Chapter 8 - Enam

Hari pertamaku belajar di salah satu Universitas swasta di Padangpanjang membuatku takut, jika nantinya yang kutemui adalah para manusia yang menggunakan bahasa Minang. Sedangkan, aku yang hanya mengerti sedikit bahasa Minang. Itu pun akibat percakapan orang tuaku di rumah yang membuatku selalu bertanya jika ada kata-kata yang tak kumengerti artinya.

Dugaanku salah. Ketika aku masuk ke dalam satu kelompok saat acara ospek yang mengharuskan kami menyiapkan berbagai peralatannya, teman-teman baruku ternyata bisa berbahasa Indonesia. Walaupun memang terdengar lucu dengan logat Minangnya.

***

Hari pertama ospek, kami harus membuat tas dari karung terigu yang berbahan kain. Padahal karung tersebut sudah langka pada zaman ini. Akhirnya, memang benar. Aku dan teman-teman tak mendapatkannya di pasaran. Namun, nasib baik berpihak padaku karena barang tersebut aku dapatkan di rumah karena nenek pernah menyimpannya. Maklumlah, orang dulu selalu menyimpan barang-barang yang bisa dibilang sudah layak menjadi sampah, malah disimpan baik-baik. Karena dikhawatirkan suatu saat bisa saja diperlukan secara tiba-tiba, seperti saat ini. Nenek penolongku!

***

Akhirnya, setelah tiga hari berturut-turut mengikuti ospek di Universitas tersebut, kami telah sah menjadi Mahasiswa dan Mahasiswi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Aku yang mengambil jurusan Bahasa Indonesia bertemu dengan teman-teman baru yang juga merantau sepertiku. Namun, mereka hanya merantau ke luar kota saja. Sedangkan, aku merantau ke luar provinsi. Hal itu tak menjadi kendala bagiku. Aku yang memiliki pribadi yang ceria, mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi teman-teman baruku.

***

Awalnya aku tak mengerti bahwa orang Minang memiliki penilaian dan cara pandang tersendiri kepada setiap orang. Aku yang ceplas-ceplos, tak tahu aturan, dan narsis dengan diri sendiri, tak memperdulikan bagaimana mereka menilaiku pada saat itu. Karena bagiku, setiap orang memiliki haknya masing-masing, memiliki tempatnya masing-masing, sehingga aku tak perlu mengurusi urusan mereka.

Di Minang ternyata tidak seperti itu. Gerak-gerik kita sangat diperhatikan. Contohnya saja saat makan. Berapa banyak lauk yang kita ambil pun turut jadi bahan gunjingan sekampung nantinya. Maka, selama di Minanglah aku benar-benar berusaha sedikit demi sedikit untuk jaim alias jaga image bila berada di khalayak ramai. Karena mulut nyinyir orang lain terkadang bisa membuat kita strong alias stres tak tertolong. Walaupun sebenarnya itu adalah pilihan. Kita mau mendengar atau bersikap tak peduli pun bisa saja. Tapi, ternyata efeknya itu yang amat berbahaya. Mulut itu lebih tajam daripada pedang, kini benar adanya.

***

Cuek dan polosnya aku bahkan menjadi hal yang aneh bagi mereka, teman-teman baruku. Ketika mereka sadar akan hal itu, aku pun harus mengalami hal-hal yang merugikan diriku sendiri karena penilaianku yang salah terhadap orang-orang di sekitarku. Aku terkadang hanya dimanfaatkan demi kepentingan pribadi mereka. Bahkan, terkadang aku hanya dibutuhkan saat mereka ada maunya saja. Namun, ketika aku yang membutuhkan mereka, mereka malah bersikap acuh dan selalu beralasan tidak bisa membantuku.

Karena hal itu, teman dekatku yang juga seniorku, yaitu bang Ilham, marah dengan sikapku yang mau saja dimanfaatkan oleh teman-temanku itu. Namun, yang aku pikirkan pada waktu itu adalah hanya ikhlas untuk menolong teman-temanku, selagi aku masih bisa membantu.

"Namun, sikap seperti itu seharusnya bisa kita timbang, apakah ada timbal baliknya untuk kita atau enggak. Jangan terus-menerus menolong kalau hanya akan menyusahkan diri sendiri!" Tegas bang Ilham ketika aku membantahnya, yang pastinya dengan menggunakan bahasa Minang.

"Nad gak merasa disusahkan, bang. Nad ikhlas kok. Selagi Nad bisa menolong, ya Nad tolong." Bantahku yang tak setuju dengannya.

"Terserahlah! Kalau Nad rugi. Kalau ada apa-apa, jangan ngeluh. Jangan ngadu sama abang!" tukasnya.

Aku hanya diam dan cemberut karena sikapnya yang menyebalkan menurutku. Walau memang pada dasarnya, setiap aku selesai menolong teman-teman dan aku merasa dirugikan, pasti aku akan mengadu kepada bang Ilham. Hanya saja aku memang tak bisa berdiam diri jika ada dari temanku yang meminta pertolonganku. Karena menurutku hal yang kubantu saat itu pun adalah hal yang biasa saja, namun wujudnya agak sensitif memang. Karena kebanyakan ini menyangkut masalah uang. Mereka membutuhkannya untuk keperluan mendesaknya. Hingga akhirnya hal yang besar pun terjadi.

