Chapter 5 - Tiga

Nenekku menginap untuk beberapa waktu di rumah kami. Hingga ketika liburan sekolah tiba. Kami berlibur sejenak ke kampung halaman, Padangpanjang, Sumatera Barat. Kami berangkat menggunakan bus. Perjalanan memakan waktu selama kurang lebih dua hari. Ini merupakan kali kedua aku pulang kampung bersama keluarga. Walaupun kali ini memang berbeda karena tidak adanya mama. Perjalanan yang amat melelahkan itu tak sepenuhnya membuatku jenuh. Di setiap perjalanan, aku banyak melihat pemandangan yang sangat indah. Sawah, pegunungan, hutan, hingga laut yang kami seberangi dengan kapal veri itu membuatku lupa sejenak dengan semua duka yang sedang menimpa keluargaku. Karena kakekku, yang merupakan adik dari nenekku berprofesi sebagai sopir bus antar provinsi, maka kami pun bisa mendapatkan tiket bus dengan harga miring.

***

Kehadiran kami disambut baik dan amat antusias oleh keluarga mama di Padangpanjang pada malam hari. Aku digendong oleh om Asril. Sambil melewati jalan setapak yang minim cahaya itu, ia juga membawa tas jinjing di tangan kirinya, lalu berkata,

"Di sini kalo malam gelap banget, Nad."

Aku hanya mendehem karena sudah sangat lelah akibat perjalanan antar provinsi tersebut. Yang berkesan padaku saat itu adalah udara malam hari di sana amat dingin.

Rumah nenek memang terletak di perkampungan yang di belakangnya ada kolam-kolam ikan yang besar, air pancuran, hingga sungai dengan air yang amat jernih. Pohon kelapa, pohon jengkol, pohon coklat, pohon salak, pohon bambu, hingga pohon nangka pun ada di sekeliling rumah nenek. Banyak yang menggunakan air pancuran untuk mandi, mencuci, serta untuk aktifitas sehari-hari. Karena airnya pun berasal dari mata air pegunungan.

Nenek pun tak memiliki kamar mandi. Jika ingin buang air pun telah disediakan tempat untuk berjongkok yang di bawahnya terhubung langsung dengan ikan-ikan yang berada di kolam. Ya, benar sekali. Kami menyebutnya kakus. Jadi, ikan-ikan di kolam tersebut sebagian besar makanannya berasal dari hasil pembuangan orang-orang yang tinggal di sekitar rumah nenek. Semoga tidak membayangkan hal yang menjijikan ya. 😄

***

Kota Padangpanjang disebut sebagai kota hujan. Di sana bukan hanya dingin dan akan sangat dingin jika sedang musim hujan. Padangpanjang juga seringkali diserang gempa kecil karena letaknya yang tak jauh dari kaki gunung Marapi. Yang sampai saat ini gunung tersebut masih sangat aktif.

Setiap pagi, aku selalu suka dengan pemandangannya. Aku bisa langsung menghirup udara segar dari jendela kamar. Bahkan bisa langsung melihat pertunjukkan ikan-ikan yang berebut makanan saat majikannya-yang masih ada hubungan saudara denganku-melemparkan nasi atau potongan roti ke kolam. Hingga melihat gunung Marapi dan Singgalang yang berdiri gagah di tempatnya. Kedua gunung yang berlawanan arah itu menjadi pemandangan yang menakjubkan menurutku di setiap harinya. Karena pemandangan seperti itu tak pernah aku dapatkan di Tangerang. Terkadang itu yang membuatku rindu dengan kampung halaman. Sepertinya semua orang sependapat denganku untuk hal ini.

Aku belum mengenal bagaimana adat istiadat orang Minang. Aku benar-benar hanya seorang anak remaja dari kota dengan tingkah laku yang tak dibuat-buat, apa adanya, ekspresif, dan selalu ceria. Karena orang tuaku pun sehari-hari hanya memperkenalkan bahasa Minang jika di rumah. Mereka selalu berbicara dengan bahasa Minang yang aku sendiri tak pandai mengucapkannya. Terkadang mereka mengajarkan pepatah Minang dan makna yang terkandung dibaliknya padaku. Seperti pepatah capek kaki ringan tangan (cepat kaki ringan tangan) yang artinya langsung bergerak untuk saling membantu sesama. Ada lagi batanam tabu di tapi bibia (bertanam tebu di tepi bibir), yang artinya selalu mengatakan hal-hal yang tak menyakiti hati orang lain. Lalu alam takambang jadi guru (alam terkembang jadi guru), yang artinya alam yang terhampar di bumi ini bisa dijadikan guru/pelajaran bagi hidup sehari-hari. Dan masih banyak lagi pepatah yang lainnya. Namun, untuk sejarah dan budaya nenek moyang, aku belum benar-benar memahaminya.

***

Di Sumatera Barat, kami hanya bermain ke Bukittinggi dan juga Padang. Bukittinggi adalah kampung halaman papa yang terkenal sebagai kota pariwisata. Namanya saja Bukittinggi yang berarti bukit yang tinggi. Sudah jelas udara di kota itu amat sejuk, tak jauh berbeda dengan Padangpanjang. Sedangkan, Padang adalah ibu Kota Sumatera Barat yang terkenal dengan masakan rendangnya yang menjadi makanan terlezat nomor satu di dunia. Padang merupakan kota yang berdekatan dengan pantai. Sehingga udara di kota ini panas, seperti halnya di Tangerang.

***

Saat ke Padang, kami ditemani oleh saudara papa, om Hefri, untuk berwisata di sana. Beliau memang tinggal bersama keluarganya di sana. Om Hefri yang super sibuk bersedia menyempatkan waktunya untuk kakaknya yang datang dari pulau Jawa. Padahal beliau merupakan salah satu dosen di IAIN (UIN) Padang. Dia juga seorang buya (sebutan orang yang dihormati di Minang karena kecerdasan dan wibawanya yang berpengaruh bagi orang di sekitarnya).

Beliau menjemput kami dengan mobilnya selepas kami turun dari travel. Kami diajak mengelilingi kota Padang sambil diberitahu tentang tempat-tempat bersejarah di sana. Seperti jembatan Siti Nurbaya, universitas favorit seperti Universitas Andalas (UNAND), tak ketinggalan pantai Padang yang letaknya di setiap tepi jalan raya Padang. Setelah berkeliling, akhirnya ia mentraktir durian yang super banyak, yang dibeli setelah berwisata dari pantai Air Manis, tempatnya batu Malin Kundang berada.

Setelah lelah berjalan-jalan, kami bersilaturahmi ke rumahnya. Baru pertama kali aku bertemu dengan om Hefri beserta keluarganya. Aku tak banyak berbicara dengan keluarganya. Hanya berbicara ketika ditanya dan hanya saling bersalaman dengan anak-anaknya. Keluarganya sangat ramah dan welcome kepada kami. Kami pun disediakan kamar untuk beristirahat sejenak. Tapi, tak lama kemudian, setelah makan durian dengan ketan bersama keluarga besarnya, malam harinya kami pun kembali pulang ke Padangpanjang.

***

Tak banyak yang aku lakukan selama seminggu di Padangpanjang. Hari-hariku penuh dengan keluar rumah untuk mengunjungi saudara papa saja. Setelah satu minggu lamanya berlibur di kampung, aku, papa, serta adikku berpamitan untuk kembali pulang ke Tangerang.

***