"Aww!" ringis Leo saat Wenda mengoleskan obat pada wajahnya yang lebam. Hanya butuh beberapa menit mereka sampai di kediaman DeMonte, Pitaloka juga yang bersama mereka dari tadi telah pulang diantar oleh salah satu supir.
"Maaf, aku akan lebih pelan-pelan lagi." kata Wenda. Adam gelisah sejak dari tadi karena melihat penampilan Leo yang babak belur dan yang lebih mengejutkan lagi, orang yang membuat cucunya babak belur adalah Axton.
"Sungguh kakek tak percaya dengan ucapan kalian, Tuan Axton yang membuatmu seperti ini? Atas dasar apa dia menghajarmu?!" kata Adam tak terima.
"Nanti aku jelaskan kek," jawab Leo singkat.
Pandangan kedua mata Adam memperhatikan Wenda dan Leo.Guratan wajah kegelisahan menjadi senyuman melihat dua orang dihadapannya akrab. "Wenda," Wenda memandang kakek Adam yang memanggilnya.
"Terima kasih sudah mau menolong Leo, jika kau tak ada entah bagaimana keadaan cucuku ini!"
"Sama-sama kakek." balas Wenda tersenyum simpul.
"Harusnya kakek lihat bagaimana dia membelaku! Aku juga tak percaya dia..."
"Ini sudah keputusanku Leo, aku sudah yakin." potong Wenda. Setelah dia selesai mengobati luka Leo, dia meminta ijin untuk pulang.
Awalnya Leo menawarkan untuk mengantarnya pulang tapi Wenda menolak dan lebih meminta bantuan Leo untuk mencarikannya baju. Tak mungkin dia terus-terusan memakai gaun yang membuatnya susah berjalan.
Setelah itu, dia pamit pada Adam dan Leo menuju ke rumah Axton. Dia siap untuk segala kemungkinan yang terjadi bahkan jika Axton bersikeras untuk mempertahankan pernikahannya, Wenda juga akan mempertahankan keputusannya.
Setibanya dia di rumah, Wenda memperhatikan keadaan rumah dengan was-was. Sampai di ruang tamu, hanya beberapa pelayan yang mondar-mandir. Masih tak ada kehadiran Axton, bagus sekali.
Wenda segera menuju ke kamarnya dan mengambil kopernya untuk memasukkan semua bajunya. Dia tak mau tinggal satu rumah lagi dengan Axton, hatinya sudah terlanjur sakit dan keputusannya benar-benar bulat untuk berpisah dengan Axton.
Begitu dia selesai berkemas dan mengambil kopernya, dia lalu keluar dari kamarnya menuju pintu utama kediaman Axton hendak pergi.
Tapi sungguh tak terduga, Axton tiba-tiba saja berada di hadapannya menghalangi jalan. "Kau mau kemana?" tanya Axton.
"Ingin pergi dari hidupmu selamanya!" jawab Wenda jujur. Dia berjalan memutari Axton menuju pintu keluar kamar. Dari arah belakang Axton mengejarnya dengan berjalan. "Kita perlu bicara!"
"Tak ada yang perlu dibicarakan lagi, semua terlihat jelas!" balas Wenda tanpa menoleh sedikit pun pada Axton.
Kedua matanya lurus menatap pintu keluar dari rumah tersebut. Kalau saja Zarina tak menghalangi jalannya, mungkin Wenda sudah sampai di tempat tujuannya. Wenda mengambil jalan untuk memutar lagi tapi Zarina mengikuti langkah Wenda. "Beri aku jalan!" itu bukan permintaan tapi perintah dari Wenda.
"Tidak mau, sebelum kakak mendengar penjelasan dari kami!" tolak Zarina. Wenda kembali mencari jalan tapi Zarina kembali menghalangi jalannya sementara di belakangnya sudah ada Axton. Wenda tersudut sekarang, dia sudah tak bisa kemana-mana lagi.
"Baiklah, katakan apa mau kalian!" kata Wenda menyerah.
Zarina memandang pada Axton dan membuang napas teratur. "Pertama-tama, Zarina mau minta maaf sama kakak, karena kehadiran Zarina bikin kakak sedih dan Zarina tak pernah menyangka kalau kakak mau pisah hanya karena Zarina."
