Wenda menahan napas saat Axton mencium bibirnya. Kakinya lemas merasakan ciuman Axton menuntut untuk membalas ciumannya. Baru pertama kali ini, Wenda mendapatkan ciuman penuh hasrat dari Axton.
Apa dia menginginkan sesuatu yang lebih dari ciuman? Ciuman itu berlangsung lama hingga Wenda kehabisan oksigen. Dia memukul pelan dada Axton berharap dia akan dilepaskan oleh pria itu.
Nyatanya, Axton tak akan melepaskan istrinya jika saja bel rumah tak berbunyi. Wenda bernapas lega ketika Axton melepaskannya dan beranjak menuju pintu melihat si pengganggu.
"Kenapa kalian datang ke sini?!" suara bentakan Axton mengejutkan Wenda yang mengatur napasnya. Apa yang terjadi sampai-sampai Axton membentak tiba-tiba?
Wenda bergerak menuju Axton dan terdengarlah suara samar-samar seorang pria dan seorang wanita. "Heh?! Kalian tak perlu peduli padaku. Hidupku sudah bahagia tanpa kalian!" balasnya dengan penuh penekanan.
Wenda menyentuh pundak Axton menenangkan pria itu dari kemarahan. "Tapi nak, kami orang tuamu, tak bisakah kami peduli padamu?" Axton mengangkat sudut bibirnya membentuk senyum sinis.
"Orang tua? Baru kali ini kalian menyadari bahwa kalian adalah orang tuaku! Di mana kalian saat aku membutuhkan kalian?! Semuanya sudah terlambat!" Axton pergi meninggalkan ketiganya tak memperdulikan panggilan si pria paruh baya.
Wenda memperhatikan kedua orang yang sama-sama menunjukan raut wajah kecewa. Jadi, mereka adalah orang tua Axton..mertuanya.
"Tunggu sebentar," ucap Wenda melihat kedua orang itu hendak pergi. Mereka memandang Wenda heran.
"Silakan masuk." lanjutnya. Keduanya berpandangan tak yakin dengan perkataan Wenda.
"Tak apa-apa silakan masuk." kata Wenda lagi berusaha meyakinkan mereka berdua agar masuk ke dalam rumah. Mereka memandang Wenda sambil tersenyum.
"Terima kasih ya nak sudah mengizinkan kami masuk, kalau boleh tahu kau siapa ya?" tanya si wanita.
"Saya Wenda, istrinya Axton." jawab Wenda sambil tersenyum ramah.
💘💘💘💘
Wenda menuangkan teh untuk kedua orang yang ternyata adalah mertuanya. Setelah menyesap teh mereka, pandangan keduanya beralih pada Wenda. "Aku tak menyangka kalau Axton sudah menikah dan dia tak salah menjadikanmu istrinya kau cantik dan baik pula." puji Ibu Axton.
Wenda mengucapkan terima kasih pada Ibu Axton. "Apa aku boleh meminta satu hal pada kalian?" tanya Wenda.
"Tentu saja nak, kau ingin apa?" Wenda tersenyum dan berdehem sebentar agar suaranya tak serak.
"Apa boleh aku memanggil kalian Ayah dan Ibu?" tanya Wenda. Keduanya terkejut tapi kemudian tersenyum.
"Boleh nak, kau boleh memanggil kami Ayah dan Ibu. Kau adalah istri Axton yang berarti kau adalah anak kami juga." kata Ayah Axton merasa tersanjung.
Mereka bertiga terdiam kembali menikmati segelas teh yang tersedia. "Mengenai Axton ..."
"Tidak apa-apa Wenda, ini semua salah kami berdua. Kamilah yang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan keluarga kami yang baru tapi sungguh kami sangat menyayangi Axton, dia adalah putra kami." tutur Ibu Axton dengan raut wajah sedih.
"Mungkin kebencian Axton pada kami adalah karma yang harus kami terima karena kami menyia-nyiakan Axton saat dirinya masih kecil." lanjut Ayah Axton. Wenda ikut merasa simpati pada mertuanya dan juga pada suaminya itu.
Mungkin mereka telah menyesal tapi itu tak sebanding dengan rasa pedih yang dirasakan oleh Axton saat dia harus menjalani hidup tanpa kasih sayang dari orang tua semasa kecil. Apa hubungan mereka akan membaik?
"Tapi aku sangat senang bisa bertemu denganmu, tolong jaga dia baik-baik."
"Tenang saja Ibu, Axton suamiku dia akan kujaga dengan baik." sahut Wenda sambil tersenyum lembut.
Mereka bertiga larut dalam perbincangan selama sejam dan akhirnya Ayah dan Ibu Axton pamit pulang. Wenda lalu menuju kamar Axton di mana pria itu berada.
Dia menemukan Axton membaringkan tubuhnya di ranjang. "Apa mereka sudah pergi?" tanya Axton seakan mengetahui keberadaan Wenda.
"Sudah." jawab Wenda berjalan menuju Axton. Dia duduk di tepi ranjang dekat Axton dan mengelus rambut Axton.
"Kenapa kau meladeni mereka?"
"Kenapa aku tak bisa meladeni mertuaku sendiri." Axton memalingkan wajahnya pada Wenda memberi tatapan tajam.
Wenda tak takut malahan melotot membalas tatapan Axton. Bukannya kesal, Axton tertawa dan merubah posisinya untuk memeluk Wenda. "Ayo kita rubah topik pembicaraan." pinta Axton.
Wenda tak menjawab, dia hanya membenarkan posisinya agar nyaman dalam pelukan Axton. "Besok, kau akan pergi untuk mengerjakan proyek di Bali dan kita harus berpisah selama beberapa hari." kata Axton dengan nada tak suka.
"Tapi kita bisa berhubungan lewat telepon 'kan? Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja di sana." sahut Wenda.
"Bukan itu, aku akan merindukanmu. Siapa yang akan menemaniku di sini? Ah memikirkannya jadi membuat aku rindu padamu." curhat Axton. Wenda cemberut kemudian mengangkat tubuhnya mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Axton.
Dia mengecup salah satu pipi Axton secara tiba-tiba. Tentu saja Axton terkesiap karena tindakan Wenda. "Aku ada di sini, jangan merindukanku."
Axton tersenyum. Dia menarik Wenda mendekat, "Kalau begitu kau habiskan waktu denganku ya." pinta Axton dengan nada manja.
"Untuk suamiku aku siap." sahut Wenda.