Axton POV
Kemarin adalah hari terburuk sepanjang masa hidupku. Bagaimana tidak? Hotel bintang lima yang menjadi tempat favoritku untuk beristirahat tiba-tiba saja penuh dan sialnya semua hotel mewah penuh hingga menyisakan hotel kelas rendahan.
Terpaksa aku booking di sana dan belum aku berehat untuk melepas penat, masalah kembali datang saat seorang gadis yang adalah pelayan di hotel tersebut membawakanku es krim.
Seumur hidupku, aku tak pernah meminta es krim di sebuah hotel. Memangnya aku anak kecil apa? Hei, aku Axton Denzel pemilik perusahaan internasional Denzel Company.
Belum habis masalah satunya, satu masalah datang lagi saat suatu ormas masuk dengan paksa di kamarku. Mereka mengira aku sedang bermain dengan wanita panggilan.
Hei! Ya, aku memang seorang pria yang kaya tapi aku tak mau menghabiskan uangku hanya demi memuaskan nafsuku. Karena terjebak dalam keadaan begitu rumit, aku akhirnya memutuskan untuk menikah dengan gadis yang bahkan aku tak kenal ini.
Aku pantang menjilat kembali ludahku, aku tak akan membiarkan harga diriku tercoreng hanya karena masalah sepele aku siap melakukan apapun.
Disaksikan oleh orang-orang ormas, aku mengikat janji suci dengan gadis yang baru kutahu namanya beberapa detik yang lalu. Pernikahan pun lancar dan tak ada kendala.
Sekilas kulihat gadis yang nampak gelisah. Sepertinya dia juga tertekan dengan pernikahan tiba-tiba ini dan aku yakin dia sama sepertiku. Tak menginginkan pernikahan ini.
Kedua mata emerald-ku melihatnya dari atas ke bawah. Kuakui, dia cantik juga saat memakai gaun di tambah dengan polesan make up yang membuatnya makin nampak memesona.
Tak sia-sia aku membayar jasa make up termahal di kota Kuala Lumpur ini. Hasilnya begitu mengagumkan. Aku kembali menatap para tetamu yang jumlahnya sedikit. Kenapa? Ini adalah pernikahanku yang tiba-tiba.
Tak ada persiapan sama sekali yang membuatku hanya mengundang beberapa tamu yang penting saja. Orang tuaku? Heh, untuk apa aku meminta mereka datang.
Mereka sama sekali tak pernah peduli padaku dan sibuk dengan keluarga masing-masing. Aku pun bisa menjadi seorang yang seperti ini karena didikan kakek dan nenekku yang sangat sayang padaku.
Sayangnya mereka sudah lama pergi meninggalkanku hingga aku sendiri lagi. Setelah acara resepsi usai, aku dan Wenda - kalau tak salah ya, menuju kamar hotel untuk beristirahat.
Malam ini adalah malam pertama kami sebagai pasangan, tapi aku tak akan menyentuh dia malam ini. Aku tak mengenalnya begitu juga dia, apa pantas aku memaksanya untuk berhubungan intim?
Tidak, aku bukan tipe pemaksa wanita dan itu bukan cara kerjaku. Aku membuka dasiku sambil memandangnya yang nampak kikuk. Sesekali matanya melirik kearahku namun begitu aku menangkap matanya dia segera membuang mukanya ke arah lain.
Aku menghela napas panjang melihat tingkahnya. "Jangan takut, aku tak akan menyentuhmu kok." Wenda menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan namun kuabaikan saja.
"Kita baru berkenalan dan tak mungkin aku memaksamu jadi santai saja." lanjutku sambil mengambil handuk untuk mandi. Hanya butuh beberapa menit untuk aku mandi dan kembali ke kamar.
Begitu aku membuka pintu, aku terkejut saat melihatnya tiba-tiba berada dihadapanku. Gadis itu memegang handuk artinya dia ingin mandi dan menunjukan bahwa saat itu dia memang menungguku selesai mandi.
Aku memberinya jalan dan tetap memasang muka datarku melewatinya. Sekilas lirikan mataku bisa melihat bahwa wajahnya merona. Apa mungkin karena melihatku yang telanjang dada ya?
Dia memasuki kamar mandi dan suara shower terdengar. Aku memakai piyamaku dan mengambil sebuah bantal dan selimut. Ketika aku bersiap-siap untuk tidur, gadis itu keluar dari kamar mandi dengan dibalut sebuah handuk tipis.
Aku pun hanya diam tak menoleh padanya karena aku tahu dia sedang berganti pakaian. "Mm, kau ... kenapa kau tidur di sofa?" tanyanya.
Aku berani menoleh padanya dan benar saja dia sudah selesai memakai pakaian. "Aku tahu kau tak menginginkan pernikahan ini begitu juga aku jadi aku memutuskan aku untuk tidur saja di sofa."
"Ah Tuan, sebaiknya anda tidur saja di ranjang biar aku saja yang tidur di sofa. Kau..."
"Kau seorang wanita, tak pantas untuk tidur di sofa." Kulihat tampangnya terkejut dengan ucapanku yang memotong perkataannya.
"Kau pikir aku orang kaya yang merendahkan wanita hanya karena dia berasal dari kalangan bawah ya? Maaf, itu bukan diriku." Aku mengkerutkan dahi bingung saat melihat ekspresi yang berbeda dari Wenda.
Sulit sekali mendeskripsikan pandangan mata Wenda yang terarah padaku. "Oh iya, ada dokumen yang aku taruh di ranjang, itu adalah dokumen pernikahan kita." kataku lagi sambil melirik pada sebuah map yang berada di atas ranjang.
"Ditulis di dokumen itu bahwa kita akan menjalani pernikahan kita selama enam bulan dan setelah enam bulan kita akan bercerai. Kalau kau masih kurang jelas baca saja dokumen itu." Penuturanku hanya dibalas dengan anggukan oleh Wenda.
Aku membaringkan tubuhku di sofa dan melirik pada Wenda yang kini membaca dengan seksama dokumen itu. Ah, apa aku akan bahagia dengan gadis yang sama sekali tak kukenal dalam sebuah pernikahan yang tak kuinginkan ini?
End of Axton POV
Jam menunjukan pukul 23.00, setelah membubuhkan tanda tangan di dokumen itu kedua matanya memandang Axton-pria yang dinikahinya beberapa jam yang lalu, tengah tertidur dengan lelap.
Wenda tersenyum saat mengingat Axton begitu menghormatinya sebagai wanita. Dia mendekati pria itu dan memperbaiki selimutnya. "Terima kasih ya sudah memperlakukanku dengan baik." ucap Wenda pelan sambil tersenyum.