Wenda memutar matanya bosan, pura-pura tak mendengar perkataan Zarina. "Tapi ini semua salah paham, Zarina sebenarnya tak mau kakak bercerai sama kakak Axton. Zarina hanya ingin menggoda kakak saja,"
Ok, kali ini Wenda tak mengerti. "Sebenarnya Zarina itu bukan pacar kakak Axton tapi adik sepupu Axton." Mata Wenda membulat mendengar pengakuan Zarina.
"Semua yang kau lihat dan yang aku katakan itu semua adalah rencanaku sendiri. Aku ingin melihat apa kau cemburu atau tidak jika aku mendekati Kakak Axton." Mulut Wenda terbuka mendengar penuturan Zarina. Selama ini dia dipermainkan?!
"Lalu bagaimana ciuman itu?"
"Ciuman? ya aku mencium Axton tapi di salah satu pipinya dan aku sengaja membuatnya terlihat seperti kami berciuman karena kau ada di sana aku ingin melihat reaksi kakak." Wenda menoleh pada Axton yang dibelakangnya.
Axton dan Zarina pikir Wenda akan tertawa atau apa? tapi di luar dugaan, Wenda menampar keras pipi Axton. "Aku membencimu!" seru Wenda.
Wenda berjalan cepat meninggalkan Axton dan Zarina menuju taman belakang rumah milik Axton. "Kakak, apa yang harus kita lakukan?" tanya Zarina.
"Tidak apa-apa, dia cuma syok biar aku saja yang bicara dengannya." kata Axton. Pria itu lalu mengejar Wenda ke halaman belakang rumahnya. Tak sulit menemukan Wenda karena Axton bisa mendengar suara isak tangisnya.
Axton menemukan Wenda berjongkok di depan salah satu tanaman bunga Axton. Lutut dan tangannya menjadi penghalang agar wajahnya tak terlihat. "Apa kau tahu ... bagaimana tak tenangnya aku ketika tahu kau punya kekasih?! ... apa kau tahu bagaimana hancurnya aku melihatmu dan dia bermesraan?! Dan yang lebih menyakitkan lagi ini semua hanya rencana agar menggodaku saja?! Aku .... hiks ... Aku ..."
Axton membantu Wenda berdiri dan membalikkan badannya. Dia memegang dagu Wenda dan mengangkat wajah wanita itu agar memandangnya. "Kau pikir aku senang bisa menjauhimu? Kau pikir aku tak tersiksa melihatmu sedih? Tidak, itu tak mudah. Sangat sulit untuk tak berada di sisimu, apa lagi saat kau tak menampakkan dirimu, aku semakin tak tenang."
Wenda menatap kedua mata emerald Axton lekat-lekat, tak ada kebohongan sama sekali. "Maafkan aku, jika aku tahu reaksimu seperti itu aku tak mungkin setuju dengan rencana Zarina." ucap Axton tulus.
Wenda hanya diam tak berbicara. Axton mengesat air mata Wenda dengan ibu jarinya, menariknya lebih mendekat sampai tak ada jarak lagi dari keduanya. Axton mensejajarkan wajahnya dengan wajah Wenda.
Seakan tahu maksud Axton, Wenda mundur satu langkah dan memalingkan wajahnya menolak. "Kenapa?"
"D-di sini tak aman, aku tak mau." jawab Wenda dengan wajah merona.
"Tapi ini rumahku." Skak mat! Wenda tak bisa berbuat apa-apa saat Axton kembali menarik Wenda dan menguncinya dengan mengalungkan kedua lengannya di pinggang Wenda.
Sensasi menggelitik napas Axton yang berhembus di wajah Wenda tak lantas membuat Wenda tertawa. Wanita itu malah membeku saat melihat Axton sangat dekat dengannya.
Chup!
Wajah merah Wenda layaknya kepiting rebus saat merasakan bibir Axton menyentuh bibirnya. Darah Wenda berdesir saat Axton melumat bibirnya dengan lembut. Axton melepaskan ciuman tersebut dan tersenyum menatap Wenda.
Pandangan Wenda berkunang-kunang dia sempat melihat Axton panik sebelum akhirnya pandangannya menggelap. Axton menepuk kedua pipi Wenda yang jatuh pingsan di dalam pelukannya.
Satu hal yang dipelajari, pesona Axton yang sangat luar biasa ternyata sangat berbahaya bagi kesehatan Wenda.
💘💘💘💘
Catatan Author :
Akhirnya kelar juga bab ini! senangnya!! Author sudah bilang kalau readers menunggu pasti Author berikan jawabannya.
Btw, author suka sekali bikin readers gemes!!
Terima kasih sudah baca dan selalu ditunggu updatenya ya!