Subuh hari, aku sudah tergegas bangun untuk membantu menyiapkan sarapan. Karena terburu-buru meminta kunci motor dan yang memilikinya pun masih tidur. Aku pun sampai tak menghiraukan saat sang senior menyapaku.
Aku yang telah terbiasa hidup di Jawa, mengacuhkan mereka yang sedang menyapa kita dalam keadaan terbu-buru adalah hal yang wajar-wajar saja. Namun, di Minang, jika tidak menghiraukan ucapan orang lain walaupun ia hanya menyapa, itu adalah suatu perilaku yang kurang sopan dan dianggap sombong. Hmm.. Syukurlah saat itu aku belum terlalu mengenalnya. Belum sehari, jadi menurutku hal itu tidak mengapa. Apalagi dia adalah laki-laki. Pasti tidak akan dimasukkan ke dalam hati. Pikirku dalam hati.
***
Hari kedua kegiatan KBM berjalan lancar. Panitia melaksanakan tugasnya dengan baik. Setelah itu, siangnya adalah puncak kegiatan kami, yaitu kerja bakti membersihkan wilayah sekitar tugu yang nampak tak terurus warga setempat karena rimbunan rerumputan menutupi tugu tersebut. Maka, mahasiswalah yang memangkasnya. Terakhir, kami mengecat tugu tersebut hingga terlihat apik dan fresh dipandang mata.
***
Siangnya, tepat setelah zuhur. Tidak disangka-sangka hujan turun dengan deras hingga mengakibatkan kami semua berkumpul di dalam tenda. Yang lain berkumpul dengan kelompoknya. Teman-temanku juga asik bercanda dengan para senior lainnya. Hujan makin heboh dengan tawa mereka. Sedangkan, aku hanya duduk ditumpukkan tali tambang dan peralatan lain yang sebagian sudah dibenahi.
Dingin. Aku lebih memilih untuk menonton mereka dengan menyendiri. Lagi-lagi tak pernah kuduga, kalau senior yang satu itu duduk di dekatku. Aku tak merasa risih. Dengan percakapan ringan dia memulai pembicaraan. Sehingga, aku pun terbawa lebih dalam untuk mengetahui pribadinya.
***
Hampir ashar, hujan belum juga berhenti. Tapi, tak lama kemudian hujan reda dan kami membereskan kembali tenda-tenda dan menunggu mobil untuk menjemput kami kembali ke kampus karena acara KBM telah usai.
Selagi menunggu mobil jemputan yang lama tak juga muncul. Akhirnya, kami bercanda tawa dengan rekan-rekan. Layaknya anak-anak, kami berkejar-kejaran, cibi-cibian layaknya cerybell, bahkan berfoto bersama.
Aku tak sengaja bertanya pada seniorku, karena melihatnya menggunakan motor.
"Abang pulang naik motor? Sama siapa?" Tanyaku polos.
"Sendirian. Kenapa?" Jawabnya sambil senyum.
Secara tak langsung, mungkin dia mengira aku bermaksud untuk nebeng. Namun, aku tidak bermaksud demikian karena sekedar iseng bertanya. Tapi, apa daya. Dia sudah beranggapan seperti itu dan aku pun diajak untuk pulang bersama dengannya.
***
Perjalanan pulang diisi dengan saling mengenal pribadi masing-masing. Membicarakan pengalaman, keluarga, hingga kebiasaan masing-masing. Ketika hampir sampai di rumahku, gerimis turun dan dia pun segera pamit pulang tanpa mampir ke rumah sebentar. Setelah beberapa saat tiba di rumah, pesan singkatnya pun muncul di Hp-ku. Senangnya hati ini mendapat kenalan senior yang baik hati, pikirku.
***
Lambat laun kami intens sms-an. Di kampus pun dia suka mengajakku untuk pulang bersama. Semakin intens, semakin dalam, dia pun menyatakan cintanya padaku tanpa kata-kata romantis sedikit pun. Seperti penjual dan pembeli, saling tawar menawar mengenai masalah perasaan. Aku pun tak langsung mengatakan iya. Aku menundanya dengan alasan baru saling mengenal. Tapi, hubungan kami sudah sangat dekat. Bahkan, orang-orang yang memandang kami, berpendapat bahwa kami sudah berpacaran. Padahal kami tidak pacaran. Kami hanya dekat seperti layaknya kakak dan adik. Memang salah? Pikirku.
Namun, hal itu menjadi gosip yang tak bisa terelakkan lagi. Karena aku pun sudah merasa nyaman bersamanya. Aku sering bersamanya di kampus hingga kemana pun kita selalu bersama. Aku pun berpikir tak ada salahnya membuka hati dan jalan dengannya. Akhirnya, kita meresmikannya pada 16 Mei 2012.
