Chapter 4 - Dua

Setelah para tetangga diberi kabar. Semua menjenguk mama yang sudah dalam keadaan terbujur kaku di rumah sakit. Teman-teman mama yang sangat menyayangi mama pun ikut bersedih dan tak menyangka jika mama akan pergi secepat itu. Mama adalah sosok yang luwes, easy going, ramah dengan semua orang, perhatian, ceplas-ceplosnya yang mengasyikkan, membuat semua orang senang bergaul dengannya. Walaupun hanya pertemuan mereka di warungku saja, dengan keramahan mama, banyak orang yang berbelanja ke warungku. Tak mengenal suku atau agama, tak mengenal tua atau muda, mama adalah seorang yang pandai bergaul di masyarakat.

Keramahannya pada semua orang itulah yang membuat rumahku penuh sesak oleh pembesuk. Mulai dari pukul empat sore saat mama menghembuskan napas terakhirnya, hingga esok hari saat pemakaman diselenggarakan. Saudara mama dan saudara papa pun hadir. Mereka adalah nenekku-orang tua mama-, dan om Yur-adik papa-yang datang bersama dari Padang.

***

Saat jenazah mama dimandikan, aku tak ikut serta. Jangankan memandikan, aku benar-benar tidak ikut campur dalam penyelenggaraan jenazahnya. Aku yang sejak sore tiba lebih dulu di rumah, saat ambulance dalam perjalanan membawa mama ke rumah, malah tak tahu harus melakukan apa di rumah itu. Karena semua tetangga sudah cukup ramai membantu kami dalam mempersiapkan penyelenggaraan jenazah mama.

Aku tak lagi ada di rumah saat itu. Melainkan berada di rumah tanteku yang masih memiliki hubungan sepupu dengan papa. Rumahnya tak begitu jauh dari rumahku. Aku pun istirahat hingga esok pagi, saat semua orang menanyakan keberadaanku yang seolah tak peduli dengan apa yang sedang terjadi.

***

Saat pagi tiba di rumah. Aku disambut oleh nenekku dengan pelukan dan air mata. Aku tidak menangis. Aku berdiri melihat mama dari luar pintu. Mama sudah rapi dengan pakaian putihnya. Semua makanan telah tersedia untuk keluarga yang sengaja dibuatkan oleh para tetangga. Ada nasi, mie goreng, lauk pauk, dan minuman berwarna. Yang jika saja aku tak berada dalam keadaan hancur, linglung seperti orang yang tak tahu arah saat itu, aku pasti sudah melahapnya. Namun, aku tak berselera untuk makan. Bahkan tidur nyenyaknya mama di tengah rumah saat itu membuat perasaanku amat tidak enak. Yang lagi-lagi berefek pada asam lambungku yang membuatku tak bernafsu untuk makan. Aku hanya duduk di tepi pagar sambil melihat mama yang tertidur pulas dari luar.

***

Seketika aku terdiam dan mencerna semua yang terjadi. Semua orang yang berkumpul di rumahku begitu ramai. Tamu bergantian hadir silih berganti tanpa sepi. Setiap mata selalu melihatku dengan tatapan iba. Aku paham apa yang sedang terjadi. Aku tahu bahwa sebentar lagi mama akan dikebumikan. Tetapi, yang aku tak paham, mengapa hal ini terjadi padaku? Aku tak peduli mereka sibuk untuk mama. Aku tak peduli mama akan dikebumikan atau tidak. Aku juga tidak peduli mereka mengucapkan pesan kepadaku untuk bersabar dan ikhlas atas kepergian mama atau tidak! Aku benar-benar tidak peduli...!!!

"Mama masih hidup, mama belum meninggal, mama masih hidup...!!! Kenapa semuanya bersedih untuk mama?? Kenapa semuanya hadir saat mama sedang tidur?? Kenapa?!! Mamaku masih hidup...!!!" Aku meronta dalam hati. Aku menjerit. Aku tidak terima semua perlakuan mereka terhadap mama. Namun, apalah dayaku. Aku hanya bisa mengatakan hal itu dalam diamku. Karena ini adalah kenyataan. Inilah kehidupan yang sebenarnya.

***

Setelah semua selesai. Mama telah berada di dalam tanah dengan taburan bunga dan nisan di atasnya. Sama seperti nisan-nisan yang menjadi tetangga mama nantinya. Aku dituntun untuk mendoakan mama oleh tetangga terdekatku,

"Ikuti ibu ya, Nad. Allahummaghfirlahu... "

Aku mengangguk "Allahummaghfirlahu... "

"Warhamhu... "

"Warhamhu..."

"Wa'aafihi..."

"Wa'aafihi... "

"Wa'fu'anhu..."

"Wa'fu'anhu..."

Aku tak mengeluarkan air mata setitik pun, hingga tanah merah yang kuinjak mengotori kakiku. Mungkin ini aneh. Tetapi, aku mengingat pesan papa untuk tidak menangisi kepergian orang yang telah meninggal. Kata papa, nabi Muhammad tak mengindahkan perlakuan menangisi jenazah. Aku menuruti nasihat papa tentang apa pun yang berkaitan dengan sunnah yang menjadi kepercayaanku.

***

Saatnya kembali ke sekolah. Banyak temanku yang turut berbelasungkawa atas meninggalnya mama. Namun, aku tak memperdulikannya. Yang aku berikan hanya senyuman dan ucapan terimakasih atas simpati mereka terhadapku. Aku memulai pelajaran dan menyelesaikannya seperti biasa. Tidak ada yang berubah dan tidak ada yang menghalangiku untuk berkonsentrasi dalam belajar. Sebelumnya guru-guru beserta perwakilan teman sekolahku juga sudah ada yang datang ke rumah. Mereka memberikan sumbangan kepada kami sebagai santunan sosial.

***

Sejak saat itu, aku sering melamun. Aku berpikir, aku tak tahu akan seperti apa masa depan jika tanpa mama. Selama ini, semua kegiatan sekolahku selalu dibantu oleh mama. Kegiatan prakarya khususnya. Aku ingat sekali di kala malam, mama berusaha membantuku mencarikan kain perca ke tetangga yang berprofesi sebagai tukang jahit rumahan, dalam rangka membuat prakarya. Tak lupa juga setiap ada tugas membuat anyaman dari kertas karton dan aku lupa menyelesaikannya, mama membantuku sebelum berangkat sekolah sambil memarahiku karena aku yang melalaikan tugas sekolah. Karena sekolah dasarku juga berada di depan rumah, mungkin jarak yang begitu dekatlah yang menjadi alasanku malas mengerjakan prakarya yang bagiku amat membosankan itu. Namun, kini semua kegiatan sekolah harus aku lakukan sendiri dan dengan usahaku sendiri. Karena papa memang tak pernah peduli dengan kegiatan sekolahku. Yang aku ketahui, papa hanya selalu menyuruhku belajar dan belajar. Ketika nilai-nilai raportku standar-standar saja, pasti ia membandingkannya dengan nilai temanku yang notabene lebih pintar dariku. Sungguh menyebalkan.

***