Winter 2019,
Several week before the announcement on prologue
Chann mengalihkan pandangannya dengan bosan dari layar macbook yang menjadi fokus perhatiannya sejak jam mengarah pada pukul delapan pagi. Lelaki bertubuh tinggi itu meregangkan sejenak punggungnya yang terasa kaku akibat berjam – jam duduk. Chann perlahan bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati jendela ruang kerjanya. Iris biru keabuannya memandangi Thames yang membelah kota London dengan anggun tanpa penghalang apapun karena ruang kerja Chann berada tepat di lantai dua puluh tujuh.
Chann terhanyut dalam pikirannya kala memperhatikan Thames yang sisinya sedikit membeku di musim dingin. Chann lagi – lagi bergulat dengan keputusan yang telah ia ambil selama dua tahun terakhir. Keraguan itu membayangi Chann semakin kuat setiap kali ia dilanda rasa bosan dan lelah seperti sekarang. Benarkah ia mengambil keputusan yang tepat?
Dua tahun lalu, Chann William Loey Ardolph mengambil keputusan untuk menyerah akan mimpinya menjadi seorang pianis. Segala keputusan tersebut membuat Chann terpaksa menguburkan mimpinya menggelar konser tunggal di saat ia selangkah lagi mendapatkan impiannya. Semua karena kejadian ta terduga yang terjadi pada Sang Ayah, Harold Richard Ardolph.
Harold Richard Ardolph menutup usia secara tak terduga ketika Chann baru saja menginjak usia dua puluh lima tahun. Secara paksa,Chann menerima semua beban dan tanggung jawab yang selama ini dipegang Ayahnya termasuk menerima kenaikan gelarnya. Kini, Chann tak hanya menyandang gelar sebagai seorang Earl, tetapi juga seorang Duke. Tepatnya, Duke of Southern.
Jika saja Chann memiliki kesempatan memilih, Chann rela menyerahkan apapun termasuk kebangsawanannya agar bisa meraih kembali impiannya. Tapi, semua tak semudah yang ia pikirkan. Banyak orang yang bergantung padanya sesaat setelah Sang Ayah menghembuskan nafas terakhir. Termasuk ratusan ribu karyawan yang bekerja di perusahaan keluarganya secara turun temurun dan beragam pekerjaan sosial yang biasa dilakukan seorang bangsawan.
"Apa yang sedang kau lakukan,Chann?"
Suara pintu yang terbuka disusul sebuah pertanyaan dari arah belakang, sontak membuat lamunan Chann mengenai impiannya yang telah musnah, buyar. Chann yang mengenakan kemeja biru dipadu dengan sweater rajut berwarna senada menoleh dan menemukan sosok cantik bernama Marion, melangkah memasuki ruang kerjanya yang kemudian meletakkan kantung kertas yang ia bawa ke meja kopi yang terdapat di ruangan.
"Kudengar dari sekretarismu sore nanti kau ada rapat. Apa kau tak bisa menjadwalkannya kembali? Sore ini bukankah aku sudah memintamu meluangkan waktu untukku?" rajuk Marion yang sudah duduk di sofa sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Sejak kapan aku menjanjikan kalau sore ini aku akan menemanimu? Seingatku bukankah kau yang memaksa dan belum kuberi jawaban," sahut Chann dengan nada dingin. Tungkainya kembali mengarah ke meja kerja.
Marion berdecak seraya memutar bola matanya. Sikap Chann dua kali menjadi lebih dingin sejak kematian Ayahnya dua tahun lalu. Tapi, Marion tak mempedulikannya. Perempuan Hampston itu lebih berfokus pada rencana masa depan yang sedang ia rangkai. Iris hijau Marion kembali bergulir memperhatikan Chann yang sudah kembali berkutat dengan macbook-nya.
"Jangan bilang kalau kau lupa,Chann. Sore ini, Westham mengadakan acara pertunangannya. Bukankah ibumu sudah mengingatkan berkali – kali agar kau tak melewatkan acara ini?"
Chann yang sedang memeriksa laporan akhir tahun, kontan berhenti selama beberapa detik. Sejujurnya,Chann memang lupa akan acara tak penting tersebut. Sejak awal menyandang gelar sebagai Adipati Southern yang baru, Chann tak pernah tertarik untuk bergabung atau beramahtamah dengan keluarga bangsawan lain. Lelaki itu lebih sibuk memikirkan dan mempelajari cara menjalankan perusahaan keluarganya.
"Apakah itu penting? Sepertinya kali ini aku tak akan menghadirinya. Sekretarisku bisa menyampaikan hadiah dan permohonan maafku karena tak bisa mengucapkan selamat secara langsung," balas Chann dengan nada acuh.
