"Apa yang kau lakukan? Sejak kapan kau di sini?" tanya Eunwoo.
Avan tersenyum kecil dan melangkah lebih dekat.
"Apa yang kalian bicarakan, Kenapa lama sekali? ayo, pulang!" ajak Avan. Eunwoo mengangguk, saat hendak melangkah, pandangan Avan beralih menatap Aileen yang berbalik membelakinginya.
"Tunggu, baju itu? Apa dia gadis yang tadi di aula? Benarkan, aku baru menyadarinya." Avan mencoba menatap Aileen lebih dekat.
"Ayo! Bukankah kau mengajakku pulang?" celah Eunwoo berusaha mengalihkan perhatian Avan dan menghalanginya. Eunwoo khawatir jika Avan akan berbuat sesuatu yang membuat Aileen tidak nyaman setelah kejadian sebelumnya saat di aula.
Avan tak lagi memperdulikan Eunwoo. Terus melangkah mendekati Aileen,
"Hei! Berbaliklah. Aku ingin melihat wajah pemberanimu itu sebentar saja," Avan menjulurkan tangannya, hendak menyentuh Aileen.
"(Tidak! Aku tidak ingin dilihat olehmu, menyebalkan!)" Aileen terus berbalik, menyembunyikan wajahnya. Ia tidak ingin Avan melihatnya, mengingat kejadian di aula sebelumnya. Entah apa yang akan terjadi padanya jika Avan menandai wajahnya sebagai pembangkang.
Eunwoo segera menepis tangan Avan sebelum Avan sempat menyentuh Aileen.
"Hentikan, apa yang kau lakukan?" sanggah Eunwoo cepat.
Avan mengulang perkataan Eunwoo dan menatapnya, "Apa yang kulakukan? Memangnya ada apa dengan yang aku lakukan? Aku hanya ingin melihat wajahnya,"
"Tunggu, apa kau masih mengkhawatirkan kejadian di aula? Tenang saja, aku juga sebelumnya menyuruh orang suruhanku untuk menghabisi vampir yang mati itu," Avan menyeringai.
Eunwoo terkejut bersama Aileen. Ternyata Avan tidak membunuhnya sendiri.
"Jadi kau menyuruh orang lain melakukannya?" tanya Eunwoo kesal dan menatap Avan tajam. Bagaimana bisa Avan menyuruh Eunwoo melakukan sendiri untuk membunuh, sementara dia menyuruh orang lain.
"Sudahlah. Jika kau mau protes sudah terlambat. Lagipula, dia sudah mewakilkanmu tanpa perintah dariku," Avan melirik Aileen.
Aileen mengernyit, "(Apa dia baru saja menyindirku? Nyamuk menyebalkan!)"
Eunwoo masih menatap Avan kesal, "(Apa kau tahu, hidupku hampir saja berakhir gara-gara perintah konyolmu itu!)"
"Minggir, jangan menghalangiku melihatnya, aku penasaran melihat wajah pemberani itu." Avan kembali mendekati Aileen.
"Hentikan. Ayo, pulang!" Eunwoo menggenggam tangan Avan dan menarik berjalan mengikutinya.
Setelah benar-benar tak terlihat. Aileen melirik, memastikan Avan telah pergi. "Hah, akhirnya." Aileen menghela napas dan menyenderkan punggungnya di tembok.
Saat tiba di parkiran, Eunwoo lekas melepas genggamannya. Avan menatap Eunwoo sebentar dan beralih mengeluarkan kunci mobilnya. "Masuklah," kata Avan setelah menekan kunci mobil nya.
Eunwoo mengangguk dan berjalan ke pintu mobil. Saat hendak membuka, ternyata masih terkunci. Avan dari balik mobil tertawa kecil lalu kembali membuka kunci mobil nya. "(Beraninya kau menarikku dan memaksaku,)"
"Sia*."
***
Eunwoo lekas membuka pintu mobil saat tiba di halaman rumah nya. Avan melirik sebentar dan beralih.
"Jangan lupa besok aku akan menjemputmu lagi. Ahh ya, aku sudah membagikan tugas. Besok akan kuberi tahu."
Eunwoo mengangguk dan keluar dari mobil.
"Tunggu," Avan mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil. Eunwoo berbalik menunggu Avan.
"(Tenang saja. Aku akan memperlakukanmu dengan baik, karena aku tahu kau yang bisa membantu membalaskan dendamku.)" Avan menatap sebentar, lalu tersenyum kecil. "Hati-hati," kata Avan. Tanpa sepatah kata lagi, Avan lekas melajukan mobil nya meninggalkan halaman.
Eunwoo menatap bingung "Aneh?" kemudian kembali berjalan memasuki rumahnya. Membuka pintu rumah dan melewatinya. Seketika langkahnya terhenti. Tubuhnya gemetaran seiring rasa khawatir yang ia rasakan. Di sana Jovita tengah duduk memandang khawatir pada Eunwoo yang baru melangkah masuk.
Eunwoo masih berdiri dekat pintu. Ia berusaha menenangkan dirinya agar tidak terlihat mencurigakan. Kemudian mulai berjalan mendekat dan tersenyum kaku.
