya ada satu orang yang memanggil Chann dengan panggilan unik seperti itu. Sontak, remaja itu menoleh dan menemukan sosok gadis lain tengah berlari ke arah mereka. Gadis berambut blond dengan perpotongan wajah percampuran eropa dan asia—Christabel. Berbeda dengan saat menyadari kehadiran Marion di dekatnya, raut wajah Chann terlihat cerah saat mendapati Belle tengah berlari ke arahnya.

"Hai~" sapa Chann dengan senyum lebar yang membuat kedua lesung pipinya tercetak jelas. "Kukira kau belum datang,Belle."

"Justru aku sedang menunggumu! Kau kenapa lama sekali,sih? Aku kesulitan berlatih karena harus menunggumu," sungut Belle sambil mengerucutkan bibirnya dan mendelik kesal ke arah Chann.

Chann terkekeh seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal. Pemuda itu menunjukkan rasa bersalah dengan menampilkan ekspresi memelasnya. "Maafkan aku. Aku tak bermaksud membuatmu menunggu. Sungguh, aku berusaha datang tepat waktu tapi salju terus turun dengan deras. Aku minta maaf."

Marion terperangah melihat Chann yang bersikap manis dihadapan gadis yang kerap dipanggil Belle tersebut. Sungguh, Marion tak menyangka jika Chann bisa menampilkan ekspresi menggemaskan seperti sekarang. Perlahan, Marion merasakan rasa iri tersulut di dalam dirinya. Manik hijau Marion menghujam tajam tak berperi pada sosok Christabel. Terlebih, sejak tadi kehadirannya tak dianggap baik oleh Chann maupun Christabel.

"Aku tak mau mendengar alasan apapun. Pokoknya hari ini kau harus membantuku berlatih!" perintah Belle sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Tak berapa lama setelah berkata seperti itu, Belle berbalik pergi dan tak peduli dengan apa yang akan dilakukan Chann.

Chann terlihat panik melihat Belle yang marah pergi begitu saja. Tak mempedulikan Marion yang belum bergeming dari tempatnya, Chann memutuskan berlari mengejar Belle.

"Belle! Tunggu! Maaf aku tak bermaksud datang terlambat! Hari ini kutraktir kau minum cokelat panas kesukaanmu,okay? Hei! Belle tunggu aku!"

Suara Chann menggema di lorong British Music Academy di susul dengan suara tinggi Belle yang masih menolak permohonan maaf Chann. Kedua remaja tersebut seolah berada di dunianya sendiri tanpa mempedulikan sekitarnya jika sudah bersama.

Sesak semakin menghujam dada Marion kala menyaksikan Chann yang lebih memperhatikan Belle dibandingkan dirinya. Airmata gadis manis itu perlahan turun membasahi pipi Marion tanpa ampun sementara kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuh. Marion tak masalah dengan sikap dingin yang selalu diperlihatkan Chann padanya. tapi, gadis bangsawan itu tak menerima jika ia diperlakukan seperti itu di depan orang lain, terlebih di depan gadis bernama Christabel.

Sedikit kasar, Marion menghapus airmatanya dan berusaha menenangkan emosi yang meletup – letup. Tepat saat itu juga, Marion merasakan getaran di salah satu saku mantelnya. Cepat, Marion merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Tanpa melihat identitas penelpon, Marion langsung mengangkat teleponnya dan suara yang begitu dikenal langsung menyapa gendang telinganya.

"Kenapa kau selalu muncul di saat yang tepat,Stev?" gumam Marion pada si penelpon yang tak lain adalah sahabatnya—Stevan.

~*~

Rona bahagia berpendar dengan jelas di roman feminimnya. Sesekali iris hijau itu melirik lelaki tampan yang berjalan di sebelahnya. Dan kebahagiaan itu membuncah nyata, membuat perempuan itu tak mempedulikan udara dingin yang menerpa wajahnya. Tak peduli jika ia mungkin akan bertingkah tak seanggun biasanya.

"Chann, kau keberatan jika kita mampir sejenak ke Coffephobi? Sepertinya aku butuh secangkir kafein," Ujar Marion yang tak sedetikpun melepaskan lengannya yang menggamit di salah satu lengan kekar Chann.

"Tak masalah bagiku,"sahut Chann cepat.

Saat ini Chann dan Marion tengah berada di Bond Street. Seperti biasanya, Chann pasti akan meluangkan satu atau dua hari dari seminggu, untuk bertemu dengan Marion. Ini bukanlah sesuatu yang Chann inginkan, semua ini adalah keinginan ibunya. Valeria Kim selalu mengatur pertemuan untuk Chann dan Marion setidaknya dua kali dalam seminggu. Dan wanita berdarah asia tersebut tak mau mendengar penolakan dari Chann.

Chann yang lelah berdebat dengan Sang Ibu, akhirnya memutuskan mengalah dan membiarkan dua dari tujuh hari yang ia miliki selama seminggu, untuk menemani Marion seharian. Seperti hari ini, Chann mengantar dan menemani Marion seharian untuk berbelanja keperluan natal. Jika Chann boleh memilih, lelaki itu akan menghabiskan waktunya di ruang baca dibandingkan berada di luar rumah di tengah cuaca London yang kurang bersahabat.

Marion dengan cepat mengarahkan kakinya menuju sebuah kafe yang merupakan spot favoritnya tiap kali habis berbelanja di Bond Street. Perempuan itu membalas sapaan pelayan kafe dengan begitu ramah, sebelum memutuskan duduk di salah satu meja yang dekat dengan jendela.

