Masih terngiang dalam ingatanku. Aku yang selalu membantah perkataan mama, melawan atas segala perintahnya untuk menolongnya di dapur dan di warung (karena kami mempunyai warung sembako), juga sekedar membantu beres-beres rumah. Sekalipun menolong, aku selalu menggerutu karena tidak ikhlas waktu bermainku terpotong. Mama selalu perhatian dengan segala yang menjadi kebutuhanku. Selalu menolongku dalam mengerjakan PR. Juga yang membuat suasana hari libur menjadi meriah karena ia yang selalu mengajak kami untuk membuat kue atau makanan yang resepnya ada di televisi setiap Minggu pagi. Seolah sangat mengecewakan sekali memiliki aku. Seorang anak yang tidak tahu balas jasa orang tua menurutku. Mengapa aku tak pernah mau menolongnya kala itu?
***
Aku masih berusia tiga belas tahun. Nanad Fatrisya yang bersekolah di SMPN 1 Tangerang Selatan, menjadi usia yang paling bersejarah saat itu. Adikku yang baru kelas dua SD tidak mengetahui apa pun yang terjadi. Bahkan mungkin ia belum mengerti apa sebenarnya yang sedang terjadi pada mama. Kami selalu bertengkar layaknya kakak beradik pada umumnya. Lagi-lagi mama hanya membela adikku ketika kami bertengkar dan ia menangis karena ulahku. Aku pun tak rela jika ia menangis pada akhirnya. Karena semua berawal karena dia yang suka mengganggu kesenanganku.
***
Aku sebagai sulung diberitahu oleh papa untuk tidak menangisi kepergian mama, jika memang inilah saatnya mama untuk menghadap sang Khalik. Papa mengatakan bahwa dokter telah mengabarkan, mama sudah sangat lemah dan mungkin tidak sanggup lagi untuk bertahan hidup. Sesak napas yang dialami mama dikarenakan gula darahnya yang tinggi, yaitu mencapai 500 mg/dL dimana itu adalah ukuran darah yang jauh dari normal yaitu kisaran < 100 mg/dL. Karena keadaan itulah, mama segera ditempatkan di ruang ICU.
***
Sejak kejadian itu, aku seolah tak lagi mampu menatap masa depan. Sebelum mama mengalami sesak napas dini hari kala itu, ia menunggu om ku yang masih bekerja shift di salah satu PT terkemuka di Tangerang, ketika waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 WIB. Karena aku berpikir om tak akan datang, maka aku menyuruh mama untuk beristirahat karena sebelumnya ia memang sedang sakit. Sakit yang ia katakan kepada kami adalah meriang. Aku pun tak merasa cemas apalagi berpikir bahwa mama akan pergi untuk meninggalkan kami selamanya-lamanya.
***
Belum sampai sehari mama berada di Rumah Sakit Medistra, Tangerang, ia telah pasrah dan melepaskan kami semua untuk selamanya-lamanya. Hari itu, 16 Mei 2006. Aku tak masuk sekolah. Aku memang tak berharap mama akan segera membaik. Namun, aku terus berdoa agar mama tetap bertahan hidup. Kondisinya yang kritis saat itu bisa dikatakan ia mengalami koma karena tak sadarkan diri dalam waktu yang cukup lama. Napasnya masih sangat berat walaupun sudah menggunakan oksigen tambahan. Butuh waktu tiga detik sekali untuk mengambil napas, yang pada saat itu membuat hatiku sangat teriris. Sedih sekali melihat kondisi mama yang tak berdaya sedang berjuang seorang diri dengan selang yang menempel dimana-mana.
***
Saat makan siang pun tak ada bedanya dengan sudah makan atau belumnya aku. Karena saat itu asam lambungku sedang tidak bersahabat. Yang aku pikirkan hanya kondisi mama. Papa, om, adikku yang sedang berkumpul di aula rumah sakit, masih bisa menyuapkan nasi Padang ke mulut mereka. Sedangkan, aku melihat nasi saja sudah membuatku mual! Namun, papa menyuruhku untuk makan agar tidak sakit nantinya. Dengan paksaan, aku menyuap nasi sedikit demi sedikit.
***
Sangat berbeda sekali dengan Nanad yang biasanya. Karena jika bertemu makanan, pasti ia yang pertama menghabiskan dengan cepat. Kali ini Nanad benar-benar tak bernafsu untuk makan. Sangat tidak ingin!
***
Tak lama setelah makan siang, om berpamitan kepada kami karena harus berangkat kerja. Om pun berpesan sebelumnya,
"Kamu sabar aja ya Nad, banyak-banyak berdoa aja sekarang. Kalau ada apa-apa, langsung kabari Om ya?!" dengan tatapan khawatir yang memang tak bisa tertutupi dari wajahnya. Aku hanya mengangguk lemas.
Om Aril adalah adik mama nomor empat. Sedangkan mama adalah anak pertama dari enam bersaudara. Saudara mama beserta nenek dan kakekku tinggal di Padangpanjang, Sumatera Barat. Om Aril satu-satunya adik mama yang merantau ke Jawa. Dia memiliki tulisan tangan yang sangat bagus menurutku, jika dibandingkan dengan tulisan tangan anak laki-laki yang aku ketahui. Sehingga, pertama dekat dengannya pun karena ia sendiri yang berbaik hati menuliskan namaku di sampul buku sekolahku pada setiap tahun ajaran baru akan dimulai. Aku pun sangat menyukai tulisannya dan selalu meminta ia seorang yang menuliskan namaku di semua buku sekolahku.
***
Sore hari kami semua berkumpul karena dokter memanggil dan mengatakan mama telah sangat lemah. Kemungkinan terburuk pun bisa saja akan terjadi. Papa, aku, adikku, serta sepupu papa yang baru datang siang itu, ikut mengelilingi tempat tidur mama disertai dengan doa dan dzikir yang kami lantunkan.
Udara kamar ruang ICU yang dingin saat itu hanya ditemani dengan bunyi mesin detak jantung yang kabelnya menempel pada tubuh mama. Dit.. Dit.. Dit.. Begitu bunyi mesin yang terus menampilkan perubahan skala detak jantung mama. Aku yang tak tega melihat kondisi mama yang semakin lemah. Hanya mampu melihat angka-angka yang muncul pada mesin detak jantungnya yang terus berubah-ubah. Mulai dari 90. Turun drastis ke 50. Dokter pun segera berusaha menggunakan alat pacu jantung untuk menolong mama. Lalu angka itu naik menjadi 100. Turun ke 75. Hingga aku berharap angka itu akan stabil kembali di angka 100. Saat itu aku benar-benar melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana kondisi seseorang yang sedang berada diambang kritis. Akhirnya, mesin itu kembali merubah angkanya menjadi 20. Aku hanya mampu berharap kepada Allah untuk memberi kesempatan sehat kepada mama kali ini. Hingga angka itu berubah menjadi 30. Aku masih terus berharap angka itu akan meningkat. Namun, angka selanjutnya adalah 10. Kemudian bertahan lama sekali pada angka 0.
***