Chapter 6 - Empat

Selamat datang di bandara Soekarno-Hatta. Keadaan ini tak pernah kualami sebelumnya. Teramat sakit. Lebih sakit dari kecelakaan yang mematahkan tulang sekalipun. Saat tiba di rumah, perlahan ku buka pintu coklat yang sudah seminggu lamanya kutinggalkan. Pintu itu terbuka. Kemudian kucoba melangkahkan kakiku perlahan. Sepi. Asing. Seolah aku merasakan kekosongan yang entah bagaimana rasanya.

***

Selesai beres-beres, kami pun makan malam bersama. Makan malam kami sederhana. Karena kami pun sudah cukup lelah seusai menikmati perjalanan seharian dari Minang ke Tangerang. Semua kami lakukan bersama. Aku, Baliana-adikku-, dan papa pun ikut membantu mempersiapkan makan malam kami.

Seusai makan malam, aku membereskan dan segera mencuci piring-piring kotor. Mencuci piring adalah hal langka yang pernah aku lakukan. Ketika sedang melakukannya, yang kembali terngiang adalah mama yang telah tidak lagi ada di tengah-tengah kami. Yang membuat hati ini teriris adalah mengapa dulu aku tak pernah sekali pun membantu mama mencuci piring? Mengapa semuanya harus berawal dari penyesalan, baru kita memahami pentingnya menghargai sesuatu? Terlambat!

Air mata yang selama ini aku tahan di dalam hati, kini semua keluar bersama penyesalan yang tak ada henti-hentinya. Aku menangis tanpa bersuara karena takut papa yang sedang menonton televisi, mengetahuinya. Tangisan yang amat aneh. Terisak tanpa henti. Setiap teringat penyesalan yang aku lontarkan pada diriku sendiri, setiap itu pula tangisanku menjadi amat deras layaknya air terjun yang tak memiliki pengahalang untuk jatuh.

Selesai mencuci piring, aku kembali ke kamar dan berusaha berpaling dari semua orang di rumah. Aku berusaha menutupi mataku yang mungkin sudah amat merah dan bengkak. Itu adalah kegiatan pertamaku yang membuatku terus-menerus menyesali semua yang tak seharusnya terjadi, jika saja dulu aku selalu membantu mama dalam segala hal di rumah ini. Tragis. Segala penyesalan tak akan mengembalikan keadaan sampai kapan pun.

***

Aku teringat dan membenarkan perkataan mama. Ketika ia sedang memarahiku karena aku tak pernah menuruti perintahnya untuk sekedar mencuci baju atau membantunya dalam pekerjaan rumah lainnya. Ia mengatakan hal-hal yang akan terjadi jika ia telah tiada di dunia ini.

"Liat aja nanti kalo gua mati, papa lu bakal nikah lagi. Rasain lu nanti punya ibu tiri. Melawan lu ke gua sekarang, ha!" sambil melotot dan menakutiku karena ia kesal, aku tidak menuruti perintahnya.

Aku dan mama sangat dekat, layaknya sahabat karib. Hingga bahasa gaul "lu gua" berlaku dan tak masalah bagi kami. Di kala kami sedang bersenda gurau pun, mama suka curhat denganku. Ia mengeluhkan perilaku papa yang kadang tidak ia sukai, yaitu keluar malam dan pulang pagi hanya untuk berkumpul bersama teman-temannya yang juga orang Minang di blok sebelah. Ketika pagi tiba, ia malah tidur hingga siang hari.

Hal itulah yang menjadi alasan mama untuk memberikan nasihat kepadaku, agar kelak aku menikah dengan orang bersuku Jawa. Karena ia merasa orang bersuku Jawa itu baik, penyayang terhadap keluarga, serta santun dalam bersikap. Ia beranggapan seperti itu karena lingkungan sekitarnya dipenuhi dengan orang-orang Jawa. Itulah yang menjadi amanat mama yang ketiga. Ia ingin aku mencari dan menikah dengan laki-laki asal Jawa. Yang sebenarnya, amanat itu belum jelas apakah akan terjadi padaku atau tidak?

Amanat yang pertama dan kedua sudah terjadi dan aku merasakan kebenarannya hingga saat ini. Jika mama telah meninggal, maka papa akan menikah lagi. Itu menjadi kebenaran yang pertama.

Lalu jika mama meninggal, aku akan mempunyai ibu tiri. Dimana menurut pengetahuanku yang pasti seorang ibu tiri tidak akan menyayangi anak tirinya dengan tulus. Itu menjadi kebenaran yang kedua.

Sedangkan amanat yang ketiga. Aku tak tahu dan hanya akan mengetahuinya kelak. Jika memang Allah benar-benar menjadikan mama sebagai perantaraNya untuk berkata seperti itu terhadapku, anak kecil berusia 11 tahun, agar kelak aku menikah dengan pemuda Jawa.

Entah itu akan terjadi atau tidak. Yang pasti mama hanya ingin masa depanku bahagia dan tidak merasakan hal yang sama seperti yang ia rasakan saat itu.

Mama pun pernah berkata kepadaku agar kelak aku membelikan rumah untuknya dan ia tak mau aku mengganggu hari tuanya jika aku sudah memiliki anak kelak.

"Gua mau punya rumah sendiri. Makanya lu belajar yang rajin. Cari laki orang kaya. Beliin gua rumah!" Pintanya dengan protes.

"Kalo udah tua nanti, gua ga mau ngurus anak lu. Gua ga mau direpotin. Enak aja. Makanya beliin gua rumah nanti, gua mau seneng-seneng kalo udah tua." Lanjut candanya sambil tolak pinggang.

Aku yang masih berusia 11 tahun memang tak mengerti apakah itu sekedar bercanda atau serius. Aku tak peduli. Yang jelas,

"Aku akan mewujudkan permintaanmu, Ma." Jawabku dalam hati sambil tersenyum kecut menjawab semua permintaan anehnya saat itu.

***