Karena aku tak mendengarkan nasihat bang Ilham, aku pun menjadi stres memikirkannya. Karena kali ini jumlahnya sekitar satu juta rupiah. Itu pun bukan uang milikku, melainkan uang tabungan om Ari yang dititipkannya padaku. Yang mengesalkan adalah yang meminjam pun tak tahu diri. Lagi-lagi aku hanya bisa cemberut kesal mendengar celotehan bang Ilham yang sangat memojokkanku setelah curhatanku berakhir. Menyebalkan!

***

Butuh waktu yang cukup lama untuk mendapatkan uang omku kembali. Bahkan harus dimulai dengan pertengkaran hebat. Namun, ini adalah jalan satu-satunya. Akhirnya, nasihat bang Ilham benar-benar kudengar dan kulaksanakan, agar kelak tidak terulang kembali. Karena permasalahan yang berhubungan dengan uang adalah suatu hal yang bisa menghancurkan tali persaudaraan sekali pun.

Hal-hal seperti itu baru kualami ketika aku berada di tahun kedua masa pendidikanku di Minang. Agak sulit menemukan teman yang sepemikiran dengan kita. Hingga suatu ketika, dosen bahasa Inggris kami menugaskan kami untuk membentuk kelompok belajar.

Aku melihat teman-teman diskusiku, mereka malah memilih teman kelompok yang tanpa ada aku di dalamnya. Akhirnya, aku membentuk kelompok baru dengan teman-teman lainnya yang pada dasarnya kami tidak terlalu dekat di kelas. Namun, ini adalah awal dimana aku memiliki teman-teman yang ternyata sepemikiran denganku.

Yang perilakunya selalu ceria dan narsis seperti aku. Mereka adalah Rahmi, Yasni, Ezi, Sary, Icha, dan Hesti alias Seven Icon yang disingkat menjadi Sevencon. Bersama merekalah, aku mengahabiskan waktu selama kuliah.

Karena kos Yasni sangat dekat dengan kampus, tak ubahnya itu menjadi basecamp sevencon saat pulang kuliah. Setiap waktu kami mengerjakan tugas bersama di sana. Terkadang kami pun menginap jika ada tugas yang dikejar deadline. Selain itu, layaknya anak kos, kami terkadang menemani Yasni membeli lauk pauk yang akan dimasak, di pasar Padangpanjang yang jaraknya hanya 5 menit berjalan kaki.

Menurutku, pasar Padangpanjang sangatlah bersih. Tidak seperti pasar induk yang ada di Jakarta. Pasar Padangpanjang memang diciptakan sebagai tempat pertemuan. Tak hanya ada tukang sayur dan lauk pauk, tapi restoran, butik baju, sepatu, distro tas, toko buku, toko HP, minimarket, dan segala kebutuhan harian lainnya pun ada di sini. Jalannya yang beraspal itu membuat pejalan kaki pun santai tanpa takut kotor karena becek atau sampah yang berserakan. Karena memang bersih sekali.

Setelah bahan-bahan kami dapatkan. Kami pun turut serta membantu Yasni memasak dan memakan hasil masakan kami bersama.

***

Bersama sevencon, kami juga pernah menyempatkan waktu bermain bersama di danau Singkarak. Danau indah yang ada di sepanjang jalan di Solok, yang waktu kecil ketika aku naik bus dari Jawa menuju Padang, aku berdebat dengan papa dengan gaya sok tahu bahwa yang aku lihat itu adalah laut, bukan danau.

***

Danau Singkarak itu membuat kami relaks sejenak karena stres dengan berbagai tugas di kampus. Aku yang memang suka dengan air semakin bahagia karena ada Sary alias Bulan, panggilan orang-orang di sekitar Tanjung Mutiara, nama daerah tempat tinggalnya. Karenanya, kami mendapatkan tiket masuk gratis untuk menikmati bentangan air yang biru bersama sejuknya angin di sana. Kami tertawa, bermain banana boat, berfoto-foto, dan makan nasi rames bersama di sana. Tak ada yang bisa menggantikan momen bersejarah itu hingga kapanpun.

***

Dari pertemuan itulah, aku sudah menganggap sevencon adalah keluarga keduaku. Walaupun aku jauh dari keluargaku di Tangerang, tapi teman-teman sevencon membuatku merasa berarti. Tak jarang aku berkunjung ke rumah mereka. Berkenalan dengan keluarganya. Mulai dari ayah, ibu, kakak, adik, semuanya sangat ramah dan hangat. Aku tak merasa dibedakan. Seperti keluarga mereka juga. Tak jarang aku ditawarkan makan, bahkan menginap di rumahnya.

Mungkin inilah yang dirasakan orang-orang Minang di tanah Jawa, ketika mereka bertemu dengan sesama orang Minang di rantau. Walaupun tidak berhubungan darah sekalipun, mereka akan merasa, bahwa mereka adalah saudara atau keluarga jauh yang sama-sama senasib sepenanggungan.

***