"Halo! Lama tidak bertemu," sapa Eunwoo, menundukkan kepalanya sebentar.
Pria paruh baya itu mengangguk, "Duduklah, aku ingin memastikan sesuatu."
Eunwoo membalas mengangguk dan duduk di sebelah Jovita. Jovita mengelus punggung Eunwoo, berharap menenangkannya.
Pria paruh baya itu memandang Eunwoo dingin, lalu beralih menatap Jovita dan tersenyum kecil. Jovita tersenyum menatap pria paruh baya itu, yang tak lain adalah ayah kandungnya-Rezvan.
Rezvan adalah ayah Jovita yang menentang saat Jovita mengangkat Eunwoo sebagai anak, namun Jovita tidak mau mendengarkan larangan Rezvan dan bersikeras mengasuh Eunwoo hingga Rezvan menyetujui hak asuh Eunwoo. Namun dengan syarat, Eunwoo haruslah seorang vampir. Sungguh sulit.
Jovita tahu jika Rezvan sangat membenci manusia karena masa lalu ketika keluarganya mati terbunuh oleh kaum manusia. Namun Jovita tidak perduli dan tetap ingin mengasuh Eunwoo, sehingga mau tidak mau, Jovita harus merahasiakan identitas Eunwoo dari Rezvan dan mengatakan bahwa Eunwoo adalah kaum vampir.
Sampai saat ini, untuk memastikan Eunwoo benar-benar vampir, Rezvan terus datang ke rumah Jovita untuk memastikan. Rezvan jugalah yang menyuruh Eunwoo bersekolah di Moon Light.
"Bagaimana sekolahmu?" tanya Rezvan.
"Seperti biasa. Aku mendapatkan teman dan belajar."
"Baguslah. Kau sudah membuktikan bahwa kau benar-banar seorang vampir dengan bersekolah di sana,"
Eunwoo menghela napas lega dan tersenyum kecil. Tidak percuma ia menurut untuk di sekolahkan di SMA Moon Light selama ia tidak di pisahkan dari Jovita. Meskipun sulit bersekolah di sekitar vampir, selama ia tidak ketahuan, ia merasa bersyukur.
Rezvan berdiri, "Baiklah. Kalau begitu aku akan pulang. Jagalah Jovita dengan baik, sampai nanti."
"... Dan aku mungkin akan sering berkunjung untuk terus memastikan,"
Jovita ikut berdiri, "Ta-tapi, bukankah kau sudah mendapatkan jawabanmu, ayah? Untuk apa sering-sering berkunjung lagi. Buksnkah Eunwoo sudah membuktikan dirinya sebagai kaum vampir?"
"Tentu saja. Namun itu masih belum cukup. Aku harus memastikan Eunwoo tidak membuat masalah di sana."
****
"Akh, hidupku penuh dengan nyamuk mengerikan!" Aileen mengacak rambutnya setelah mengingat Avan. Bukan hanya itu, ia bahkan masih memikirkan saat-saat ia menghisap darah vampir.
"Aku pulang," Aileen berjalan masuk rumah dan melangkah menuju kamarnya.
Resen yang tengah menonton TV cepat berbalik. Yang tadinya tersenyum karena kedatangan Aileen tiba-tiba ia terkejut melihat rambut Aileen yang acak-acakan di tambah dengan wajah kusutnya. Resen lekas menghampiri Aileen dan menghentikannya.
"Apa yang terjadi? Kenapa rambutmu seperti singa?"
Aileen menghela napas dan memegang rambutnya, "Ah, ini? Di luar anginnya sangat kencang, jadi seperti ini."
"Benarkah?" Resen melirik keluar untuk memastikan.
"Sudahlah. Jangan menggangguku, aku ingin istirahat. Dan jangan coba-coba membaca pikiranku, atau aku akan membunuhmu." Aileen kembali berjalan menuju kamar nya.
Memang Resen memiliki kamampuan membaca pikiran, namun terbatas. Jika ia ingin membaca pikiran seseorang, ia harus berada dekat dengan orang tersebut minimal 2 meter dan yang terbaca hanya apa yang orang itu pikirkan saat ini.
"Tunggu. Beritahu aku, bagaimana hari ini saat bertemu pria itu? Apakah menyenangkan?" Resen berjalan dari belakang mengikuti Aileen.
"Pergilah. Aku sedang malas memberitahumu. Tinggalkan aku sendiri,"
"Astaga! Kau menghisap darah vampir? Yang benar saja. Apa kau benar-banar melakukannya?" Resen berhenti setelah mendengar isi pikiran Aileen.
"Resen!" Aileen berbalik seiring berteriak kesal dan memukul Resen keras. "Sudah aku bilang jangan membaca pikiranku!"
"Akh, ba-baiklah." Resen menghentikan pukulan Aileen. "Aku tidak akan melakukannya lagi, ya ampun."
Aileen menarik tangannya. Kemudian berjalan masuk dan menutup pintu kamar nya dengan keras.
"Hhh! Menyebalkan!" Aileen menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Kemudian memejamkan mata dan menghela napas.
"Kenapa begitu sulit ketika bersamamu? Aku hanya ingin membalas kebaikanmu setalah 9 tahun."