Chereads / Reminiscent in Adagio / Chapter 5 - Ep 3 : His Priority

Chapter 5 - Ep 3 : His Priority

Pemuda itu berlari secepat yang ia bisa. Bisa terdengar jika nafasnya terengah – engah karena ia sudah berlari selama setengah jam. Masih mengenakan pakaian formal, pemuda itu tak peduli jika ia akan membuat murka orangtuanya malam ini. pemuda itu juga tak peduli dengan salju yang turun begitu lebat malam ini, membuat uap hangat sesekali terlihat tiap kali ia membuka bibirnya. Saat ini hanya ada satu yang ada dipikirannya, si gadis.

Chann menghela nafas panjang kala manik biru keabuannya mendapati bangunan sekolah musiknya. Menyadari jaraknya dengan gedung sekolah musiknya semakin dekat, Chann semakin mempercepat larinya agar ia bisa segera tiba. Sungguh, pemuda itu khawatir akan keadaan Belle, yang setengah jam lalu menelponnya sembari menangis.

"Tuan Muda Ardolph! Apa yang Anda—"

Mister George, penjaga gerbang terkejut mendapati Chann berada di lingkungan sekolah padahal waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Terlebih Chann mengenakan pakaian yang begitu formal.

Chann hanya mengangkat dan melambaikan tangannya begitu saja pada Mister George sesaat setelah membukakan pintu gerbang. Chann tak punya waktu berbasa – basi. Pemuda itu tak ingin membuang waktu menjelaskan kehadirannya di sekolah di malam hari. Tujuan Chann malam ini hanya satu yaitu memastikan Belle baik – baik saja.

Tak mempedulikan dengan lorong sekolah yang gelap dan sepi, Chann mempercepat larinya menuju ruang latihan paling pojok di lantai dua. Begitu iris biru keabuannya mendapati lampu di ruang latihan itu menyala, nafasnya semakin memburu.

"Belle!"

Chann berdiri di ambang pintu dengan matanya yang menyapu ruangan mencari keberadaan sosok Belle. Jantungnya seperti direnggut paksa mendapati gadis yang dicarinya berada di sudut ruangan, duduk sambil menenggelamkan wajah diantara kedua lulut. Chann melangkah memasuki ruangan dan kemudian berjongkok tepat di depan Belle.

"Apa yang kau lakukan di sini,Belle ?" tanya Chann lembut.

Belle mengangkat wajahnya perlahan dan menatap lurus Chann. Jejak airmata terlihat jelas menghiasi romannya. Iris cokelat itu terlihat begitu sendu dan siap menumpahkan kembali airmata kala mereka bertatapan satu sama lain.

"Chann..."

Chann mengusap lembut pipi Belle seraya tersenyum. "Aku di sini, Belle. Apa yang terjadi padamu,hm ?"

Chann berusaha mencari informasi dari Belle dengan mengulang pertanyaannya. Melihat Belle yang begitu terguncang, Chann yakin ada sesuatu yang begitu buruk menimpanya. Chann tak bisa menahan diri untuk tak menarik tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Apapun akan Chann lakukan agar Belle bisa merasa lebih baik dan nyaman. Termasuk dengan mengusap pelan punggung Belle dan membiarkannya kembali menangis.

"Menangislah, tak perlu kau tahan. Aku akan menemanimu. Kau tak sendiri."

Isak Belle semakin kencang. Lengan kurusnya mulai melingkari pinggang Chann, ia berusaha mencari tempat perlindungan. Perlu diakui, kejadian yang dialami Belle beberapa jam yang lalu membuatnya begitu terpukul terlebih fakta baru yang didapatkannya. Belle tahu, ia memang seorang anak yang terlahir tanpa ayah. Tapi, gadis itu tak menyangka jika ia berada di lingkungan yang sama dengan Ayahnya sejak kecil.

"Chann, apa kau akan membenciku jika aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padaku ?"

Usapan lembut Chann pada punggung Belle mendadak terhenti. Pemuda itu melonggarkan dekapannya dan menatap Belle tepat di mata. Iris cokelat itu terlihat jelas membutuhkan pernyataan mutlak darinya. "Kenapa aku harus membencimu, Belle ? Apa yang harus kubenci dari gadis baik dan menyenangkan sepertimu ? Kurasa—"

"Aku anak haram Hampston,Chann," potong Belle disertai sakit yang kembali menggerogoti dada.

Chann membulatkan mata dan mengerjap beberapa kali mendengar informasi yang baru saja dijatuhkan Belle. Lagi, Chann berusaha mencari jejak jahil di manik cokelat Belle. Nihil, gadis itu tak sedang bercanda atau menjahilinya.

"Kau..." Chann kehilangan kata – kata yang hendak ia ucapkan.

Belle mengangguk, membuat airmatanya berjatuhan. Gadis itu kembali membuka bibirnya tetapi hanya isak yang terdengar. Informasi itu masih terlalu menyakitkan bagi Belle. Selama ini Belle meyakini jika ayahnya telah tiada. Tapi, semua itu ternyata sebuah fakta yang harus disembunyikan Sang Ibu, bila ia ingin hidup nyaman di Inggris.