***
Segalanya menjadi indah. Hari-hariku selalu dihiasi pelangi hingga aku benar-benar merasakan cinta yang sesungguhnya. Inikah anugerah yang Tuhan berikan kepada hati manusia? Cinta tak memandang derajat, status, ataupun kasta seseorang. Cinta hadir ketika dua insan saling memahami kekurangan, kelebihan, dan percaya satu sama lain. Semua yang sedang jatuh cinta pasti merasa "dunia milik berdua, yang lain ngontrak". Begitulah yang aku rasakan. Hingga aku pun membuat sebuah puisi untuknya yang sengaja kupajang di mading kampus, saat salah satu dosen mata kuliah menugaskan kami membuat karya untuk dipajang di mading.
Surat Untuk Kekasih
Aku bukan seorang yang dermawan . .
Yang bisa memberi segala yang berharga dan berarti kepadamu . .
Aku hanya seorang wanita biasa yang teramat biasa dari sekian banyak ragam wanita nan memiliki modal keindahan pada dirinya . .
Seulas senyum tulus dari hati yang bisa kuberikan kepadamu . .
Yang teramat murni dari hati yang terdalam . .
Hanya untukmu . . Pangeran cintaku . .
***
Setiap hari kami selalu bertemu. Bila tidak di kampus, pasti dia main ke rumahku. Hingga orang-orang di kampungku merasa risih dengan kedatangannya yang setiap hari itu. Namun, kami tak pernah peduli dengan segala opini mereka yang menurut kami hanya iri dengan kebahagiaan kami.
Karena memang benar, kami hanya merasakan bahagianya cinta itu sebagai anugerahNya. Kami saling menyayangi, saling mengasihi, dan saling berjuang untuk berkorban dalam melakukan hal yang tak kami sukai sekalipun hanya demi kebahagiaan satu sama lain. Seperti saat percakapan siang itu.
"Bang, kita beli nasi rames, yuk! Abang mau pakai lauk apa?" Tanyaku selepas pulang kuliah sambil ngobrol berboncengan di motornya.
"Apa aja lah, tapi jangan pakai ikan ya?! Abang gak suka." Pintanya seraya tersenyum.
Aku yang terkejut, lantas protes seketika karena tidak percaya,
"Hah? Abang gak suka ikan? Ya, ampun! Masa sih? Ikan itu kan banyak proteinnya, bang. Bisa bikin otak kita pintar, loh!"
"Gak makan ikan pun, Abang juga udah pinter kok. Abang gak suka ikan karena ikan itu amis. Mau muntah rasanya kalo makan ikan tuh!" Dengan wajah tak mau kalahnya yang menyebalkan sambil cemberut seperti anak kecil.
Namun, di dalam hati, aku ingin suatu saat membujuknya agar mau makan ikan. Hingga aku pun protes kembali,
"Abang, pokoknya suatu saat, Abang harus mau makan ikan! Pelan-pelan dicoba bang. Dulu, Nanad gak suka banget sama kuning telor. Tapi, karena Nad paksakan, lama-lama Nad suka asal gak yang setengah mateng aja yang penting. Lagipula kata Papa, semua makanan yang Allah ciptakan itu pasti ada manfaatnya untuk kita. Gak mungkin Allah menciptakan makanan yang gak bisa kita nikmati. Gitu kata Papa." Jelasku panjang lebar.
"Ya udah, kapan-kapan Abang coba sedikit-sedikit, ya?!" Dia mengalah demi menyenangkan hatiku saat itu.
Akhirnya, kami pun tiba di kedai nasi dan memesan nasi rames dengan menu ayam bakar kesukaanku. Kami hanya membeli nasi satu bungkus untuk berdua. Karena porsi nasi bungkus di Minang sangatlah banyak. Satu bungkus itu bisa dimakan untuk tiga orang. Isinya tidak hanya sayur, lauk, dan sambal saja. Tetapi, di dalamnya ada tambahan kerupuk lado, ikan teri, terong, dan jengkol. Bahkan, untuk harga pun bisa dikatakan sama dengan nasi Padang di tanah Jawa. Untuk rasa, jelas lebih nikmat dari daerah asalnya, yaitu Minang.
Dalam hati aku berniat, lain waktu aku akan mencoba mengajaknya makan di rumah saat nenek memasak ikan. Aku bukan bermaksud memaksa selera setiap orang yang berbeda untuk sama denganku. Aku hanya tak ingin jika kelak dia menjadi seorang Ayah, maka dia harus menjadi teladan yang baik untuk anak-anaknya.
Aku tak menyangka, mengapa aku bisa berpikir sampai sejauh ini. Jika nantinya ia menjadi suamiku, aku tidak ingin anak-anakku kelak mencontoh Ayahnya yang tak suka makan ikan.
***