"Ck! Tapi ini berpengaruh terhadap reputasimu di masa depan,Chann. Tidakkah kau tahu jika menghadiri acara seperti ini bisa membuatmu mendapatkan relasi baru di kalangan bangsawan? Kau perlu bergabung dalam acara – acara seperti ini," bujuk Marion.
Chann menghela nafas kasar dan mendelik gusar ke arah Marion. Sungguh, lelaki itu tak tahan lagi dengan Marion. Sejak kematian ayahnya, ibunya semakin gencar membuat dirinya dan Marion semakin akrab. Terlebih, sesuatu yang sangat mengganggu Chann akhir – akhir ini adalah ibunya mulai memanggil dan memperkenalkan Marion pada relasinya sebagai tunangan dari Chann Ardolph. hal itu tentu membuat lelaki bertubuh tinggi itu semakin muak pada sosok Marion, yang seolah membenarkan anggapan publik terhadap hubungan mereka.
"Lalu apa? Aku tak peduli bagaiman reputasiku di masa depan nanti seperti apa. Saat ini fokus perhatianku hanyalah bagaimana mengurus perusahaan dengan benar."
Marion menatap tajam Chann. Sungguh, perempuan itu ingin sekali memaki Chann yang sama sekali tak peka dengan keinginannya. Beberapa hari lalu, ibu Chann telah memberikannya cincin pertunangan Ardolph padanya. Lewat kehadirannya pada pesta pertunangan Westham, Marion secara tak langsung ingin mengumumkan bahwa ia dan Chann telah resmi bertunangan.
"Apa kau sungguh tak mau menghadiri acara sore nanti,Chann?"
Chann kembali menghentikan kegiatannya dan memusatkan perhatiannya pada sosok Marion. Sebuah seringai terpatri jelas di roman tampannya. "Jangan pikir aku tak mengetahui alasanmu yang sebenarnya,Marion. Kau berusaha keras mengajakku pergi ke sana karena ingin memamerkan cincin pertunangan Ardolph yang telah kau miliki, bukan?"
Sesaat,Marion dapat merasakan atmosfir di sekitarnya menjadi menegangkan tepat setelah Chann mengatakan alasan Marion yang sebenarnya. Meski Marion akui jika ia tak menyangka kalau Chann sudah mengetahuinya, tapi Marion dengan cepat menetralkan emosi yang perlahan merayap ke permukaan hati.
"Jika itu alasan yang sebenarnya, apa yang akan kau lakukan? Apa kau berniat menutupinya padahal seluruh Inggris Raya telah mengetahui kabar ini," tantang Marion.
Rahang Chann berubah kaku mendengar tantangan Marion. Demi apapun, ingin rasanya Chann melempar sesuatu pada wajah Marion. Perempuan bangsawan di depannya ini sangatlah mengerikan di balik topeng anggun dan cantik yang dimilikinya. "Jangan coba – coba menguji kesabaranku,Marion."
Marion tersenyum dan mengibaskan rambut blond yang menutupi bahunya. Manik hijaunya terlihat memancarkan sorot kemenangan. "Aku tak sedang menguji kesabaranmu, Chann. Hanya saja, kau tahu bukan jika saat ini Belle tengah mengikuti audisi London Royal Orchestra? Aku tak ingin ia kembali terpuruk setelah kekalahannya di ajang Internasional enam tahun lalu."
"Jangan main – main dengannya, Marion. Aku bersumpah tak akan pernah memaafkanmu jika kau bermain – main dengan impian Belle," desis Chann dengan sorot mata tak main – main.
Marion tertawa melihat Chann yang berubah menjadi defensif setelah ia menyebut Belle dan impiannya. Marion sungguh memegang kartu AS milik Chann dengan baik. "Tentu saja aku tak akan mengacaukan impian adikku tersayang,Chann. Tapi, sepertinya kau lupa dengan perjanjian yang kita buat bertahun silam. Aku sudah melindungi Belle sampai saat ini dari campur tangan ibuku yang ingin menghancurkannya."
Chann menggertakkan giginya. "Katakan apa yang kau mau?"
"Datang ke pesta pertunangan Westham dan umumkan aku sebagai tunanganmu secara resmi di sana," jelas Marion dengan senyum penuh kemenangan.
~**~
Belle sedang membersihkan tumpukan salju yang menutupi pekarangan rumah sederhananya di tepi kota London. Udara dingin yang menerpa wajahnya tak membuat perempuan itu menyerah dan memilih menghangatkan diri di dalam rumah. Sebaliknya, Belle malah begitu bersemangat menghabiskan waktu di luar rumah sekalipun suhu udara London mencapai minus dua.
"Belle, kalau kau sudah selesai, segeralah masuk. Ibu tak mau kau terkena flu!"
Belle tersenyum dan menoleh ke arah pintu rumah. Iris cokelatnya menemukan sosok ibunya, Anne, tengah memperhatikan dirinya dengan tatapan khawatir.