"Seseorang wanita mendatangiku secara tiba – tiba. Ia mendorongku ke tembok dan menamparku beberapa kali. Ibuku datang tak berapa lama setelah wanita itu menamparku. Wanita itu berkata kehadiranku merupakan ancaman nyata bagi reputasi keluarga. Ia akan mengusir aku dan ibuku keluar dari London. Apapun akan dilakukannya aku tak berada di lingkungan yang sama dengannya."

Chann diam mendengar untaian kata yang mengalir dari Belle. Chann tak dapat memungkiri jika ia terkejut sekaligus marah atas kejadian yang dialami Belle. Tanpa sadar, pemuda itu mengepalkan salah satu tangannya yang berada tepat di belakang punggung Belle. Emosi berkobar di rongga dadanya. Chann tahu seberapa besar arogansi yang dimiliki keluarga bangsawan dan semua itu membuat Chann muak.

"Lalu, apa yang akan kau dan ibumu lakukan ? Kalian tidak mungkin pergi begitu saja karena ancaman tak masuk akal seperti itu,bukan ?"

"Chann, apa kau lupa betapa berkuasanya keluarga Hampston ? Tidak mungkin mereka memberikan ancaman kosong semata – mata. Mereka pasti—"

"Tidak," potong Chann cepat. Iris biru keabuannya menyorot tegas. "Kau dan ibumu tak akan pergi. Jika kau berani pergi, maka aku tak akan memaafkanmu,Belle."

"Chann! Ini tidak semudah yang kau pikirkan! Apa kau tak mengerti dengan siapa aku berhadapan ? Hampston,Chann! Hampston,salah satu dari beberapa keluarga bangsawan tua Inggris."

"Aku tahu siapa mereka,Belle."

Chann menghela nafas panjang berusaha meredam kemarahan yang menggelegak di dadanya. Kepalanya secara tak sengaja mengingat acara formal yang beberapa jam lalu dihadiri Chann bersama orangtuanya. Chann mengingat betapa pongahnya ibu serta wanita bangsawan yang dimaksud Belle tadi, tertawa di ruang dansa. Detik itu juga, Chann menemukan jawaban atas masalah yang dihadapi Belle.

"Belle, kau tak perlu khawatir. Masalah ini biar kuselesaikan. Kau fokus berlatih saja untuk pertunjukkan akhir minggu nanti. Kupastikan semua ini tak akan mengganggumu lagi."

"Chann apa yang akan kau lakukan ? Aku mohon jangan ikut campur, semua—" Belle mendadak berhenti berbicara saat Chann menatap tajam dan mengurung dirinya ke sudut tembok. Belle tak bisa memungkiri jika jantungnya berdegup dua kali lebih cepat.

"Apapun yang terjadi padamu, akan menjadi tanggungjawabku. Aku pastikan kau akan menjalani hidup dengan tenang. Kau dan ibumu tak akan pergi kemana – mana. Kau harus menyelesaikan pendidikanmu disini juga mencapai impianmu menjadi seorang violinis terbaik dari Inggris."

"Chann..."

Chann tersenyum lembut dan mendaratkan kecupan ringan di puncak kepala Belle. Pemuda itu menyayangi Belle, tanpa pernah menyadari jika perasaan itu telah berubah menjadi sesuatu yang lain. "Jangan cemas. Kau fokuslah berlatih. Sekarang, kuantar kau pulang."

~**~

Jam dinding kamarnya sudah mengarah pada tepat tengah malam, ketika Chann meraih ponselnya dan menempatkannya di salah satu telinga. Iris biru keabuan itu bergulir mencari baju tidurnya yang tadi sudah dipersiapkan salah satu pelayan rumah.

Pada dering ketiga, tepat ketika Chann berhasil membuka tuxedo beserta kemejanya, panggilannya diangkat. Suara di seberang sana terdengar begitu ceria berbanding terbalik dengan raut datar Chann.

"Apa kau punya waktu beberapa menit untuk berbicara denganku ?" tanya Chann tanpa berniat berbasa – basi dengan sosok penelpon di seberang telepon.

Chann menyunggingkan seringai menakutkannya setelah mendengar persetujuan si penelpon. Dengan tarikan nafas panjang, Chann bersiap menjatuhkan bom kesepakatannya. Dan lubuk hatinya yang terdalam, Chann berharap kesepakatan ini dapat melindungi Belle kelak.

"Aku tak ingin berbasa – basi, aku akan langsung pada inti pembicaraan. Ada sesuatu yang kuinginkan darimu. Dan..." Chann meraih baju tidurnya dan mengancingkan perlahan seraya mendaratkan pantatnya pada tepian ranjang miliknya. "Aku tak mau menerima penolakan darimu."

Sosok di seberang sana menjeda beberapa detik sebelum menyanggupi apapun yang diinginkan Chann darinya. Dan kesepakatan itu terjadi. Kesepakatan yang harus dipegang teguh sosok di seberang akan keselamatan Belle dari gangguan serta ancaman Sang Ibu.