Chann duduk dan lebih memperhatikan lalu lalang orang yang berada di luar kafe. Lelaki itu tampak ingin menyudahi pertemuan menyebalkan hari ini. Chann bahkan tak tertarik dengan menu ataupun sajian musik klasik yang disuguhkan kafe bernuansa vintage tersebut.

"Chann, kau ingin memesan apa? Jika tak keberatan, aku menyarankan kau..."

"Aku tak lapar ataupun haus. Kau saja yang memesan dan aku akan menunggumu," potong Chann cepat tanpa bersusah payah mengalihkan perhatiannya dari pemandangan di luar jendela. Bagi Chann, saat ini melihat orang sibuk berlalu lalang di luar jauh lebih menyenangkan dibandingkan sosok manis di hadapannya.

Marion memaksakan seulas senyum. Ia sungguh sudah terbiasa dengan sikap dingin atau nada ketus yang terdengar dari Chann. Marion bisa menghadapi semua itu asalkan lelaki itu berada di sisinya, baginya semua sudah cukup.

"Baiklah. Aku tak peduli jika kau bilang tak haus atau tak lapar. Aku akan tetap memesankan sesuatu untukmu," pungkas Marion tak ingin lagi mendengar penolakan Chann. Atensi Marion kini sepenuhnya tertuju pada buku menu yang ia buka.

Chann melirik ke arah Marion yang lalu mendengus kecil. Chann sungguh tak mengerti dengan Marion yang berusaha keras merebut perhatiannya. Padahal, Chann sudah lama mengingatkan Marion. Perhatian apapun yang akan Marion lakukan untuk Chann, tidak akan pernah mendapat balasan yang sama. Sejelas itu Chann memperingatkan Marion betapa kejam dan dingin perlakuan yang akan ia dapatkan.

"Chann, bagaimana dengan secangkir cappuccino? Bukankah kau senang sesuatu yang manis?"

Chann mengalihkan pandangannya dan menatap lekat Marion. Iris biru keabuan tersebut terlihat sangat jengkel dengan tindakan Marion yang dianggap berlebihan. Chann tidak suka kopi dengan rasa yang mild, ia menyukai kopi dengan rasa kuat seperti espresso atau americano.

Sebuah seringai muncul di sudut bibir Chann kala menyadari Marion tak mengetahui sedikitpun tentangnya. Lelaki itu tengah mempersiapkan deretan kata menohok yang siap ia lontarkan pada Marion, hingga semua itu buyar saat mendengar suara seseorang yang dikenalnya.

"Chann? Marion?"

Stevan Denzel berdiri tak jauh dari meja yang tengah di duduki Chann dan Marion. Dengan langkah lebar, Stevan mendekati meja tersebut. senyum manis terpatri di wajah tampannya. Tanpa siapapun kecuali Chann yang menyadari jika senyum manis Stevan sepenuhnya ditujukan untuk Marion.

"Aku tak menyangka akan bertemu dengan kalian disini!"

Marion beranjak dari duduknya dan memeluk singkat sosok sahabatnya. "Aku dan Chann baru saja berbelanja dan memutuskan untuk minum secangkir kopi. Kau sedang apa di sini?"

"Aku hendak bertemu seorang klien disini. Tapi..." Stevan melirik jam tangan di lengan kirinya dan kembali menatap Marion beserta Chann. "Sepertinya ia sedikit terlambat. Apa kalian tidak keberatan jika aku bergabung sebentar?"

"Tentu. Kami sama sekali tak keberatan,Stev," balas Chann cepat.

Ucapan Chann membuat Marion menoleh dan memprotes tindakan lelaki tersebut. Demi apapun, Marion hanya ingin menghabiskan waktu dan mengobrol bersama Chann tanpa gangguan siapapun. Tapi, semua itu tampaknya musnah dengan balasan Chann. Marion kecewa meski begitu ia berusaha mengatur emosi yang terpancar di wajahnya.

"Ah tentu saja. kau bisa bergabung sambil menunggu klienmu," sahut Marion lengkap dengan senyum manisnya.

Stevan tersenyum canggung. Iris gelapnya menangkap kilat kecewa di mata Marion. Stevan tahu jika Marion tak menyukai idenya. Marion memang pandai mengatur emosi dan ekspresinya tetapi semua tak berlaku dihadapan Stevan Alecto Denzel.

Dering ponsel memecah pikiran Stevan mengenai Marion. Lelaki itu menoleh dan menemukan Chann sudah sibuk merogoh saku dan mengangkat panggilan masuk tersebut. Stevan mendapati wajah Chann berubah khawatir sesaat setelah menerima panggilan itu. Dan seolah bisa menerka, Stevan tahu kelanjutan pertemuan Marion dan Chann hari ini.

"Sepertinya aku harus segera pergi. Aku ada urusan penting. Maaf sepertinya pertemuan kita hari ini harus berakhir lebih cepat,Marion. Sampaikan salamku pada ibumu."

Chann berlalu begitu saja tanpa berniat mendengarkan komentar Marion akan urusan mendadaknya. Marion dan Stevan mengawasi kepergian Chann dalam diam.

"Selalu. Aku tahu siapa yang menjadi urusan mendadaknya," gumam Marion dengan nada tenang tapi penuh luka.