"Tenang saja,Bu. Aku akan menyelesaikannya dengan cepat sebelum aku terkena flu. Ibu tunggu saja di dalam," sahut Belle dengan tangan yang masih sibuk memegangi peralatan membersihkan salju.
Anne mengangguk singkat yang kemudian berbalik masuk ke dalam rumah. sungguh, udara dingin membuat wanita itu mudah sekali merasa sakit. Anne kemudian membiarkan anak perempuannya melakukan pekerjaan di luar rumah.
Belle kembali memusatkan perhatiannya pada tumpukan salju yang tampak mengubur jalan setapak menuju gerbang masuk pintunya. Gerakan Belle yang tengah menyingkirkan salju terhenti, ketika iris cokelatnya mendapati seseorang tengah berdiri tepat di depan gerbang masuk rumahnya. Belle terdiam di tempat ketika mengenali sosok yang tengah berdiri beberapa meter sambil memperhatikannya.
"Kau akan membiarkanku terkubur salju di depan gerbangmu,Belle?"
Stevan Denzel menatap datar Belle yang terlihat cukup terkejut menyadari kehadirannya. Stevan dan Belle memang saling mengenal, mereka pernah bertemu di beberapa kesempatan. Belle mengenali Stevan sebagai sahabat Chann.
"Stevan, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Belle yang segera berlari ke arah lelaki berkulit pucat dan membukakan pintu gerbang rumahnya.
Stevan hanya mendengus dan menyodorkan sebuah amplop berwarna cokelat ke arah Belle. "Miss Alberthiene membutuhkan seorang violinis terbaik untuk tampil solo. Dan seperti biasa Chann merekomendasikanmu. Chann tahu kalau kau butuh mengikuti beberapa even agar bisa lolos mengikuti audisi London Royal Orchestra, bukan?"
Belle tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Perempuan itu memekik kecil dan meloncat kegirangan saat mengambil amplop undangan yang disodorkan Stevan padanya. Karena terlalu antusias, Belle segera membuka amplop tersebut dan membaca undangan.
Alis Belle kontan naik menyadari waktu acara yang diselenggarakan dalam undangan. Perempuan itu mengangkat wajahnya dan menatap Stevan dengan pandangan menuntut penjelasan. "Sore ini? Apa kau gila? Kenapa sangat mendadak?!"
Stevan yang pada dasarnya memang pribadi yang dingin, hanya bisa mengangkat bahu dengan santai. "Well, kau tak bisa menyalahkanku tentang waktu yang tertera dalam undangannya,Belle. Miss Al membutuhkan violinis terbaik yang dapat menggantikan pertunjukan hari ini. tapi, jika kau keberatan, aku sudah memiliki—"
"Tidak! Aku akan melakukannya. Bisakah kau menungguku sebentar,Stev? Aku akan masuk ke dalam dan mengambil biolaku."
Sebelum Stevan membalas, Belle sudah menghambur berlari ke dalam rumah. Belle memang sedang merasa gundah karena persyaratannya mengikuti seleksi terakhir London Royal Orchestra, harus tertunda. Semua ini disebabkan kurangnya jam terbang Belle dalam hal pertunjukan. Salahkah pada Belle yang hendak mengubur mimpinya ketika dinyatakan gagal saat mengikuti kompetisi internasional di Prancis enam tahun lalu.
Kali ini, Belle akan melakukan apapun agar obor impiannya tak pernah padam. Sekalipun ia harus terjatuh dan terluka, Belle tak ingin melepaskan kesempatan kedua yang ia miliki saat ini.
~**~
Chann tersenyum canggung dan mengangguk singkat pada beberapa orang yang hadir dalam acara pertunangan Westham sore ini. Chann merasa terasing dan tak pernah terbiasa dengan lingkungan yang sedang ia masuki saat ini. Semua tampak jelas berbeda dengan Marion, yang sejak kedatangan mereka ke pesta ini, tak sedikitpun membiarkan Chann beranjak dari sebelahnya. Sedikit posesif, salah satu lengan Marion melingkar anggun di lengan Chann.
Senyum seolah tak pernah pudar dari wajah Marion kala iris hijaunya mendapati beberapa orang begitu kentara melirik dan memperhatikan cincin bertahtakan safir yang melingkar di salah satu jari manisnya. Cincin safir biru yang seolah meneriakkan bahwa dirinya adalah tunangan dari pewaris Ardolph, lelaki luar biasa tampan dan gagah yang berdiri di sebelah Marion.
"Sampai kapan kita akan menyapa para tamu seperti ini,Marion? Tidakkah kau ingat jika kita kemari sebagai tamu undangan, bukan tuan rumah?" desis Chann yang berusaha mempertahankan senyum simpul di romannya.