"Aku akan mengawasimu. Kupastikan kau tak membuat kacau semuanya. Atau kau akan mendapatkan balasan dariku,Marion."

~**~

Chann berusaha mengatur nafasnya yang terengah karena sudah berlari beberapa blok untuk menemui Belle. Chann merapikan rambutnya yang mungkin sedikit berantakan karena tindakan buru – burunya. Sekali lagi, Chann menarik nafas dan memasang ekspresi tenang sambil menunggu Belle keluar dari toko reparasi biola di salah satu sudut kota London.

Chann menyandarkan tubuh tingginya pada tembok, menanti Belle yang kemungkinan besar akan terkejut melihat dirinya berada di luar toko. Sama sekali tak terlihat raut bersalah pada roman Chann karena tanpa sadar ia sudah pergi begitu saja meninggalkan Marion di kafe tanpa alasan yang jelas. Hingga detik ini, Christabel Edlin, masih menjadi sosok yang menjadi prioritas utama seorang Chann William Loey Ardolph.

Suara lonceng pintu toko membuat Chann tersadar dari pikirannya. Segera, lelaki itu menoleh dan menemukan Belle melangkah keluar dari toko. Senyum Chann mengembang semakin lebar, terlebih saat Belle tak juga menyadari kehadirannya. Chann melangkahkan tungkainya menuju Belle yang saat ini tengah memastikan biolanya tersimpan dengan baik di tas.

"Apa biolamu mengalami kerusakan parah, Belle ?"

Suara deep husky yang menyapa telinga, membuat Belle mendongakkan kepalanya dan terkejut mendapati sahabatnya—Chann, berdiri tepat di depannya dengan senyum. Belle mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan jika ia tak sedang berhalusinasi.

"Kenapa kau melihatku seperti itu,Belle ?"

"Aku kira sedang berhalusinasi karena kau ada di depanku. Bukankah kau tadi bilang sedang ada urusan di Bond Street ? Bagaimana bisa kau sekarang sudah ada di depanku ?"

"Ah urusanku di sana sudah selesai. Kebetulan saat kau mengabariku kau ada di toko Reviolin, aku memutuskan menjemputmu kemari. Apa yang terjadi pada biolamu ? Apa ada kerusakan parah ?"

Belle tertawa kecil seraya menggelengkan kepala. "Tidak ada yang rusak, Chann. Kau ini selalu saja khawatir secara berlebihan. Aku kemari membenahi bagian scroll yang kemarin seperti sedikit goyang," Belle berusaha memberikan penjelasan pada Chann tentang kedatangannya yang mendadak ke toko reparasi biola tersebut.

Chann menghembuskan nafas dengan lega. "Syukurlah kalau tidak ada kerusakan parah. Sungguh, aku tak akan pernah melupakan tangisanmu saat biolamu dulu rusak."

Chann mengenang kejadian beberapa tahun lalu ketika ia dan Belle berlatih bersama dan secara mengejutkan senar biola Belle putus disusul retak pada bagian bridge. Belle menangis kencang. Butuh lebih dari satu setengah jam bagi Chann untuk menenangkan dan menghentikan tangisan Belle mengenai kerusakan pada biola kesayangannya.

"Astaga Chann aku bukan lagi anak kecil! Kau ini kenapa selalu mengingat hal buruk yang terjadi padaku,hm ?"

Chann tertawa lalu mengacak rambut Belle. "Karena aku menyayangimu,Belle. Aku tak mau terjadi sesuatu yang buruk denganmu. Aku tak mau melihatmu terluka atau menangis karena semua itu terlalu menyakitkan untukku,"ujarnya lembut.

Belle tertawa jengah mendengar balasan Chann. Perempuan itu merasakan sesuatu yang berbeda dan aneh menjalari hati setelah mendengar balasan Chann. "Kau berlebihan. Chann, aku ingin cokelat panas. Maukah kau mentraktirku ?"

Chann mengangguk dan tertawa kencang. Dengan segera, Chann meraih jari – jari mungil Belle dan menggenggamnya erat. Keduanya lalu melangkah bersama menuju sebuah kafe untuk membeli cokelat panas.

Tanpa siapapun menyadari, sepasang iris hijau menatap tajam Chann dan Belle yang berjalan di tengah keramaian siang di musim dingin London. Sosok tersebut menggigit bibir bawahnya untuk meredakan emosi yang kembali merayap ke permukaan hati, sementara kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Lagi, rasa sakit itu menghujam dadanya tiap kali melihat kebersamaan Chann dan Belle. Sosok tersebut muak dengan semuanya.

Sedikit kasar, sosok tersebut meraih ponsel yang ia simpan di saku mantelnya. Jari lentiknya membuka screenlock dan menekan salah satu angka pada papan angka yang tertera di layar. Angka tersebut langsung mengarahkan pada panggilan cepat. Pada dering kedua, panggilannya diangkat.

"Stev,kau pernah berkata kalau kau akan selalu siap membantuku,bukan ? Kalau begitu, aku membutuhkan bantuanmu."

~**~