"Oh tunggu sampai kita selesai menyapa semua tamu disini,Chann. Tidakkah kau tahu itu tata krama yang harus kita lakukan setiap kali menghadiri acara?" balas Marion penuh sindiran.
"Aku tak pernah memperhatikan sebelumnya," sahut Chann tak peduli.
"Maka sejak sekarang kau harus memperhatikannya. Lagipula, kau tak lupa tujuan utama kita kemari, bukan?" Marion menolehkan sedikit wajahnya ke arah Chann. Manik hijaunya menyiratkan ancaman nyata pada Chann.
Chann menghela nafas panjang dan mengangguk. "Ya~kau tak perlu terus mengingatkanku akan hal itu,Marion. Tepatnya kapan aku harus mengatakan kebohongan itu?"
Marion mendelik tajam. Sungguh, Chann begitu menyebalkan jika sudah bersikap sepeerti sekarang. Meski Chann berusaha mengulur waktu, Marion tak akan pernah membiarkan lelaki itu pergi dari pesta ini tanpa sempat mengumumkan pertunangan mereka. lagipula, Marion telah yakin dengan kejutan kecil yang sudah ia persiapkan untuk Chann.
"Tunggu sampai waktunya tepat,Chann. Aku akan memberitahumu jika semua sudah waktunya."
~**~
Setengah jam telah bergulir dan Chann sudah hampir tersedak karena bosan dengan setiap rangkaian acara. Jika Chann punya kesempatan melarikan diri dari acara sore ini, tentu ia sudah melakukannya. Sayang, perempuan bak dewi tetapi sebenarnya adalah jelmaan medusa di sebelahnya, tak akan membiarkan hal itu terjadi.
Terlebih, ketika manik hijau Marion memberikan tanda agar Chann mengumumkan pertunangan paksa mereka. Chann ingin sekali membunuh dirinya sendiri saat Marion mengetukkan gelasnya dan meminta perhatian para tamu undangan tepat sebelum pertunjukkan khusus musik hari ini digelar.
"Ladies and Gentleman, bisakah saya dan Adipati Southern mendapatkan perhatian Anda sekalian?"
Secara serentak, para tamu undangan termasuk pasangan Westham yang baru saja mengumumkan pertunangan mereka memperhatikan pasangan yang sejak awal kedatangan telah menimbulkan banyak pertanyaan.
Chann merasakan kegugupan merayapi hatinya. Lelaki itu dapat dengan jelas merasakan keringat dingin mulai membasahi punggung dan seluruh tubuhnya. disusul dengan jantungnya yang berdegup kencang, dan hatinya yang memprotes apa yang akan dilakukannya. Lelaki itu menoleh dan mendapati ancaman nyata Marion tentang Belle di manik hijaunya. Chann tak bisa melangkah mundur.
Lelaki berambut sehitam kayu ebony itu berdeham untuk mengusir ketakutan dan kegugupan yang merayap di permukaan hati. Chann tahu, ia tak punya alasan lain dan ia tak berniat membuat ibunya kecewa. Semua itu terucap begitu saja dari bibirnya.
"Saya membawa berita bahwa Lady Marion Hampston adalah tunangan saya, Chann William Loey Ardolph, Duke of Southern. Kami telah bertunangan dan mengundang hadirin sekalian pada pesta pertunangan yang akan diselenggarakan pada minggu ketiga musim dingin nanti."
Tepuk tangan riuh disertai ucapan selamat langsung membanjiri kala Chann selesai memberikan pengumuman resmi. Tak hanya berhenti sampai disitu, iris biru keabuan Chann, kemudian tertuju sepenuhnya pada sosok yang melangkah menaiki panggung. Chann tahu, pertunjukan musik spesial pada acara ini akan segera dilaksanakan. Tapi, pupil mata Chann membesar saat mengenali sosok pemusik yang akan mempertunjukkan bakatnya.
Dalam balutan gaun berwarna putih dan wajah yang ditutupi sebelah topeng, Christabel Edlyn berdiri di atas panggung dan memamerkan senyum. Sekalipun dalam hati, perempuan itu tengah merasakan hatinya remuk redam. Belle berusaha keras mengatur emosi yang tengah bergejolak setelah mendengar sesuatu yang tak pernah terpikirkan akan ia dengar.
Dengan mantap, Belle mengangkat wajahnya dan menatap lurus pada sosok yang selalu bisa ia temukan dengan mudah sekalipun ditengah keriuhan tamu undangan seperti sekarang. Seseorang yang sejak lama mengisi relung terdalam hatinya dalam diam, Chann Ardolph.
"Untuk pasangan berbahagia keluarga Westham dan pasangan baru yang sebentar lagi akan menyusul, Lady Marion Hampston dan Duke of Southern, izinkan saya mengucapkan selamat atas pertunangan Anda semua," ucap Belle tulus dengan senyum di romannya.
~**~